PROTES dan demonstrasi masyarakat Republik Soviet Armenia, yang melibatkan ratusan ribu warga sejak Februari lalu, setelah korban pun jatuh, ternyata sia-sia. Setidaknya hingga Jumat pekan lalu, perjuangan mereka mentok karena pihak "lawan", Republik Soviet Azerbeijan, lewat parlemennya menolak melepaskan wilayah yang jadi sengketa. Padahal, upaya orang Armenia tak kepalang tanggung. Misalnya, beberapa waktu lalu petisi ribuan halaman berisi bukti sejarah bahwa wilayah yang disengketakan Nagorno-Karabakh, masuk wilayah Armenia, sempat dikirimkan ke Moskow. Hampir tiap hari, selama sekitar empat bulan belakangan ini, aksi-aksi jalanan meramaikan Yerevan, ibu kota Armenia. Ribuan orang itu, tak bosan-bosannya menyanyikan lagu kebangsaan Armenia, diselingi teriakan-teriakan protes agar kampung halaman mereka dibebaskan dari penjajahan. Penjajahan? Sebagaimana diketahui, 75.000 dari 160.000 warga Nagorno-Karabakh, adalah orang Armenia. Sebagaimana orang Armenia yang lain, merekapun memeluk Kristen. Sementara itu, sebagian warga yang lain adalah orang Azerbeijan, pemeluk Islam. Menurut versi Armenia, sehari-hari orang Azerbeijan tak bersahabat karena melihat mereka sebagai kafir ironis memang, bahwa ini terjadi di Uni Soviet, negeri komunis. Pertentangan agama itu sebenarnya sudah ada sejak Moskow memasukkan Nagorno-Karabakh dalam wilayah Azerbeijan pada 1923. Bila permusuhan di bawah permukaan itu baru muncul Februari lalu, itu karena selama ini kebijaksanaan pembangunan pemerintah Azerbeijan menelantarkan orang Armenia. Lama-kelamaan orang Armenia merasa dijadikan warga kelas dua. Meletuslah aksi protes di Nagorno-Karabakh. Karena mereka mayoritas, azablah orang Azerbeijan. Celakanya, orang-orang Azerbeijan dari lain wilayah merasa solider, lalu berdatangan ke Stepnakert, ibu kota wilayah sengketa, dan melakukan aksi balas dendam. Menurut saksi mata, 35 orang Armenia tewas, dan tak jelas berapa yang dicederai, diperkosa, dan menderita tindakan biadab lainnya. Malah Jumat pekan lalu, menyambut keputusan parlemen Azerbeijan yang menolak menyerahkan wilayah sengketa, di Baku, ibu kota Republik Soviet satu ini, puluhan ribu rakyat turun ke jalan. Untung, prajurit Uni Soviet dan poliSi antihuru-hara slgap memblokir gerakan itu. Kalau tidak, bisa dijamin, peristiwa Februari bakal terulang. Di balik soal Islam-Kristen dan warga kelas dua, sebenarnya soal utamanya adalah politis. Kremlin memasukkan Nagorno-Karabakh ke Azerbeijan guna memecah kekuatan orang Armenia. Sebab, mereka dikenal sebagai kaum pedagang yang antikomunis. Bila mereka sampai kompak, apalagi mendapat dukungan orang Armenia yang berada di luar Soviet, dikhawatirkan mereka akan merepotkan Moskow. Meski, dilihat dari warga Soviet keseluruhan, 280 juta, 3,3 juta orang Armenia - mereka memang termasuk minoritas dibandingkan etnis lain di Soviet - tentulah bukan apa-apa. Gorbachev tentu puyeng, memikirkan langkah apa yang harus diambil untuk menuntaskan pertengkaran di antara dua republik satelitnya. Dua bulan lalu, ketika menerima utusan kedua seteru itu, dia pernah berjanji untuk langsung turun tangan. Lalu berpesan bahwa rakyatlah sebenarnya yang lebih berwenang untuk mengambil keputusan. Tampaknya, sang pemimpin ingin melaksanakan glasnost, politik keterbukaan, dengan konsekuen. Pesan itulah yang akhir pekan lalu dimanfaatkan oleh pemerintah Armenia untuk mengkritik bahwa penolakan parlemen Azerbeijan menyalahi pasal 70 dalam konstitusi Soviet. Pasal itu menyebutkan bahwa rakyat Soviet punya hak menentukan nasibnya sendiri. Padahal, keputusan Azerbeijan tak melibatkan rakyat Nagorno-Karabakh. Tapi, sementara itu, ada pasal lain bisa mementahkan tuntutan Armenia. Yakni pasal 78, yang menandaskan bahwa perubahan perbatasan hanya bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan di antara republik-republik yang bersangkutan. Dan karena Republik Soviet Armenia merupakan minoritas, suara dari Azerbeijan (warga etnis Azerbeijan sekitar 6,6 juta) rupanya yang lebih didengar. Dan efek sengketa itu tak cuma terbatas di wilayah kedua republik yang terletak di selatan, di perbatasan dengan Turki dan Iran, tapi juga naik ke utara, masuk ke Moskow. Kasus Nagorno-Karabakh dipakai oleh kaum "konservatif" guna menyerang Mikhail Gorbachev secara terbuka. Kata mcreka, peristiwa memalukan ini tak akan terjadi kalau tak ada glasnost dan perestroika. Kabarnya, mereka sudah mempersiapkan berbagai argumentasi untuk menohok Gorbachev di kongres partai yang bakal dibuka Selasa pekan depan. Bahkan Kosomolskaya Pravda, harian yang dikelola oleh anggota yunior PKUS, sebuah tajuk rencananya menyerang gagasan Gorbachev pula. "Yang terjadi di Nagorno-Karabakh adalah pukulan terhadap perestroika. Mungkin pukulan paling serius." Tajuk itu pun memperingatkan bahwa glasnost tak sesuai dengan Soviet. Pravda yunior itu pun mencemaskan kawasan Trans-Kaukasia itu akan menjadi sumber bentrokan agama, sebagaimana Belfast, di Irlandia Utara. Juga, kasus Armenia-Azerbeijan, yang demikian besar, bisa saja akan memancing republik lainnya untuk melakukan bentrok dengan tetangga. Ada dugaan, Gorbachev akan mengambil jalan tengah, guna menghindarkan seranganserangan di dalam kongres pekan depan. Nagorno-Karabakh akan dijadikan wilayah otonomi yang terlepas dari Republik Azerbeijan atau Armenia. Ide itulah, menurut dugaan pengamat Barat, yang akan ditawarkan Gorbachev dalam kongres. Tapi itu belum menyelesaikan masalah, karena warga wilayah itu terdiri atas dua etnis yang kini telanjur bermusuhan. Akankah Nagorno-Karabakh dibagi dua? Prg.& Kristoforus Moan Nong (Riset)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini