KEKUATAN mempertahankan aturan kebiksuan yang asli, menyebabkan
agama Budha sekte Theravada mampu bertahan hampir 25 abad." Ini
menurut Prof. Yoneo Ishii (52 tahun), ahli Sejarah Asia Tenggara
dari Universitas Kyoto -- dan pernah menjalani masa kependetaan
tiga bulan di Muangthai. Berceramah di hadapan para cendekiawan
di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, 23 Mei lalu, Prof. Ishii
tampak sebagai pembela orthodoxi. Ceramahnya berjudul: 'Budhisme
di Asia Tenggara: orthodoxi di bawah tantangan perobahan dunia'.
Dengan orthodoxi sudah tentu ia bicara tentang Theravada (alias
Hinayana), sekte yang diketahui sebagai tertua yang seperti
disebutnya merupakan mayoritas di kawasan ini dan berpemeluk
70 juta -- di Srilanka, Birma, Muangthai, Kamboja, Laos, dan
Khmer Kraom di Vietnam. Bahkan dikabarkan mayoritas di kalangan
Budhis Indonesia.
Hal penting pertama ialah, di negeri Budhis sejak dahulu peranan
raja sangat besar dalam menyokong sangha (persaudaraan biksu)
dengan segala dana. Raja juga mengalami masa praktek kependetaan
yan tiga hulan. Itu menyebabkan, bila monarkhi lenyap, sangha
memang bisa goyah. Seperti di Srilanka dan Birma setelah monarki
ditumbangkan Inggeris, maupun di Indochina sekarang. "Kalau
benar bahwa rezim Khmer Merah memerintahkan seluruh biksu
menanggalkan jubah kuningnya," kata penceramah, "berarti sangha
di sana akan menghilang."
Kebutuhan Sosial
Tetapi perobahan sosial, asal tidak berujud pelarangan,
sebenarnya bisa diikuti. Kenyataannya vihara dan lingkungan
tidak terpisah. Wajib belajar yang dilaksanakan di Muangthai
pada 1921 misalnya menyebabkan vihara sibuk -- karena jadi
tempat anak-anak. Universitas Budhis Maha Chulalongkorn membuka
Fakultas Kemanusiaan dan Kesejahteraan Sosial, yang lulusannya
dikirim ke 27 propinsi. Pada 1967 misalnya 1.348 biksu dikirim
ke berbagai desa Muangthai Utara yang terkenal miskin. Jadi
konservatif dalam agama tidak berarti tidak terlibat masalah
kebutuhan sosial, kesimpulan profesor.
Juga walaupun iklim politik atau ideologi bertukar. Di masa
Sihanouk, orang di Kamboja sudah bicara tentang "Budhisme dan
Sosialisme". Memang ada biksu yang menyatakan "kita Budhis harus
mengusir ide-ide komunis" -- tapi sebenarnya lebih banyak yang
diam. Juga di Muangthai. Yang sangat anti komunis, "saya tidak
yakin benar-benar mewakili kelompok Budhis di sana," katanya
kepada TEMPO.
Bukan karena para biksu Theravada pro-komunis. Para pendeta yang
dulu bunuh diri di Saigon, memprotes rezim Cao Ky, menurut Prof.
Ishii berasal dari Mahayana -- bukan Theravada. Padahal yang
biasanya dihubung-hubungkan dengan "atheisme" adalah Theravada,
yang tetap memegangi ucapan Budha: "Apa yang tidak disabdakan,
biarlah tinggal tak disabdakan" -- dan karena itu "mereka juga
tak pernah menolak ide ketuhanan. "
Timbulnya banyak sekte, seperti dalam Mahayana atau yang pecah
daripadanya, tak mungkin pada Theravada. Alasan: "Sekali mudah
menerima hal baru dalam ajaran seterusnya akan mudah pecah. "
Dan Therevada tak demikian.
Dus ketahanan yang dimaksud memang melulu menyangkut bidang
swasta. Budhisme, setidaknya bagi kaum orthodox, sama sekali
netral dalam politik. Sangha toh tetap bisa bertahan tanpa
seorang raja pelindung -- sementara seorang komunis tidak dengan
sendirinya non-Budhis. Meski begitu mengenai apa yang sebenarnya
sedang terjadi di Kamboja misalnya, Prof. Ishii mengatakan tidak
tahu persis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini