Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Revolusi Gender Ketiga di Bundestag

Parlemen Jerman mengesahkan regulasi gender ketiga. Negara Uni Eropa pertama yang memberikan opsi gender di luar pria dan wanita.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demonstrasi menentang pemaksaan gender melalui pemotongan kelamin seorang interseks di Jerman, November 2013./Youtube/Al Jazeera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivis gender memuji langkah parlemen Jerman (Bundestag) sebagai “revolusi kecil” setelah disahkannya regulasi tentang interseks sebagai gender ketiga. Dengan aturan yang mulai berlaku 1 Januari lalu itu, Jerman menjadi negara Uni Eropa pertama yang menawarkan opsi di luar gender pria dan wanita di akta kelahiran. Jumlah interseks di negeri itu sekitar 80 ribu orang. Di dunia, menurut studi Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlahnya 0,5-1,7 persen dari populasi global.

Vanja, seorang interseks, berencana merayakan kebijakan baru ini dengan mengubah kategori jenis kelamin di akta kelahirannya menggunakan gender ketiga itu. Pria asal Leipzig inilah yang membawa isu gender ketiga ke pengadilan dan kemudian memicu lahirnya kebijakan baru dari pemerintah Jerman. Perkembangan baru dari Bundestag ini, kata Vanja, “Memberi saya perasaan damai baru.”

Vanja terlahir sebagai interseks pada 1989. Dia memiliki ciri seksual di antara pria dan wanita, tapi terdaftar sebagai perempuan. Selama masa kanak-kanak, ia berpakaian layaknya gadis. Tapi, kala itu, ia merasa perempuan bukan jenis kelamin yang tepat untuknya.

Ia mengaku sering kesal ketika harus memutuskan kotak mana yang akan dicentang, pria atau wanita, dalam sejumlah dokumen. “Saya merasa didorong ke sudut sehingga harus menyesuaikan diri secara tidak sukarela,” tuturnya. Saat memilih kamar kecil, ia juga menghadapi banyak ganjalan. Namun akhirnya ia memilih kamar kecil pria karena ada kemungkinan orang akan memintanya keluar kalau masuk ke toilet wanita.


Vanja terlahir sebagai interseks pada 1989. Dia memiliki ciri seksual di antara pria dan wanita, tapi terdaftar sebagai perempuan. Selama masa kanak-kanak, ia berpakaian layaknya gadis. Tapi, kala itu, ia merasa perempuan bukan jenis kelamin yang tepat untuknya.


Ketidaknyamanan itu mendorongnya mengajukan permintaan perubahan jenis kelamin dari “perempuan” menjadi “antar/beragam” di akta kelahirannya pada 2014. Namun otoritas yang menangani akta kelahiran menolak memprosesnya. Upaya bandingnya juga tak membuahkan hasil. Vanja, didampingi lembaga masyarakat Dritte Option (Opsi Ketiga), membawa masalah ini ke pengadilan.

Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Federal menolak gugatan Vanja karena tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak dasar. Tapi Mahkamah Konstitusi pada November 2017 menyatakan parlemen harus membuat undang-undang baru untuk memungkinkan adanya gender ketiga. Kabinet menindaklanjuti putusan itu dengan membuat klasifikasi jenis kelamin baru, yakni “beragam”, untuk orang interseks. Proposal pemerintah ini disetujui Bundestag pada 22 Desember 2018 dan mulai berlaku 1 Januari 2019.

Putusan Bundestag ini memang bukan yang pertama. Pengadilan Tinggi Australia memutuskan pemerintah harus mengakui gender ketiga sejak 2014. Pada 2017, California menjadi negara bagian Amerika Serikat kedua setelah New York yang mengizinkan penduduknya tidak mengidentifikasi diri sebagai pria atau wanita di akta kelahiran. Beberapa negara telah memberikan opsi gender netral di paspor dan dokumen resmi, termasuk Argentina, Bangladesh, Kanada, Denmark, India, Malta, Nepal, Belanda, Selandia Baru, serta Pakistan.

Grietje Baars, dosen senior di The City Law School di London, menilai mungkin sudah waktunya menghapus kolom gender itu. “Ini seperti menghapus kolom agama atau ras di kartu identitas. Itu tidak berarti Anda tidak bisa lagi menjadi Katolik atau berkulit hitam. Saya hanya ingin mengatakan bahwa bukan urusan negara untuk mengelompokkan orang dengan cara itu,” ujarnya.

ABDUL MANAN (DEUTSCHE WELLE, CNN, THE LOCAL, GUARDIAN, NEW YORK TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus