Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA lahir di Kampung Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, pada 11 November 1928. Orang tua memberi saya nama Mangombar Ferdinand Siregar. Mereka berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dan termasuk generasi pertama orang Batak yang hijrah ke Pulau Jawa.
Kendati berasal dari keluarga Batak, saya sama sekali tak bisa berbahasa Batak, karena sejak lahir sudah berada di Jakarta. Saya malah mahir berbahasa Belanda, dan kemudian Inggris. Sampai sekarang saya juga baru sekali mengunjungi tanah leluhur, pada 1936, ketika berusia delapan tahun.
Ayah saya bekerja sebagai pegawai menengah di perusahaan penyeberangan milik Belanda. Ibu saya ibu rumah tangga. Saya anak pertama dari lima bersaudara. Di rumah, orang tua menanamkan nilai-nilai disiplin, tapi waktu kecil saya susah diatur. Semaunya sendiri dan suka berantem. Orang tua jadi bingung.
Pada 1930, keluarga saya pindah ke Jalan Malabar, Menteng Pulo, masih di Jakarta Pusat. Di sana, dalam usia enam tahun, saya sudah jadi jagoan. Paling tidak ada enam teman sebaya yang menjadi anak buah saya. Mereka selalu mengikuti ke mana pun saya pergi.
Ketika itu saya dijuluki Sinyo Malabar Si Anak Betawi. Sinyo merupakan panggilan anak dalam bahasa Belanda. Adapun Malabar Si Anak Betawi artinya saya berasal dari Malabar yang ketika itu masih dikitari perkampungan warga Betawi.
Setiap pulang sekolah saya lempar tas, makan siang, dan kabur main bola bersama teman-teman. Kami main di Lapangan Tangkuban Perahu, di dekat Jalan Guntur. Di sana ada lingkaran-lingkaran tempat meriam Belanda.
Setelah Belanda kabur, tempat itu kami jadikan ring tinju. Saya juga selalu berenang di Kanal Banjir, atau Kali Keroncong, Manggarai. Karena nakal, saya sering dicambuk pakai sapu lidi oleh Ibu.
Saya menghabiskan sekolah dasar di HIS Idenburg, Jalan Sumbawa Nomor 10, Menteng, Jakarta Pusat. Lulus pada 1941. Sejak sekolah dasar, saya sudah berkecimpung di olahraga. Saya main sepak bola, lari, kasti, dan renang. Di sekolah dasar, saya juga sudah menjadi pemimpin tim sepak bola.
Hobi lari bermula dari kebiasaan waktu kecil, selalu bangun pukul empat subuh. Bersama ”anak buah”, saya langsung lari mengitari rumah orang-orang Belanda. Kami sengaja bangun pagi-pagi karena ingin melempar mangga orang dan mengencingi susu orang Belanda.
Biasanya, pagi-pagi, botol susu pesanan mereka sudah ada di depan rumah mereka. Nah, jika kami menemukannya, kami kencingi. Saya jail waktu kecil, he-he-he....
Masa kecil saya benar-benar lebih banyak di luar rumah. Main dan berolahraga. Ya, karena saya senang bergaul, berkomunikasi. Dalam bahasa Belanda disebut haantje de vorste, artinya ayam jago yang selalu berada di depan.
Semasa di bangku sekolah menengah pertama, saya jadi pemimpin perkumpulan olahraga sekolah khusus untuk sepak bola. Setamat SMP Negeri II Jakarta, pada 1946, saya langsung melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Parki, Bandung, dan lulus pada 1950.
Lantaran aktif di renang, pada 1948, ketika masih di SMA, saya menjadi pengurus perkumpulan renang. Saya juga ikut membangun perkumpulan renang Tirta Kencana yang ada di Manggarai, Jakarta Pusat.
Pada zaman Belanda, kolam renang Manggarai dilarang untuk pribumi dan anjing. Saya didorong, dipanas-panasi oleh teman-teman untuk masuk, dan akhirnya saya berhasil mendobrak.
Ketika sekolah di SMA Parki, Bandung, saya bergabung dengan mobilisan, tentara yang terdiri atas anak SMP dan SMA. Karena mampu berbahasa Belanda, saya dimasukkan ke CPM (polisi militer), yang tugasnya banyak berkaitan dengan Belanda. Saya menjadi komandan, anak buah saya para pelajar SMP.
Sebagai komandan, saya memegang pistol dan bren. Saya bertugas di mobilisan CPM Batalion Jawa, di bawah komando Mayor Rusli (almarhum). Saya pernah bertugas di Bandung, Subang, Tasikmalaya, Garut, Cibadak, Serang, dan Pandeglang. Setelah 1950, kami disuruh memilih: mau sekolah atau bekerja. Saya pilih sekolah.
Sebelum menjadi mobilisan, saya sudah sering berurusan dengan senjata. Di Jakarta saya sering menginap di Markas Palang Merah Indonesia (PMI) di Jalan Cokroaminoto, dulu disebut Jalan Jawa Nomor 28, Jakarta Pusat. Markas PMI ini sebetulnya cuma kamuflase. Kami gunakan tak hanya untuk menyelundupkan obat, tapi juga senjata, ke pedalaman.
Senjata-senjata itu saya peroleh dari teman di Pejambon, Batalion 10, Jakarta Pusat. Saya ikut menyelundupkan senjata ke Yogyakarta menggunakan kereta. Kalau ada razia tentara Belanda, saya tunjukkan kartu pelajar, dan mengatakan saya bersekolah di Yogyakarta.
Di Markas PMI itu kamar saya bersebelahan dengan Chairil Anwar. Dia sering pulang malam dengan mata merah. Saya tanya, dari mana? Dia jawab, habis jalan-jalan.
Saya sebetulnya bercita-cita menjadi ahli pertanian, tapi setamat SMA, anehnya, saya justru masuk Akademi Pendidikan Jasmani di Bandung. Mungkin karena saya sudah tak bisa lepas dari dunia olahraga.
Selama tinggal di Bandung, saya beberapa kali memimpin kontingen Jawa Barat ke Pekan Olahraga Nasional. Kemudian di tingkat nasional saya dipercaya menjadi Komandan Pusat Latihan Renang untuk Asian Games 1962, di Jakarta.
Sebagai pembina, saya bangga atas keberhasilan mencetak sejumlah atlet renang, seperti Kristiono Sumono, Gerald P. Item, Lukman Niode, dan Naniek Juliati, yang mendominasi nomor renang SEA Games 1977.
Dibanding perenang dari Amerika dan Eropa, perenang Indonesia kalah secara fisik. Hal ini bisa diatasi dengan memilih nomor-nomor renang yang sesuai dengan postur tubuh anak Indonesia, sambil didukung perbaikan gizi serta dilaksanakannya konsep renang tujuh jam sehari serta lomba renang secara berkala.
Pengabdian saya di bidang olahraga menyebabkan Komite Olimpiade Internasional memberikan penghargaan emas L’Ordre Olympique pada 1986. Sepanjang sejarah Indonesia, saya orang ketiga yang mendapat penghargaan itu, setelah mantan Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bekas Menteri Olahraga R. Maladi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo