MEMBUAT pesawat terbang itu ternyata tak mudah. Juga bagi Israel, negara yang memiliki segudang tenaga ahli berkualitas tinggi. Ahad pekan lalu. Kabinet Israel menghentikan program pembuatan pesawat tempur supercanggih Lavi, yang sudah dimulai sejak 1983, dan telah menghabiskan dana 1,5 milyar dolar AS (sekitar Rp 2,4 trilyun). Keputusan memang diambil dengan berat hati. Tak kurang dari delapan kali sidang kabinet diperlukan, tahun ini, hanya untuk mencapai kesepakatan itu. Akhirnya, Minggu 30 Agustus lalu, keputusan untuk menghentikan proyek Lavi diambil dengan dukungan 12 lawan 11 suara dari 25 anggota kabinet. Ini berarti kemenangan bagi Menteri Luar Negeri Shimon Peres dan partai buruhnya terhadap Menteri Yitzhak Shamir dari partai kanan Likud dalam kabinet koalisi Israel. Kemenangan itu dicapai setelah Menteri Kesehatan Shoshana Arbeli, dan seorang kabinet lainnya, mengubah suaranya dari sebelumnya tak setuju menjadi abstain, "karena tekanan dari sesama anggota partai buruh." Keputusan ini membuat pendukung Lavi berang. Ribuan pekerja pada Industri Pesawat Terbang Israel (IAI) segera mengadakan demonstrasi, dan polisi terpaksa menggunakan pentungan serta gas air mata untuk membubarkannya. Maklum, tak kurang dari 3.500 karyawan terlibat dalam proyek pembuatan pesawat tempur Israel untuk tahun 1990-an itu. Bahkan menteri tanpa porto folio, Moshe Arens, insinyur penerbangan yang menjadi otak proyek Lavi, telah mengumumkan pengunduran dirinya sebagai tanda protes. Bagi Arens, ahli aerodinamik lulusan universitas terkemuka Massachusetts Institute of Technology (MIT), keputusan ini berarti berakhirnya sebuah cita-cita. Adalah di bawah upaya kerasnya ketika menjabat sebagai menteri pertahanan, Israel berhasil membujuk AS untuk membiayai proyek Lavi. Maka, jadilah proyek itu sebagai proyek paling prestisius, yang mencitrakan keunggulan teknologi Israel. Cita-cita ini sebenarnya sudah lama dipendam negara yang kemampuan tempurnya banyak dikagumi itu. Adalah perang Yom Kipur, 1973, yang menyebabkan keinginan mewujudkannya semakin menggebu-gebu. Pasalnya, pada perang itu Israel sempat kehilangan seperempat dari pesawat tempurnya oleh rudal lawan. Padahal, keunggulan di udara merupakan hal yang sangat vital dalam pertempuran di kawasan padang pasir seperti Israel. Itulah sebabnya para perencana militer Israel lalu mencoba merancang pesawat tempur yang memenuhi kebutuhan khas negara mereka. Yakni pesawat pendukung operasi darat yang tak mudah dijatuhkan rudal lawan dan murah Namun, dalam proses perancangannya, ternyata ide berkembang terus. Misalnya saja, lalu diinginkan juga kemampuan menyergap pesawat musuh. Maklum, di kawasan ini Israel dapat digempur musuhnya dengan hanya beberapa menit terbang dari pangkalan mereka Walhasil, Lavi -- dalam bahasa Israel berarti singa akhirnya berkembang menjadi pesawat mahal, yang ternyata 50% komponennya tetap harus dibeli dari AS. Dan membengkaknya biaya ini pula yang ternyata menjadi "rudal" yang merontokkan Lavi. Pada awalnya, para perancang IAI memperkirakan harga satuan pesawat tempur serbaguna ini sekitar 7 juta dolar saja. Kini Pentagon memperkirakan harga pesawat yang prototipnya pernah terbang tahun lalu itu, sekitar 22 juta dolar. Padahal, harga F-16, pesawat penyergap ringan terampuh saat ini, diperkirakan hanya 13,5 juta dolar saja. Maka, wajarlah bila Pentagon ialu mendesak pemerintah AS agar memaksa Israel menghentikan proyek Lavi. Apalagi lebih dari 90% pembiayaan bernilai 2,4 trilyun rupiah itu berasal dari para pembayar pajak Amerika. Lagi pula, pesawat berhidung runcing ini ternyata direncanakan untuk diekspor. Artinya, akan menyaingi pesawa tempur buatan AS sendiri di pasaran internasional. Tercatat yang paling mendongkol pada proyek ini adalah Northrop Corp. perusahaan pesawat terbang AS yang mengeluarkan lebih dari Rp 1,6 trilyun dari koceknya untuk membuat pesawat tempur F-20, dan akhirnya harus menghentikan proyeknya karena tak ada pembeli. Sementara itu, Lavi, yang dalam rencana semula berniat mengekspor 407 pesawat di luar kebutuhannya sendiri sebanyak 300 buah -- mendapat bantuan dana percuma dari pemerintah AS. Bantuan militer AS pada Israel sejak 1985 memang 100% berupa hibah. Bantuan ekonomi malah sudah diberlakukan sejak 1981. Hal ini dilakukan pemerintah AS agar utang pokok Israel pada negara itu tak melebihi 10 milyar dolar AS, dan utang bunga tak melebihi 15 milyar dolar. Untuk tahun ini bantuan AS pada Israel adalah 3 milyar dolar dengan 1, milyar di antaranya berupa bantuan militer. Ini berarti Israel adalah penerima bantuan terbesar dari AS, seperlima dari total bantuan AS pada negara asing. Bandingkan dengan total yang diterima 45 negara Afrika yang cuma seperlima belas dari total itu (hanya satu milyar dolar). "Mungkin kita harus mengubah kebijaksanaan bantuan asing kita," kata Lee H. Hamilton, anggota kongres AS yang mengawasi masalah bantuan pada negara asing itu. "Kebijaksanaan ini telah berubah drastis dalam 15 tahun terakhir ini. Sekarang kita ternyata telah memberikan bantuan berdasarkan pertimbangan politis, bukan kemanusiaan lagi," tambahnya pada wartawan harian terkemuka Washington Post. Selain jumlahnya besar dan tak perlu dikembalikan, bantuan dana AS pada Israel juga punya kekhususan lain. Negara yang anggaran belanjanya setara dengan APBN Indonesia -- kendati penduduknya separuh Jakarta -- ini bisa membelanjakan uang bantuan sebebas-bebasnya. Dan, hebatnya, para pendukung Israel di AS berhasil membuat kongres AS menggolkan UU yang menyatakan, minimal bantuan AS pada Israel harus cukup besar untuk menutup cicilan utang negara itu -- yang tahun ini berjumlah sekitar 1 milyar dolar. Kendati demikian, hubungan khusus AS dan Israel ini ternyata tak dapat menyelamatkan proyek Lavi. karena sebagian besar pejabat pemerintah Israel sendiri tak mendukungnya lagi. Tak kurang dari Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin berkampanye menghentikan program ini karena khawatir akan menyedot dana bagi kebutuhan militer lain yang lebih penting. Menteri Keuangan Moshe Nissim malah jelas-jelas menyatakan, "Lebih bermanfaat bagi Israel untuk membeli F-16 saja." Dengan begitu, mimpi Arens pun terpaksa diempaskan. Bambang Harymurti, bahan kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini