SEBAGAIMANA yen yang naik tiba tiba di pertengahan 1980-an, angkatan bersenjata Jepang pun tiba-tiba jadi kekuatan yang tak boleh diremehkan kini. Memang, persenjataan dan tentara Jepang belum memukul kekuatan Amerika Serikat di Pasifik. Tapi di kawasan ini, kini militer Jepang nomor tiga, setelah AS dan Uni Soviet. Di dalam negeri, konon, hal ini tak membawa kebahagiaan merata sebagaimana naiknya nilai tukar yen. Masih banyak orang Jepang belum sembuh benar dari trauma Perang Dunia II. Masih ada yang tak rela sebagian pajak dari rakyat dipakai mengembangkan angkatan bersenjata. Kembalinya keangkeran militerJepang itu agaknya yang membuat para menteri pertahanan seluruh Pasifik, pekan lalu, bersedia ke Tokyo untuk merundingkan soal keamanan wilayah dan Olimpiade Seoul. Dan bila direncanakan pekan ini, atau selambatnya pekan depan, Menteri Pertahanan Tsutomu Kawara berkunjung ke Jakarta, memang ada yang penting sehubungan dengan kekuatan militer di kawasan Timur. Kunjungan itu terkait dengan menjelang habisnya masa anggaran militer Jepang periode 1986-1990. Bukan rahasia lagi, Jepang berniat menandingi kekuatan militer Soviet di kawasan Timur Jauh. Itu berarti anggaran baru militernya harus naik. Ini bukan soal mudah. Masalahnya bukan sekadar menuang milyaran yen, yang tentu mudah sekali bagi negeri ini kini. Persoalannya adalah bagaimana meyakinkan para tetangga, baik jauh maupun dekat, bahwa ini tak berbahaya. Pernah memang, kritik dan nadasumbang terlontar dari sejumlah neara Pasifik, menjelang pengesahan anggaran 1986-1990. Kala itu, banyak yang khawatir pada kebangkitan kembali militer Jepang. Jangan-jangan Jepang akan memarklr armada tempurnya di Jalur-jalur laut strategis, termasuk jalur Asia Tenggara-Jepang, untuk menjaga kelancaran suplai minyak dan bahan mentah lainnya. Padahal, anggaran militer pada periode itu hanya dinaikkan menjadi 1,04% dari Penghasilan Kotor Nasional (GNP), dari 0,9% pada periode sebelumnya. Waktu itu perdana menteri Jepang, masih Nakasone, sampai berkeliling Pasifik, menjelaskan latar belakang kenaikan anggaran itu. Katanya, itu semata karena tekanan AS. Sebabnya, antara lain, defisit neraca perdagangan AS dengan Jepang di tahun 1983 saja sudah mencapai US$ 75 milyar. "Sudah saatnya bagi Jepang untuk mengurangi beban kami," ujar Presiden Ronald Reagan. Caranya, dengan membeli berbagai produk alat perang ringan maupun berat dari AS. Ini memang ironis. Sebab, AS sebenarnya melarang Jepang punya angkatan perang. Pasukan bela diri sudah cukup, dengan anggaran maksimum hanya 1% dari GNP. Bahkan untuk mengawasi kepatuhan Jepang, sekahgus menjamin keamanan negara itu dan serangan musuh, Amerika membangun pangkalan militer di Pulau Okinawa. Lampu hijau dari Reagan itulah yang membuat Jepang mulai tak menggubris kekhawatiran bangsa lain dengan kehadirannya sebagai penguasa samudra. Perdana menteri yang sekarang, Noboru Takeshita, malah tak melupakan pesan politik Nakasone tentang kemungkinan keterlibatan armada Jepang dalam pengamanan Teluk Persia. Periode mendatang, kalau tak ditolak Parlemen, Jepang jelas akan punya daya serang ampuh. Dengan alasan mengimbangi kekuatan Soviet di Timur Jauh, Jumlah pesawat tempur dan armada kapalnya direncanakan akan dilipatkan sampai melewati kekuatan Armada ke-7 Angkatan Laut AS. Bayangkan, tahun ini, karena melesatnya GNP, anggaran militer Jepang mencapai US$ 30 milyar. Lebih besar daripada 4 negara superkuat Eropa Barat - Prancis Inggris, Italia, dan Jerman Barat. Itu belum termasuk dana riset dari kocek perusahaan-perusahaan swasta, yang secara langsung atau tidak bisa diterapkan dalam mesin-mesin perang. Dari segi teknologi, daya tempur militer Jepang juKa tak kalah hebatnya. Bahkan Amerika sudah beberapa kali mengaku kalah, dengan meminta lisensi atau menawarkan kerja sama riset. Proyek kerja sama terbesar adalah riset pengembangan senjata strategis (SDI), yang kemudian lebih kondang dengan istilah Perang Bintang. Di AS, para ilmuwan Jepang punya peran kunci di bidang elektronik dan teknologi laser. Temuan-temuan lam yang membuat para jenderal geleng-geleng kepala adalah kemampuan Jepang menyusupkan teknologl tinggi kc dalam mesin-mesin perang konvensional. Misalnya, Mitsubishi berhasil mengembangkan pesawat pemburu yang tak perlu menukik untuk menyikat sasaran di darat. Kawasaki sukses mengembangkan tank yang ruang awaknya terasa empuk bagai sedan. Dan Toshiba punya roket jarak dekat paling jitu di dunia. Bisa diduga, Soviet-lah tentu paling jengkel menghadapi perkembangan itu. Satusatunya pangkalan angkatan laut Soviet di Pasifik, Wladiwostok, langsung berhadapan dengan Jepang. Apalagi sejarah militer Soviet pernah tercoret tinta hitam, ketika tahun1905 Soviet menyatakan takluk pada Jepang dalam Perang Selat Sushima. Kecemasan Soviet tercermin dengan terbitnya buku khusus, Japan's Militaty Poer oleh pemerintah Kremlin, yang isinyapesan tentang ancaman militer Jepang di dunia. Kata buku itu, jumlah prajurit Jepang akan membengkak dari 155.000 jadi 900.000. Hanya saja, Jepang belum bisa menggaet keuntungan komersial dari industri militernya. Pasalnya, konstitusi Jepang melarang ekspor segala bentuk mesin perang. Hanya AS yang berhak mencabut larangan itu, dan itu pun nyaris tak mungkin. Soalnya, kalau dicabut, Jepang bisa melahap pasar senjata dunia, dengan mengandalkan kecanggihan dan kemurahan harga. Salah satu buktinya, roket jarak dekat AMS-1 buatan Mitsubishi, yang bagaikan panah Pasopati milik Arjuna, harganya hanya sepertiga dari Exocet buatan Prancis. Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini