BERTAHUN-TAHUN kepala negara Angola melambaikan bendera merah kepada rekannya dari negara-negara kaya. Negara di selatan Benua Afrika yang punya 13 juta penduduk itu sudah lama menderita. Dengan pendapatan per kapita US$ 550—lebih rendah dari Indonesia, yang US$ 688—rakyat Angola hidup merana karena selama 23 tahun tercabik perang saudara. Tapi, tak setitik pun perhatian datang ke sana.
Mendadak, dalam dua pekan belakangan ini Presiden Angola Jose Eduardo dos Santos kebanjiran telepon dari mereka yang selama ini ia mintai pertolongan. Ada Presiden Amerika Serikat George W. Bush, Wakil Presiden AS Dick Cheney, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, ataupun Presiden Prancis Jacques Chirac. Mereka tiba-tiba menjadi teman yang penuh perhatian dan menawarkan berbagai bantuan kemanusiaan. ”Padahal selama bertahun-tahun kami sangat kesulitan menarik perhatian negara-negara maju agar membantu kami,” kata Dos Santos.
Ada apa? Penyebabnya karena posisi negara yang kaya minyak itu sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga 31 Desember 2003. Suara mereka begitu berharga. AS dan sekutunya ingin dukungan untuk resolusi kedua yang melegitimasi aksi militer ke Irak, sementara koalisi Prancis, Rusia, dan Jerman juga ingin sokongan untuk menolak resolusi tersebut.
Serunya ”rayuan gombal” ke Angola itu hanya sepotong adegan dari unjuk diplomasi AS untuk menang dalam pemungutan suara resolusi kedua yang terjadi minggu ini. AS dan sekutunya membutuhkan sembilan suara—tanpa ada veto dari Prancis, Rusia, dan Cina—untuk melancarkan aksi 200 ribu-an tentara AS yang sudah siap tempur di Turki yang berbatasan dengan Irak. Beberapa negara dianggap penting oleh kubu AS, dan karenanya dukungan mereka benar-benar harus diperoleh (lihat: Di Kubu Manakah Mereka?).
Dari serunya lalu-lintas diplomasi ini, tampaklah bahwa AS tidak akan mundur dari rencana menyerang Irak. Untuk itu, sebelum benar-benar menyerang, pemerintahan Bush berusaha mengumpulkan pembenaran sebanyak mungkin. Tujuan utama dari semua usaha pendekatan ke negara-negara pemilik suara di Dewan Keamanan itu adalah untuk melegalkan serangan—meskipun tanpa resolusi itu pun AS tetap akan maju menyerang Irak.
Selain menempuh jalur diplomasi, AS juga melancarkan taktik promosi untuk meyakinkan dunia bahwa sikap melucuti persenjataan Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein adalah demi perdamaian dunia dan kemanusiaan. Sehari sebelum Hans Blix mengumumkan hasil inspeksi senjata di Irak tahap kedua, Jumat pekan silam, dalam pidatonya Bush menyatakan bahwa apa pun temuan Blix tidak akan mengubah keyakinan AS. ”Dunia hanya butuh jawaban satu pertanyaan: apakah rezim Irak telah sepenuhnya melucuti senjata tanpa syarat seperti yang diamanatkan oleh Resolusi 1441 atau tidak,” Bush menegaskan. ”Ini abad ke-21. Jika sudah sampai pada masalah keamanan negara kami, kami tidak perlu izin dari siapa pun.”
Jalur diplomasi lain juga mereka ambil. Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, misalnya, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Prancis Dominique de Villepin untuk membicarakan kemungkinan kompromi dari isi resolusi kedua, Kamis pekan lalu. Pada hari yang sama, Bush menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin guna mendiskusikan tercapainya jalan tengah. Bush dan Putin berencana kembali saling menelepon sebelum pemungutan suara resolusi terjadi. Lalu, Powell juga beracara makan siang dengan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, Jumat pekan silam.
Menteri Powell bahkan hadir sendiri mewakili AS saat Blix mempresentasi temuan timnya dan memaparkan kerja sama Irak, yang telah menghancurkan misil Al-Samoud 2, di depan Dewan Keamanan PBB, Jumat lalu. Powell bertugas meyakinkan Dewan bahwa Saddam adalah pembohong. Misil yang dihancurkan itu hanyalah sandiwara, karena intelijen AS punya bukti bahwa Irak masih membuat misil-misil serupa yang sebenarnya dilarang oleh PBB sejak berakhirnya Perang Teluk 1991, dan masih memproduksi senjata pemusnah massal.
Gencarnya upaya dua kubu ini membuat banyak pihak pesimistis kompromi di Dewan akan tercapai. Teknik diplomasi seperti ini memang harus dilakukan AS dan sekutunya karena etikanya memang demikian: diplomasi dahulu, baru boleh perang.
Meski begitu, ”perang” sebenarnya sudah dimulai. AS telah meminta agar dua perwakilan Irak di PBB diusir, Rabu lalu. Jenderal Tommy Frank, komandan tertinggi pasukan penyerbu Irak, menyatakan tetap maju meskipun parlemen Turki tidak menyetujui penempatan tentara AS dan sekutu di negaranya. Beberapa insiden juga sudah terjadi: tentara AS sudah masuk di perbatasan Irak, penembakan oleh pesawat Inggris di Basrah, dan adanya serangan udara yang menyebabkan tiga penduduk sipil Irak di Provinsi Anbar meninggal. Perang tinggal menghitung hari.
Bina Bektiati (Guardian, USA in Review, Economist, CNN)
Di Kubu Manakah Mereka?
ADA dua hal penting yang dapat membantu kelancaran serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak: dukungan penuh Turki dan jumlah suara yang mendukung resolusi kedua AS di Dewan Keamanan. Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, dan Bulgaria pasti mendukung resolusi kedua. Sedangkan Prancis, Rusia, Cina, dan Jerman ada di kubu seberangnya. Masih ada Pakistan, Meksiko, Cile, yang belum jelas sikapnya. Kemungkinan besar mereka berusaha agar negara-negara besar berkompromi. Anggota Dewan Keamanan lainnya masih diperebutkan.
Suara negara-negara itu juga bergantung pada apa yang mereka dapatkan dari kubu yang didukungnya. Berikut posisi terakhir negara-negara yang terlibat dalam resolusi tersebut.
Turki
- Peran: sebagai negara yang berbatasan dengan Irak, Turki adalah kunci kesuksesan rencana serangan militer AS.
- Apa yang didapat: US$ 15 miliar berupa pinjaman dan bantuan yang menjadi ”ganti rugi” untuk tempat yang digunakan sebagai pangkalan serangan ke Irak.
- Diplomasi: pejabat AS dari berbagai lapisan terus-menerus melobi dukungan penuh Turki.
- Suara: pemerintah Turki akan menekan parlemennya yang telah menolak Turki dipakai sebagai pangkalan penyerangan.
Nugini Bissau, Afrika Barat
- Peran: satu suara di DK sebagai anggota tidak tetap hingga 31 Desember 2003.
- Apa yang didapat: bantuan militer dari AS. Telah mendapat bantuan AS untuk penanganan pengungsi dari negara tetangganya, Sierra Leone.
- Diplomasi: utusan Prancis, AS, dan Inggris sudah berkunjung dan bertemu pemerintah Nugini Bissau. Menteri Luar Negeri Inggris Jack Straw siap-siap berkunjung jika diperlukan.
- Suara: sangat bergantung pada kesehatan presidennya, Lansana Conte, yang sedang sakit keras. Jika Conte meninggal sebelum voting, suara negara ini dianulir.
Cile
- Peran: satu suara di DK sebagai anggota tidak tetap hingga 31 Desember 2004.
- Apa yang didapat: perjanjian perdagangan yang menguntungkan dengan AS.
- Diplomasi: Bush, Blair, dan Aznar rutin menelepon.
- Suara: masih belum bisa ditentukan.
Angola
- Peran: satu suara di DK sebagai anggota tidak tetap hingga 31 Desember 2004.
- Apa yang didapat: bantuan dana dan senjata. Angola butuh pengelola cadangan minyak, dan perusahaan ELF Prancis adalah pengelola minyak terbesar di sana. Tapi negara investor terbesar adalah AS.
- Diplomasi: Presiden AS George W. Bush dan wakilnya, Dick Cheney, telah menelepon Presiden Angola Jose Eduardo dos Santos. Presiden Chirac berkunjung ke sana.
- Suara: akan mendukung resolusi kedua.
Pakistan
- Peran: satu suara di DK sebagai anggota tidak tetap hingga 31 Desember 2004. Posisi sebagai negara Islam juga penting.
- Apa yang didapat: Penghapusan utang US$ 1 miliar dan bantuan kemanusiaan yang besar. Masih banyak lagi bantuan yang dijanjikan, bahkan AS akan menutup mata soal program misil nuklir.
- Diplomasi: sejak 11 September 2001, Presiden Pervez Musharraf telah menjadi ”teman baik” AS dan Inggris.
- Suara: belum bisa ditentukan.
Kamerun
- Peran: satu suara di DK sebagai anggota tidak tetap hingga 31 Desember 2003.
- Apa yang didapat: Prancis adalah negara donor dan investor terbesar di Kamerun.
- Diplomasi: utusan AS dan Inggris sudah berkunjung, tapi Presiden Prancis Jacques Chirac sudah menyetop upaya itu melalui pertemuan Franco-Afrika di Paris.
- Suara: hampir pasti mendukung Prancis.
Meksiko
- Peran: satu suara di DK sebagai anggota tidak tetap hingga 31 Desember 2003.
- Apa yang didapat: penghargaan lebih baik dari AS dan kemungkinan hukum imigrasi yang lebih adil ke Meksiko.
- Diplomasi: Presiden Meksiko Vincente Fox mengakui Bush, Blair, dan PM Spanyol Jose Maria Aznar sebagai ”teman dan keluarga”.
- Suara: mendukung AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini