Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada informasi yang terdengar tentang Gulshan Abbas, perempuan Uighur 56 tahun, setelah ia menghilang dari kediamannya di Urumqi, ibu kota Daerah Otonomi Xinjiang, Cina. “Tidak ada kabar sejak dia diculik pada 11 September 2018,” kata Rushan Abbas, adiknya yang tinggal di Virginia, Amerika Serikat, kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Rushan baru sadar kakaknya berurusan dengan aparat keamanan enam hari setelah ia menjadi narasumber sebuah acara diskusi di Hudson Institute, Washington, DC. Saat itu ia berbicara tentang kamp-kamp reedukasi kaum Uighur di Xinjiang. “Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar dari kerabat bahwa kakak dan bibi saya ditahan,” ucapnya. Rushan yakin kakaknya ditahan otoritas Cina di salah satu kamp reedukasi.
Dua keponakan Rushan, yang tinggal di Florida dan Maryland, Amerika, juga tidak lagi dapat berkomunikasi dengan ibu mereka lewat aplikasi WeChat sejak 11 September 2018. Awalnya mereka mengira sang ibu jatuh sakit atau teleponnya rusak. Tapi, hingga kini, kabar dari Urumqi tak kunjung tiba dan diduga sang ibu telah dibawa ke kamp. “Kakak saya dokter dan fasih berbahasa Mandarin. Buat apa dia ditahan di kamp pendidikan ulang?” tutur Rushan.
Rushan, 50 tahun, adalah salah satu warga Uighur-Amerika yang anggota keluarganya di kampung halaman ditangkap polisi Cina dan diduga dijebloskan ke kamp reedukasi. Pemerintah Cina menyebut kamp itu sebagai pusat pendidikan dan pelatihan vokasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan sedikitnya 1 juta orang Uighur, Hui, Kazakh, dan etnis minoritas muslim lain ditahan di kamp-kamp yang tersebar di Xinjiang.
Dari kesaksian sejumlah bekas tahanan, mereka menjalani program indoktrinasi di sana. Mereka dipaksa mempelajari propaganda Partai Komunis Cina, bersumpah setia kepada Partai, dan mencela Islam. Ada pula yang berkisah tentang pengalaman melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan ajaran Islam, seperti memakan daging babi dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Semuanya bertujuan mengikis keyakinan mereka terhadap Islam.
Separuh lebih dari 24 juta penduduk Xinjiang adalah warga etnis minoritas muslim, yang sebagian besar Uighur. Meskipun merupakan kelompok minoritas muslim terbesar kedua setelah Hui, kaum Uighur mengalami penindasan paling keras karena perbedaan bahasa dan budaya. Sementara mayoritas orang Hui fasih berbahasa Mandarin—bahasa utama etnis mayoritas Han—warga Uighur lebih akrab dengan bahasa Turki. “Wajah kami juga tidak seperti orang Cina (Han) sehingga sangat mudah dikenali. Perempuan Uighur umumnya mengenakan jilbab,” kata Presiden Kongres Uighur Dunia Dolkun Isa kepada Tempo.
Xinjiang juga menyimpan sejarah perlawanan terhadap Beijing. Orang-orang Uighur, seperti Dolkun Isa dan Rushan Abbas, acap menyebut kampung halaman mereka sebagai Turkistan Timur, bukan Xinjiang. Sebelum Partai Komunis Cina pimpinan Mao Zedong menguasai Xinjiang pada 1949, kaum Uighur pernah mendirikan Republik Turkistan Timur pada 1933 dan 1944.
Rekam jejak inilah yang membuat Beijing selama puluhan tahun mengekang praktik keagamaan kaum Uighur. Setelah serangkaian serangan antipemerintah yang penuh kekerasan mencapai puncaknya pada 2014, Presiden Cina Xi Jinping meningkatkan tekanan terhadap mereka. Pemberantasan paham Islam radikal juga menjadi jargon kampanye Beijing. “Xinjiang berada dalam periode aktif kegiatan terorisme dan separatisme,” ucap Xi.
Pengajaran agama Islam di Xinjiang Islamic Institute, Urumqi, Xinjiang, 3 Januari 2019./REUTERS/Ben Blanchard
Sejak itulah aparat mengawasi ketat kehidupan warga Uighur. Lebih dari 7.300 polisi dikerahkan untuk memelototi stasiun-stasiun dan sudut-sudut kota di Xinjiang serta menyita paspor hampir semua orang Uighur. Pemantauan digital dilakukan lewat pemasangan ribuan kamera pengawas, perekaman data biometrik, juga kewajiban kaum Uighur mengunduh dan memasang aplikasi khusus yang melacak jejak digital pada telepon seluler mereka. Dua tahun belakangan, Beijing juga meng-operasikan kamp-kamp reedukasi.
Kaum Uighur makin terjepit setelah pemerintah Cina menerbitkan undang-undang asimilasi untuk penduduk muslim pada awal bulan ini. Surat kabar pemerintah, Global Times, melaporkan bahwa organisasi Islam dari delapan provinsi, termasuk Beijing, Shanghai, Hunan, Yunnan, dan Qinghai, telah sepakat menerapkan aturan baru tersebut untuk “menyelaraskan Islam dengan sosialisme dan budaya Cina” dalam lima tahun ke depan. “Ini bukan soal mengubah kepercayaan, kebiasaan, dan ideologi Islam, tapi membuatnya selaras dengan masyarakat sosialis,” ujar Gao Zhanfu, Wakil Dekan China Islamic Institute, yang berbasis di Beijing, merujuk pada kebijakan yang dilabeli “Sinofikasi Islam” tersebut.
Dampak aturan baru ini antara lain masjid-masjid wajib mengibarkan bendera nasional Cina dan menggantung spanduk propaganda serta slogan Partai Komunis di dindingnya. Associated Press melaporkan bahwa bangunan masjid diharuskan sesuai dengan arsitektur Cina, simbol bulan sabit dan kubah dilucuti, serta materi komunisme dimasukkan ke dakwah.
Haiyun Ma, profesor sejarah di Frostburg State University, Amerika Serikat, mengatakan Sinofikasi Islam dilatari kekhawatiran Beijing terhadap pengaruh asing. Menurut dia, Partai Komunis ingin menciptakan Islam Cina yang dipandu ateisme. “Beijing menganggap pengaruh Arab berbahaya dan harus dihapus total dari kehidupan muslim Cina,” tutur Haiyun. “Beijing juga ingin mengisolasi muslim Cina dari negara-negara muslim lain.”
Kebijakan asimilasi Beijing ini muncul beberapa hari setelah polisi menggerebek dan menutup tiga masjid komunitas Hui yang tak terdaftar di Weishan, Provinsi Yunnan. Mereka menangkap lebih dari 40 orang dan mencederai puluhan anggota jemaah. Pejabat Biro Keamanan Publik Kota Praja Weishan menyatakan masjid-masjid itu dibangun secara ilegal dan mengajarkan materi keagamaan di luar kurikulum negara.
Penutupan masjid dan sekolah berbahasa Arab sebelumnya terjadi di Ningxia dan Gansu—keduanya pusat muslim Hui di utara Cina—setelah Presiden Xi Jinping menyerukan penyelarasan agama Islam dan membuatnya tunduk di bawah Partai Komunis. Masjid serta lembaga keagamaan lain juga harus didaftarkan dan disetujui negara sebelum beroperasi.
Bukan hanya kaum muslim yang menjadi korban Sinofikasi. Sepanjang tahun lalu, misalnya, polisi di berbagai daerah menutup paksa ratusan gereja tak resmi atau “rumahan”—gereja yang beroperasi di luar jaringan gereja yang disetujui pemerintah. Mereka juga mencopot salib dari bangunan gereja serta memaksa gereja memasang bendera Cina dan menyanyikan lagu-lagu patriotik.
Pada November 2018, Gereja Alkitab Pembaharu Guangzhou ditutup untuk kedua kalinya dalam tiga bulan. “Partai Komunis ingin menjadi Tuhan bagi negara Cina dan rakyat Cina. Padahal, menurut Alkitab, Tuhan adalah Tuhan. Pemerintah takut kepada gereja,” kata pendeta gereja itu, Huang Xiaoning.
Langkah Beijing terhadap kaum muslim, terutama warga Uighur, ini menuai kecaman dari Kongres Uighur Dunia, organisasi di pengasingan yang mendukung hak menentukan nasib sendiri kaum Uighur Xinjiang. “Itu bukan Sinofikasi Islam, tapi perang melawan Islam,” ujar Dolkun Isa, yang memimpin organisasi ini dari Muenchen, Jerman.
Aksi Beijing terhadap kaum Uighur membuat hidup Dolkun sebagai eksil tidak tenang. Seperti Rushan Abbas, pria 51 tahun ini waswas atas nasib anggota keluarganya di Xinjiang. Polisi Cina telah menahan ayah, ibu, dan dua saudara lelakinya di salah satu kamp reedukasi.
Isa hanya mendapat kabar bahwa ibunya, Ayhan Memet, telah meninggal di dalam kamp tahun lalu. Adapun nasib ayahnya, Isa Memet, masih samar. “Saya tidak tahu apakah dia masih hidup. Memikirkannya benar-benar menghancurkan hati saya,” ucapnya.
MAHARDIKA SATRIA HADI, ASMAYANI KUSRINI (BRUSSELS), (REUTERS, SCMP, THE GUARDIAN, DW)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo