Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Agar Pohon Aras Tetap Tegak

Oposisi tahu diri, menghentikan mogok dan blokade mereka. Tapi ancaman konflik antarkelompok tetap besar.

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasi di Beirut kembali normal, Kamis pekan lalu. “Kantor-kantor kedutaan mulai buka, begitu juga tempat bisnis lainnya, seperti bank, pasar, dan kantor. Tentara sudah membersihkan jalan-jalan dari segala rintangan,” cerita Muhammad Zaenal Azis, diplomat di Kedutaan Besar Indonesia di Beirut, kepada Tempo lewat saluran telepon internasional.

Beirut di hari-hari ini seperti bergerak menuju konflik dengan skala lebih besar. Apa yang menimpa kota itu dua hari lalu, kata Azis, hampir tak terbayangkan sebelumnya. Di beberapa titik di Beirut terjadi bentrokan antara pendukung pemerintah dan kelompok oposisi. Di kawasan Kristen, Daura, terjadi bentrokan antara oposisi Tayyar Al-Watani Al-Hoor atau Gerakan Patriotik Bebas pimpinan Jenderal Michael Auon dan kubu propemerintah, Partai Lebanon Forces pimpinan Samir Geagea. Tiga orang tewas, puluhan luka-luka.

Di jalan menuju airport yang merupakan kawasan Syiah pro-oposisi, mobil-mobil yang lewat dirusak massa, jalan-jalan dihalangi ban dan mobil bekas yang dibakar. Di area Barbir, tempat mayoritas Sunni, terjadi bentrokan antara Sunni propemerintah dan Syiah pendukung oposisi. “Pemogokan melumpuhkan Libanon,” cerita Zaenal Azis.

Namun, para pemimpin oposisi pemerintahan Perdana Menteri Fuad Siniora rupa-rupanya sadar kapan mereka harus “injak rem”. Bayang-bayang tentang perang saudara yang menyengsarakan, 1975-1990, belum lagi angkat kaki, dan mereka tak ingin itu terulang lagi. Selasa malam lalu, mereka bertemu untuk menangguhkan mogok massal itu. “Untuk menghindari fitnah dan perang sipil,” ujar Aoun. Tapi, mereka mengancam melanjutkan aksi bila pemerintah tidak menanggapi tuntutan oposisi.

Pemimpin Hizbullah, Syeikh Hassan Nasrallah, juga sepakat dengan Aoun. “Kami menghentikan sementara tekanan terhadap pemerintah agar terjadi perdamaian antara warga sipil dan mencegah perang saudara, seperti yang diinginkan musuh Libanon, Israel dan Amerika Serikat,” ujarnya setelah bertemu dengan pengikutnya di Beirut, Rabu malam silam. Tapi, Nasrallah juga memperingatkan bahwa kubu oposisi bisa kembali bergerak kapan saja bila tuntutan tidak dipenuhi. “Oposisi memiliki kekuatan organisasi dan politik, serta popularitas. Kami bisa menumbangkan pemerintahan yang tidak konstitusional ini kapan saja,” kata Nasrallah.

Oposisi, yang terdiri dari gabungan beberapa partai seperti Harakat Amal, Hizbullah, Gerakan Patriotik Bebas, menuntut agar mereka diberi peran lebih besar dalam memutuskan kebijakan pemerintah. Mereka meminta perombakan kabinet, karena 25 menteri yang ada sekarang didominasi orang-orang pro-Siniora dan Rafik Hariri, mantan perdana menteri yang dibunuh pada 14 Februari 2005. Ketika pemerintah Libanon akan membentuk “pemerintahan nasional bersatu” setelah perang 34 hari dengan Israel, Juli-Agustus 2006, kelompok oposisi merasa kurang punya suara di pemerintahan. Lalu, mereka memutuskan keluar. Lima menteri, tiga dari Hizbullah (Menteri Luar Negeri, Air dan Energi serta Ketenagakerjaan), dua dari Amal (Menteri Kesehatan dan Pertanian), dan satu dari Gerakan Patriotik, mundur sejak 13 November 2006.

Seminggu kemudian, Menteri Perindustrian Pierre Amine Gemayel, dari Partai Kataeb yang propemerintah dan anti-Suriah, dibunuh. Lalu pemerintahan Siniora bersama anggota kabinet yang tersisa memutuskan pembentukan “pemerintahan nasional bersatu” yang rencananya terdiri dari 30 menteri. Pemerintah juga memutuskan dibentuk peradilan internasional dengan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk kasus pembunuh Hariri.

Keputusan-keputusan penting yang dibuat–termasuk mencari tambahan utang US$ 6 miliar (Rp 54,45 triliun)–tanpa melibatkan Hizbullah, Amal, dan partainya Aoun itulah yang membuat pihak oposisi berang, seraya menyebut pemerintah tidak konstitusional. Selain itu, Siniora yang Sunni memang tidak ingin oposisi mendapat jatah cukup besar di kabinet, hingga mampu mempengaruhi pembuatan keputusan-keputusan penting. Maklum, di parlemen, kelompok oposisi sudah menguasai hampir setengahnya, yaitu 56 dari 128 total kursi. Ditambah lagi, ketua parlemennya, Nabih Berri, adalah dari Amal.

Pihak oposisi sepertinya tetap ingin bergerak di jalur legal dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Gelombang demonstrasi pertama yang dipimpin Hizbullah digelar pada awal Desember. Sekitar 800 ribu orang ikut dalam “pesta” besar itu. Aksi massa dilanjutkan sampai akhir Desember lalu. Sedangkan gelombang ketiga terjadi pekan lalu.

Harus diakui kebenaran di balik kata-kata Nasrallah, bahwa oposisi memiliki kekuatan riil. “Yang kita perjuangkan adalah demi kepentingan bangsa,” kata Nasrallah, yang juga menolak campur tangan asing, termasuk Iran dan Arab Saudi, dalam penyelesaian masalah Libanon.

Nah, di tengah gonjang-ganjing politik di dalam negeri, warga menyaksikan Siniora pergi ke Paris, Prancis, Selasa pekan silam, untuk bertemu 30 negara dan organisasi donor. Mereka, antara lain Prancis, AS, dan negara-negara Liga Arab, dengan cepat dan singkat menyepakati jumlah yang lebih besar ketimbang permintaan Siniora. Pertemuan “Paris III”, Kamis pekan lalu, menghasilkan kesepakatan utang baru US$ 7,6 miliar (Rp 69 triliun).

Meskipun pihak donor menegaskan tidak akan memberikan cek kosong kepada pemerintah Siniora–dana dari utang itu akan dicairkan sesuai dengan proposal pembangunan yang diajukan pemerintah–protes oposisi tetap tidak dapat diredam. “Utang itu berbau politik, dipakai melumpuhkan oposisi,” kata Aoun. Pemerintah AS, misalnya, pasti tidak ingin US$ 770 juta (Rp 7 trilun) uangnya sampai digunakan untuk kepentingan Hizbullah.

Yang pasti, semua utang ini menambah beban rakyat Libanon. Karena besar utang sekarang sudah mencapai US$ 41 miliar (Rp 372 triliun), setara dengan 180 persen pendapatan kotor per tahun negara itu (GDP). “Kami tidak mau rakyat menanggung beban utang itu. Apalagi di tangan pemerintah yang tak transparan dan korup seperti sekarang ini,” kata Aoun.

Maklum, perekonomian Libanon memang buruk, bahkan sebelum serangan Israel tahun lalu. Dana Moneter Internasional (IMF), Juni 2006, secara serius memperingatkan bahaya libatan utang Libanon. Tahun lalu, sepertiga anggaran belanja negara itu digunakan untuk membayar bunga utang.

Perang Israel-Hizbullah makin memperburuk perekonomian Libanon. Tentara Israel menyerang di musim panas, saat orang Libanon panen kunjungan turis–biasanya pada Juli-Agustus saja, pemasukan dari pariwisata mencapai US$ 8 juta (Rp 72,6 miliar). Kerugian sektor pariwisata masih ditambah kerusakan infrastruktur dan hancurnya sekitar 200 ribu rumah.

Siniora yang “sukses” mendapat utang baru, yang seharusnya bisa digunakan memperbaiki perekonomian negaranya, belum bisa berlega diri. Sebab, dia belum mampu mendapat formulasi “pemerintahan nasional bersatu” yang mampu merangkul semua pihak dalam satu Libanon; bukan sebagai perpanjangan kepentingan asing, seperti Iran, Suriah, Israel, AS. Tapi, masalahnya–seperti menurut banyak analisis–pemerintah Siniora lemah. Baik kelompok propemerintah maupun kelompok oposisi belum bisa menemukan titik temu yang pas.

Perang saudara telah berakhir 17 tahun silam. Perang Hizbullah-Israel juga sudah resmi usai Agustus lalu. Namun, di antara perang-perang itu, Libanon tidak pernah sepi dari “perang” lain, konflik-konflik yang berbungkus sekte dan agama, seperti Sunni, Syiah, Maronit, Kristen, Katolik, Druze. Selama pemerintah–siapa pun itu–belum berhasil menemukan formula perekat yang menyatukan semuanya, konflik aliran tetap mengancam, menghantui negara pohon aras itu.

Ahmad Taufik (UPI, Al-Adab, The Guardian dan BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus