Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lemari pendingin Institut Perubatan Forensik Negara, Rumah Sakit Kuala Lumpur, jenazah Kim Jong-nam terbujur. Tak ada satu pun kerabat menunggu jasad kakak tiri pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un, tersebut. "Hanya ada jenazah Kim di ruangan itu," kata seorang petugas kamar mayat yang ditemui Tempo, Kamis sore pekan lalu.
Menurut dia, ruangan tempat itu sengaja dikosongkan. Sebelum tubuh Kim tiba di sana, belasan jenazah lain—umumnya korban kejahatan dan kecelakaan—dipindahkan ke ruangan di sebelahnya. Di muka lemari pendingin, tertempel foto putra tertua Kim Jong-il tersebut. Petugas yang pernah masuk ke ruangan itu mengatakan di foto tersebut Kim Jong-nam mengenakan jas hitam.
Pintu kamar Kim selalu ditutup. Di depannya minimal ada empat polisi khusus berjaga, mengenakan balaklava dan bersenjata laras panjang dengan popor terlipat. Para personel Polisi Diraja Malaysia juga bersiaga di gang-gang di dalam kompleks pemulasaraan jenazah. "Mungkin ada belasan hingga 20 petugas," ujar petugas yang sama.
Jenazah Kim, menurut petugas itu, bagai diperlakukan khusus. Sesaat setelah mayat Kim masuk lemari pendingin, kamera pengaman dipasang di berbagai sudut. Pintu pagar putih setinggi 1,5 meter di depan kompleks kamar jenazah selalu ditutup. Kamis malam pekan lalu, hanya ada tiga mobil di dalamnya. Salah satunya mobil van bertulisan Balai Polis Bergerak.
Tak sembarang orang diperkenankan masuk, hanya petugas dengan kartu identitas kamar jenazah yang boleh melenggang. "Kalau ada datuk—tokoh adat di Malaysia—yang meninggal pun perlakuannya tidak sampai begini," kata petugas yang ditemui Tempo.
Pelayat jenazah lain pun dibatasi. Sujadi, 32 tahun, buruh bangunan asal Lamongan, Jawa Timur, malam itu tak diperkenankan melihat jenazah Arifin, kawannya yang juga asal Lamongan, yang meninggal karena kecelakaan. "Hanya keluarga yang boleh melayat. Itu pun hanya dua orang," kata Sujadi.
Polisi sempat menahan seorang juru warta Korean Broadcasting System (KBS) akibat mencoba menyusup masuk ke kompleks kamar jenazah pada Selasa pekan lalu. Dia ditahan karena tidak membawa kartu pengenal dan paspor. "Saya melihat polisi menarik wartawan itu dan menyita semua perlengkapannya," ujar petugas yang sudah lima tahun bekerja di kamar mayat itu. Belakangan, si jurnalis dibebaskan setelah kru stasiun televisi Korea Selatan itu membawakan dokumen identitas pria tersebut.
Persis di seberang Institut Perubatan Forensik Negara, sekitar 20 juru warta masih terus memantau. Belasan tripod dipancang, dengan lensa kamera televisi mengarah ke kamar jenazah. Ingarnya pemberitaan begitu kontras dengan Kim Jong-nam yang terbujur sendirian.
Perang kata-kata meletus antara pemerintah Malaysia dan Korea Utara. Tewasnya Kim Jong-nam di Terminal 2 Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur telah memicu pertikaian diplomatik kedua negara itu. "Penyelidikan polisi Malaysia bukan untuk mencari penyebab kematian dan mencari pelaku, tapi bertujuan politik," ucap Kang Chol, Duta Besar Korea Utara untuk Malaysia, di Kuala Lumpur pada Senin pekan lalu.
Kematian Kim Jong-nam memanggang hubungan Malaysia dan Korea Utara, yang terjalin baik sejak 1970. Kritik tajam Kang Chol terhadap kepolisian Malaysia membuat Putrajaya berang. Malaysia memanggil pulang duta besarnya, Mohamad Nizan Mohamad, dari Pyongyang. Perdana Menteri Najib Tun Razak sendiri sampai mengecam balik Kang Chol. "Pernyataan Duta Besar tak beralasan. Secara diplomatik sangat tidak sopan," ucapnya.
Di Korea Utara, warga Pyongyang seakan-akan tak tersentuh kabar kematian Kim Jong-nam. Mereka menjalani hari yang "normal" pada Kamis dua pekan lalu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penduduk ibu kota negeri itu antusias menyambut peringatan "Hari Bintang Bersinar". Bagi rakyat Korea Utara, hari lahir mendiang Kim Jong-il itu seperti halnya ulang tahun Kim Il-sung, yang sangat bersejarah dan khidmat, dirayakan saban 15 April.
Di pusat Pyongyang, ribuan orang berduyun-duyun mendatangi Monumen Bukit Mansu sejak pagi. Mereka bergantian meletakkan karangan bunga di bawah patung Kim Jong-il dan ayahnya, Kim Il-sung, dua bapak bangsa Korea Utara. Anak-anak sekolah berpakaian warna-warni berjalan beriringan menuju patung tembaga setinggi 22 meter tersebut.
Media pemerintah Korean Central News Agency (KCNA) sibuk menyiarkan kunjungan Kim Jong-un ke Istana Kumsusan. Jong-un, yang kini diyakini berusia 33 tahun, memimpin upacara penghormatan terhadap ayah dan kakeknya, yang jasadnya diawetkan dan disemayamkan di tempat yang dikenal sebagai Mausoleum Kim Il-sung itu. "Media Korea Utara tak menyinggung soal kematian Kim Jong-nam," begitu dilaporkan The Telegraph.
Sebaliknya, di Kuala Lumpur, hiruk-pikuk pecah sejak tiga hari sebelumnya. Kematian tak wajar Kim Jong-nam membikin Polisi Diraja Malaysia sibuk bukan buatan. Pria 46 tahun itu tewas diduga akibat diracun saat dia akan bertolak ke kediamannya di Makau, Cina.
Polisi Malaysia telah menetapkan Doan Thi-huong (29 tahun, berpaspor Vietnam); Siti Aisyah (25, Indonesia); Muhammad Farid bin Jalaluddin (26, Malaysia); dan Ri Jong-chol (46, Korea Utara) sebagai tersangka. Doan dan Siti disebut berperan sebagai eksekutor. "Kedua perempuan itu mengusapkan cairan mengandung zat beracun ke wajah Kim Jong-nam," kata Kepala Kepolisian Diraja Malaysia Inspektur Jenderal Khalid Abu Bakar.
Polisi juga memburu Ri Ji-hyon, Hong Song-hac, O Joong-gil, dan Ri Jae-nam. Empat warga Korea Utara itu kabur dari Malaysia pada hari yang sama ketika Kim Jong-nam tewas. Belakangan, Khalid menambahkan, polisi mencari tiga warga Korea Utara lain. Mereka diplomat senior Hyon Kwang-song, 44 tahun; Kim Uk-il (37), pegawai maskapai penerbangan Korea Utara, Air Koryo; dan Ri Ju-u. "Kami sangat percaya (pembunuhan) ini telah direncanakan," ujarnya.
Perhatian langsung tertuju ke Pyongyang. Korea Selatan, negara tetangga dan seteru Korea Utara, paling lantang bersuara. Penjabat presiden negeri itu, Hwang Kyo-ahn, menyebutkan pembunuhan Jong-nam sebagai aksi teroris yang didalangi oleh rezim Kim Jong-un. "Rezim kejam Korea Utara akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan," kata Hwang, mendesak Pyongyang bertanggung jawab atas tewasnya Kim Jong-nam.
Kim Jong-un memang pernah menghabisi orang terdekatnya. Kasus paling kentara terjadi pada 2013, saat dia mengeksekusi pamannya, Jang Song-taek. Dengan tuduhan ingin menggulingkan kekuasaan, korupsi, dan perselingkuhan, Jang diadili dan divonis mati. Jang saat itu orang paling digdaya setelah Jong-un. "Kejadian itu sangat mengejutkan," ucap Victor Cha, bekas Direktur Urusan Asia dari Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Di Korea Utara, suksesi menjadi isu sensitif. Ken E. Gause, dalam bukunya yang berjudul North Korean House of Cards, menyatakan Kim Il-sung sejak awal telah merancang dinasti politik. Upaya pria yang lahir dengan nama Kim Sung-ju itu bermuara pada pengesahan Konstitusi 1972, yang menempatkannya sebagai pemimpin tertinggi. Layaknya dinasti, Kim Il-sung ingin tongkat estafet kekuasaan berayun ke keturunannya.
Ini terbukti pada Kim Jong-il, putra pertama Kim Il-sung dengan istri resminya, Kim Jong-suk. Sebelum mewarisi takhta ayahnya pada 1994, Jong-il digembleng selama hampir dua dasawarsa di berbagai posisi penting pemerintahan. Begitu berkuasa, Jong-il memperkuat jalan suksesi dengan mengesahkan konstitusi sosialis Korea Utara alias Konstitusi Kim Il-sung. "Aturan ini mendasari alih kekuasaan turun-temurun di keluarga Kim," kata Gause.
North Korea Leadership Watch, situs yang mengkaji rezim Korea Utara, menyebutkan Kim Jong-nam sebenarnya digadang-gadang sebagai ahli waris takhta. Namun Jong-il membatalkan rencana itu pada 2001. Insiden memalukan di Tokyo ditengarai membuat Jong-il berubah pikiran. Saat itu Jong-nam dan anak-istrinya, yang berniat ke taman bermain Disneyland, dipulangkan oleh imigrasi Jepang karena kedapatan memakai paspor palsu.
Sejak itu perhatian Jong-il beralih ke putra ketiganya, Kim Jong-un. Seperti kakak tirinya, Jong-un muda pernah bersekolah di Jenewa, Swiss. Sepulang ke Pyongyang, keduanya juga pernah menjabat sejumlah posisi penting di dalam rezim. Tapi pilihan Jong-il dipastikan jatuh ke Jong-un pada September 2010. Kala itu Jong-un ditunjuk sebagai salah satu pejabat teras di partai penguasa, Partai Pekerja. Jong-un, di usianya yang ke-26, juga dianugerahi gelar bintang empat, menjadikannya pejabat tinggi militer.
Wafatnya Kim Jong-il pada akhir 2011 menjadikan Jong-un penguasa negeri berpenduduk 24 juta jiwa tersebut. Sedangkan Jong-nam semakin jauh dari ingar-bingar panggung politik Pyongyang. Anthony Sahakian, bekas teman sekolah Jong-nam di Jenewa, mengatakan sejawatnya itu pernah mengaku merasa terancam sejak adik tirinya bertakhta. "Dia takut," kata Sahakian kepada The Guardian. "Dia khawatir atas keselamatannya."
Kekhawatiran serupa tampaknya dirasakan Kim Jong-il. Dalam wasiatnya, yang ditulis beberapa bulan sebelum kematiannya, Jong-il tidak hanya menguraikan garis kebijakan politik untuk Jong-un. Jong-il juga memberi wejangan, "Jangan pernah mengganggu Kim Jong-nam," kata Ken Gause, mengutip isi salinan surat wasiat Kim Jong-il, yang didapatnya dari seorang sumber pembelot Korea Utara pada 2012.
Lahir dari rahim Sung Hye-rim—aktris tenar yang tak direstui Kim Il-sung—Kim Jong-nam telah lama hidup tersisih dari dinasti Kim. Apalagi sejak ayahnya memperistri Ko Yong-hui, perempuan yang melahirkan Kim Jong-chul, Kim Jong-un, dan Ri Sol-ju. "Ibu tiri yang berpengaruh kuat turut membuat Kim Jong-nam kian tersingkir," begitu menurut The New York Times dan BBC. "Ko benar-benar berambisi dalam politik istana Pyongyang."
Namun Jong-nam, yang tinggal di pengasingan di Beijing dan Makau sejak 2000, dikenal sebagai pengkritik keras Pyongyang. Berbeda dengan Jong-un, pria bertubuh tambun ini bersikap terbuka. Dia beberapa kali diwawancarai juru warta. Dalam sejumlah kesempatan, Jong-nam mengecam cara keluarga Kim mempertahankan kekuasaan. "Saya menentang suksesi selama tiga generasi," katanya suatu kali kepada stasiun televisi Jepang, TV Asahi.
Mahardika Satria Hadi, Pramono (Kuala Lumpur), (The Korea Times, Yonhap, KCNA, BBC, CNN, The Star, SCMP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo