Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh mahal harga sebuah kesembronoan. Pekan-pekan ini, ratusan ribu unggas klepek-klepek tersambar flu. Jutaan itik, ayam, entok, perkutut, di berbagai daerah pun sedang jadi sasaran pemusnahan. Lebih gawat lagi, posisi manusia juga semakin rentan dalam jalur penularan avian influenza. Semuanya gara-gara kesembronoan. ”Kita semua yang kena akibatnya,” kata Tri Satya Putri Naipospos, dokter hewan yang juga ahli flu burung.
Siapa yang sembrono? ”Pemerintah,” kata Tri Satya, yang juga Wakil Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsia-gaan Menghadapi Pandemi Influenza.
Tri Satya menegaskan, pemerintah telah lalai mengetatkan program vaksinasi massal pada unggas. Padahal, sejak 2003, pasukan virus flu sudah unjuk gigi dengan kekuatan penuh di kalangan unggas. Sejak 2003 hingga kini sekitar 12 juta unggas yang tersebar di seluruh negeri telah tewas tanpa daya.
Sejatinya, Departemen Pertanian sempat bertindak efektif menyetop pagebluk flu di kerajaan unggas. Sepanjang tahun 2004, pemerintah mengguyur negeri unggas dengan vaksinasi massal. Ketika itu disediakan 300 juta dosis vaksin, terutama untuk unggas sektor 3 (peternakan rakyat) dan sektor 4 (unggas di permukiman). Vaksinasi untuk sektor yang lain, yakni peternakan besar 1 dan 2, diserahkan ke pengusaha pemilik peternakan.
Layak disoroti, program vaksinasi massal tadi cukup sukses. Angka kematian unggas mereda signifikan. Seperti tampak pada grafik, setelah diguyur vaksin, kematian unggas gara-gara flu burung turun dari 5 juta (2004) menjadi 1,3 juta (2005).
Sayang sekali, momentum emas penurunan wabah flu di kerajaan unggas lepas begitu saja. Vaksinasi intensif tidak digeber. Sepanjang 2005, tak ada lagi vaksinasi massal untuk unggas di sektor di permukiman. ”Pemerintah lengah,” kata Tri Satya, yang pada 2004 menjadi Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian.
Tahun berikutnya, stok vaksin bermasalah karena urusan tender pengadaan. Silang sengkarut vaksin apa yang boleh digunakan, tipe H5N1 atau H5N2, memperparah situasi. Indikasi pengadaan vaksin sebagai proyek cari untung juga tak dapat ditutupi (lihat Tempo edisi 7 Agustus 2006).
Walhasil, stok vaksin unggas baru tersedia akhir tahun lalu. Itu pun jumlahnya cuma 48 juta dosis, hanya 16 persen dari yang dibutuhkan.
Rentetan akibat yang muncul bisa ditebak. Kesehatan si blorok (induk ayam), si jago, entok, dan merpati di permukiman jadi terabaikan. Padahal mereka salah satu mata rantai penting dalam penyebaran flu burung. Statistik berbicara gamblang. Lebih dari 80 persen pasien positif flu burung di negeri ini terjangkit virus dari unggas di sekitar permukiman. Pada 2005, di Tangerang, contohnya, almarhum Iwan Siswara dan dua putrinya diduga terinfeksi virus dari kotoran burung peliharaan tetangga.
Dan, lihatlah yang terjadi setelah pemerintah mengabaikan kesehatan si blorok. Sepanjang bulan ini, flu burung kembali menggebrak. Ratusan ribu ayam mati di berbagai lokasi, mulai dari Sawahlunto, Tasikmalaya, sampai Bekasi. Manusia pun tak luput jadi korban. Empat nyawa melayang dalam tempo kurang dari seminggu (Tempo, 22 Januari 2007).
Kini, setelah ledakan flu burung muncul, barulah pemerintah beraksi. Instruksi pelarangan pemeliharaan unggas di permukiman dirilis. Sebuah kebijakan yang ditanggapi beragam, termasuk dengan menggeber vaksinasi (lihat Satu Perintah Beragam Terjemah).
Dr Heru Setijanto, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), sepakat perlunya vaksinasi unggas. Cakupan untuk unggas permukiman pun mesti 100 persen. ”Ini wajib, demi memotong jalur penularan,” kata Heru. Seharusnya pula, vaksinasi digelar dua-tiga kali agar ketahanan tubuh si unggas bagus. Jika cuma sekali, seperti yang selama ini terjadi, unggas cuma mendapat kekebalan semu.
Pendapat senada muncul dari I Wayan T. Wibawan, Ketua Komisi Kesehatan Hewan Departemen Pertanian. ”Kekebalan tanggung itu yang menakutkan,” katanya. Buntutnya, si unggas malah menjadi biang kerok penyebaran virus kepada sesama unggas dan juga manusia.
Wayan mengakui, menyuntik vaksin buat unggas yang berkeliaran di permukiman sama sekali tak gampang. Mereka tak mungkin diminta antre dan berbaris rapi. ”Tak jarang petugas harus menangkap dan menguber ayam sampai di atas pepohonan,” katanya.
Ada lagi soal lain. ”Sulit bagi si pemilik untuk mengingat mana yang sudah divaksin sekali, mana pula yang dua kali,” kata Wayan. Padahal salah suntik berdampak fatal dan membuat koloni virus justru jadi kebal. ”Jauh lebih berbahaya unggas yang divaksin ngawur dibanding unggas yang tak divaksin,” kata Wayan, yang juga Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Lalu, bagaimana agar vaksinasi si blorok permukiman berjalan lancar? Pemerintah Jawa Barat menyodorkan alternatif menarik. Provinsi ini tidak sama sekali memusnahkan unggas di permukiman seperti yang diterapkan Jakarta. Si blorok, merpati, ayam jago, boleh dipelihara asal kandangnya berjarak minimal 250 meter dari permukiman. Jurus lain, vaksinasi total akan digelar. Bulan depan, tahap pertama vaksinasi total akan dilakukan di Kabupaten Ciamis.
Tentu langkah ini butuh ongkos tak sedikit. Di seluruh Jawa Barat diperkirakan ada 31 juta unggas yang perlu divaksin. ”Vaksinasi akan dilakukan tiga kali setahun,” kata Rachmat Setiadi, Kepala Dinas Peternakan Jawa Barat. Total jenderal, 93 juta dosis vaksin dibutuhkan. Luar biasa. Jumlah yang hampir setara dengan persediaan vaksin nasional.
Lalu, dari mana dana didapat? Demi menyelamatkan unggas, dan terutama manusia, dari terkaman virus H5N1, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan tak ragu menguras anggaran sampai Rp 30 miliar. Pokoknya, ”Berapa pun dana akan disiapkan,” kata Gubernur Danny. Rencananya, kantong kas dana tak terduga dilirik sebagai pos dana penyediaan vaksin.
Komitmen Jawa Barat memang patut diapresiasi, terutama bila dibandingkan dengan langkah pusat yang kalah gesit. Seorang pejabat mengungkapkan, pengadaan vaksin nasional secara komprehensif belum memungkinkan lantaran penghitungan kebutuhan terperinci tak kunjung dilakukan.
Untung saja, masih ada bantuan luar negeri. Musni Suatmodjo, Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian, menyatakan bahwa tahun ini hampir 100 juta dosis vaksin untuk sektor permukiman disiapkan. ”Bantuan Cina dan Bank Dunia,” katanya. Lantaran jumlahnya terbatas, penyebaran vaksin akan dilakukan selektif, terutama ke wilayah yang berisiko tinggi.
Nah, dengan persediaan vaksin yang cupet, kerja ekstrakeras tentu dibutuhkan demi menyukseskan program vaksinasi. Namun, Musni yakin, kerja bareng dengan berbagai daerah, termasuk Jawa Barat, akan berlangsung efektif. ”Harapan kita, tahun depan kasus flu burung nol,” kata Musni.
Dwi Wiyana, Ahmad Fikri (Bandung)
Satu Perintah, Beragam Terjemah
Pada mulanya adalah instruksi yang dirilis Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie. Senin dua pekan lalu, Pak Menteri melansir keputusan penting, yakni pemerintah memutuskan melarang keberadaan unggas nonkomersial –kurang dari 10 ekor—di permukiman yang berada di daerah risiko tinggi flu burung. ”Mekanisme pengumpulan dan pemusnahan unggas di permukiman diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah,” katanya.
Nah, daerah menanggapi instruksi ini dengan beragam tafsir. Tim reporter Tempo News Room mengumpulkan berbagai versi terjemahan instruksi Menteri Aburizal tersebut.
Joniansyah (Tangerang), Faidil Akbar (Banten), Ahmad Fikri (Bandung), Rofiudin (Semarang), Endang Purwanti (Depok), Imron Rosyid (Sukoharjo)
Propinsi | DKI Jakarta | Banten | Jawa Barat | Jawa Tengah |
---|---|---|---|---|
Aturan | Peraturan Gubernur No. 15 Tahun 2007 tentang Pengenda-lian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas. Berlaku 17 Januari 2007 | Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2007 tentang Pencegahan Beredarnya Wabah Flu Burung pada Manusia. Berlaku 22 Januari 2007 | Surat Edaran Gubernur No. 524.31/179/Yansos tentang Antisipasi Pandemi Flu Burung. Berlaku 18 Januari 2007 | Peraturan Gubernur No. 446/1670 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Flu Burung |
Unggas di permukiman | Dilarang, Dimusnahkan | Boleh, asal dikandangkan dan jarak kandang minimal 250 meter dari permukiman | Dilakukan penertiban. Unggas harus divaksin | Unggas dikandangkan, divaksin dan kandangnya disemprot disinfektan |
Unggas untuk hobi, penelitian dan pendidikan | Wajib disertai sertifikat | Dilarang memelihara burung di lingkungan permukiman | Wajib disertai sertifikat | |
Sanksi bagi pelanggar | Unggas yang tetap ada di permukiman akan disita | Unggas yang tetap ada di permukiman diambil untuk dimusnahkan | Tak ada sanksi bagi bupati/wali kota yang menolak merilis peraturan daerah |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo