Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAM menunjukkan tepat pukul delapan malam ketika Barack Obama, John McCain, dan Jim Lehrer, penyiar dan Editor Eksekutif The Newshour, PBS, akhirnya muncul di layar televisi seukuran dua meja pingpong. Seperti melepaskan beban mahaberat, ribuan orang yang memadati tanah lapang di tengah-tengah kampus University of Mississippi, Jumat dua pekan lalu, bersorak girang.
Ribuan orang itu terbagi atas dua kubu. Yang satu mengenakan atribut bertuliskan nama Obama, sementara yang lainnya McCain atau Sarah Palin. Mereka berdampingan, berbaur, serta bertepuk tangan dan bersuara sama kerasnya.
Kemunculan ketiga orang itu merupakan puncak dari ketegangan yang telah melanda Ole Miss—sebutan untuk University of Mississippi—sejak sehari sebelumnya. Ribuan pengunjung di Oxford, kota kecil di Negara Bagian Mississippi, itu harap-harap cemas: apakah debat yang telah mereka nantikan berbulan-bulan itu jadi digelar. Soalnya, McCain, calon dari Partai Republik, mengumumkan tak akan hadir di Oxford karena ingin berkonsentrasi pada diskusi di Capitol Hill, Washington, DC, membahas krisis keuangan yang tengah melanda Amerika.
Obama sudah menegaskan akan tetap datang. Seraya menyindir McCain, Obama berkata, ”Seorang presiden harus bisa menangani berbagai masalah sekaligus.” Tapi perasaan waswas tetap saja ada. Bagaimana kalau McCain tak mempedulikan Obama? Apalagi US Today Jumat pagi itu terbit dengan berita utama menggelisahkan: ”Deal or Not Deal.”
Yang paling geram tentu saja sivitas akademika Ole Miss. Jumat siang itu, mereka berdemonstrasi di pusat kota mengecam McCain. Rektor University of Mississippi Robert Khayat mengingatkan kedua calon, pihaknya telah mengeluarkan banyak tenaga dan dana hingga US$ 5,5 juta untuk debat itu.
Bukan cuma itu. Debat kali ini mempunyai arti lain bagi University of Mississippi karena inilah salah satu tempat di selatan Amerika yang paling awal menerima mahasiswa kulit hitam. Itu terjadi pada 1962, ketika James Meredith, pemuda keturunan Afrika-Amerika, memaksa mendaftarkan diri. Ada kerusuhan dan korban jiwa, tapi Meredith akhirnya diterima.
Sejak itu, Ole Miss terbuka bagi mahasiswa kulit hitam. Saat ini sekitar 17 persen mahasiswa Afrika-Amerika belajar di sini. Bahkan tahun lalu para mahasiswa universitas ini memilih seorang wanita kulit hitam sebagai ketua senat.
”Itu sebabnya debat ini bagi kami merupakan peristiwa spesial,” ujar Cy Rosenblatt, profesor di fakultas ilmu politik universitas itu. ”Tepatnya, kami menggelar debat untuk calon presiden Afrika-Amerika pertama di sebuah kampus yang sarat sejarah perjuangan hak asasi kaum hitam.”
Maka histeria di awal debat malam itu dapatlah dimengerti. ”Ini baru jagoan saya,” kata Jenifer, 38 tahun, wanita kulit hitam pendukung McCain, yang rela mengemudi dari Atlanta hanya untuk mengikuti debat dari dekat.
Seperti diperkirakan banyak pengamat, kedua calon presiden lebih banyak berbicara soal krisis keuangan yang tengah melanda Amerika.
”Izinkan saya membuka dengan mengutip kata-kata Jenderal Eisenhower dalam salah satu kampanyenya pada 1952,” ujar Lehrer, yang malam itu bertindak selaku moderator sekaligus penanya. ”Kita harus meraih keamanan dan kecukupan. Soalnya, dasar dari kekuatan militer adalah ketahanan ekonomi.” Lalu satu per satu pertanyaan mengenai strategi mengatasi krisis dia lontarkan.
Debat calon presiden seolah sudah menjadi hal ”wajib” dalam prosesi pemilu Amerika. Barangkali itu sebabnya banyak yang terenyak manakala McCain mengatakan tak akan hadir di Oxford. Para wartawan yang telah hadir di sana, dari waktu ke waktu, memantau breaking news di televisi, apakah McCain berkukuh atau berubah pikiran.
Tapi inilah masalahnya: meski debat ini telah berlangsung sejak 1858, antara Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas, tak ada aturan yang mewajibkan calon Presiden Amerika berdebat. Masyarakat Amerika baru terbiasa dengan debat calon presiden pada 1960, saat mulai disiarkan secara langsung di televisi. Kala itu calon Republik, Richard M. Nixon, berhadapan dengan John F. Kennedy dari Demokrat. Kennedy, yang berjanji akan meneruskan kebijakan Presiden Dwight D. Eisenhower dalam hal peace and prosperity, akhirnya menang.
Tapi, pada pemilu berikutnya, debat kembali menghilang. Presiden Lyndon B. Johnson menolak beradu argumen dengan Barry Goldwater. Johnson, yang menurut survei Gallup saat itu tengah unggul besar, tak ingin merusak popularitasnya dalam debat.
Baru pada 1980 debat kembali berlangsung. Jimmy Carter, yang kala itu tengah mengincar kursi presiden untuk kedua kalinya, setuju berdebat ketika jajak pendapat menunjukkan popularitasnya turun tiga poin di bawah calon Partai Republik, Ronald Reagan. Memang, setelah debat terakhir—seminggu sebelum pemilihan—popularitas Carter naik menjadi 45 persen, enam poin di atas Reagan. Tapi dia kalah dalam pemilu.
”Dibandingkan dengan debat terdahulu, debat kali ini terasa berbeda,” ujar George Kroloff, yang sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi konsultan bagi Commission on Presidential Debates. Komisi ini adalah organisasi nirlaba yang khusus didirikan pada 1987 untuk ”mengawal” debat calon Presiden Amerika.
Yang membikin beda, salah satunya, menurut Kroloff, jumlah wartawan yang demikian banyak. Yang resmi terdaftar saja sekitar 3.200. Ribuan lainnya, bahkan hingga beberapa jam sebelum debat, masih menunggu proses administrasi karena terlambat mengajukan permohonan. ”Dan yang membuat saya terkesan,” katanya, ”ada begitu banyak wartawan asing dari berbagai negara.”
Khusus untuk wartawan, panitia membangun sebuah tenda raksasa seukuran lapangan bola sekitar 20 meter dari gedung Gertrude Castellow Ford Center for the Performing Arts—tempat debat berlangsung.
Malam itu Obama bersama istri datang lebih dulu. Keduanya menyapa wartawan selintas sambil terus melangkah memasuki Orchestra Level, yang terletak di basement Gertrude Castellow. McCain dan istri datang kemudian. Di ruang debat, latar belakang biru dengan logo burung elang, karpet merah, serta dua podium kayu berdekatan di tengah-tengah panggung telah tertata rapi. Tak lama setelah itu, histeria menggema di lapangan terbuka sekitar seratus meter dari gedung tersebut.
Hari-hari setelah debat kemudian dipenuhi suara para pengamat Amerika tentang siapa yang unggul dalam debat di Ole Miss. Tak ada kata sepakat. Tapi yang pasti, menurut polling Gallup, sejak Jumat malam itu popularitas Obama kembali naik. Dia memimpin tujuh hari berturut-turut hingga Kamis pekan lalu: Obama unggul lima poin atas McCain. Padahal popularitas Obama sempat jatuh hingga di bawah rival utamanya itu tak lama setelah McCain menunjuk Sarah Palin sebagai calon wakil presiden.
Mantan presiden Bill Clinton mengatakan Obama mendapat keuntungan dari posisi McCain yang ”lemah” dalam kaitannya dengan isu bailout US$ 700 miliar untuk menopang pasar uang Amerika yang tengah lesu. ”Obama lebih memahami problem ekonomi yang rumit ini,” katanya.
Tapi tetap saja selisih popularitas keduanya sangat tipis. Sulit menebak siapa yang akan menang. Banyak pengamat politik di Amerika mengatakan presiden mendatang akhirnya akan ditentukan oleh pemilih independen di tujuh-delapan negara bagian. Larry Sabato, Direktur Center for Politics, University of Virginia, misalnya, mengatakan negara bagian itu antara lain Nevada, Colorado, Michigan, Ohio, Pennsylvania, Virginia, dan New Hampshire.
Kini banyak orang menunggu debat berikutnya di Belmont University, Nashville, Tennessee, pada 7 Oktober, dan di Hofstra University, Hempstead, New York, pada 15 Oktober. Soalnya, ini akan menjadi momen penting bagi kedua kandidat untuk ”merayu” pemilih yang masih bimbang.
Tapi apakah benar demikian? Curtis Wilkie, wartawan senior dan pemimpin Fakultas Jurnalistik Kelly G. Cook, University of Mississippi, punya pendapat lain. Menurut dia, kemungkinan besar Obama akan menang. ”Ada kecenderungan, setiap kali ada krisis ekonomi, masyarakat Amerika akan mengempaskan partai yang tengah berkuasa,” katanya dalam sebuah dialog di Oxford sehari sebelum debat berlangsung. Jadi, apakah krisis ini akan menjadi berkah bagi Obama?
Philipus Parera (Mississippi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo