Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Aljazair: setelah tentara di mana-mana

Presiden Chadli Benjedid, 62, mengundurkan diri. Militer mengambil alih kekuasaan, agar Aljazair tak menjadi negara islam. Diduga, Mmenhan Khaled Nezzar dan PM Sid Ahmad Ghozali didukung tentara.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI Fawzia mestinya sangat mencemaskan anak lelakinya. Ibu Aljazair, yang tinggal di ibu kota itu, pernah berkata, selagi keramas di sebuah salon di Aljier, "Jika tentara yang berkuasa, darah anak lelaki kami yang mengucur." Padahal, sejak Sabtu dua pekan lalu, dengan adanya tentara di segala penjuru, tak sulit disimpulkan bahwa militer telah mengambilalih kekuasaan di salah satu negara Magribi itu. Dan itu berjalan cepat, tanpa letusan senjata meski terselubung dan agak berliku jalannya. Beberapa hari sebelum 11 Januari. Berlangsung pertemuan rahasia antara Presiden Chadli Bendjedid dan beberapa pemimpin partai Islam fundamentalis FIS. Diduga, demikian informasi dari beberapa pejabat tinggi Aljazair pada pers, Presiden Bendjedid minta kesediaan pihak FIS, bila partai fundamentalis Islam itu menang dalam pemilu nasional putaran kedua, tak lalu mengubah Aljazair menjadi negara Islam. Sebagai imbalan, pihak pemerintah akan menjamin pemilu yang lancar. Konon, Bendjedid memberitahukan bahwa ia sudah merencanakan penggantian pada pimpinan militer, untuk mengamankan jalannya pemilu. Pihak FIS hanya menjawab dengan menawarkan satu pemerintahan koalisi dengan Front Pembebasan Nasional (FLN), partainya Bendjedid yang berkuasa. Rupanya pertemuan ini bocor ke tangan militer. Maka terjadilah hal yang tak diduga-duga. Sabtu malam, 11 Januari. Sekelompok perwira tinggi dipimpin oleh Menteri Pertahanan Khaled Nezzar menemui Presiden Bendjedid. Mereka minta pemilu putaran kedua, yang direncanakan akan diselenggarakan pada 16 Januari, ditunda, untuk mencegah kelompok fundamentalis menang. Karena, kemenangan itu akan mengubah Aljazair menjadi negara Islam. Presiden menolak. Karena itu, akan merusakkan reformasi politik yang sudah dijalankannya sejak 1989. Maka, para perwira itu mendesak, kalau begitu silakan Bendjedid mengundurkan diri. Sampai di situ tak ada informasi, bagaimana cara militer mendesak Presiden Bendjedid. Hanya dapat diduga, lewat pidato pengunduran Bendjedid malam ini juga di Televisi Aljier." Bisa jadi, pihak militer mengancam akan melakukan kudeta bersenjata, yang memang dapat mengguncangkan Aljazair, yang tengah mengalami kesulitan ekonomi itu. Mungkin karena itu, Bendjedid, 62 tahun, memilih mengundurkan diri. Untuk itu tadi, menjaga "stabilitas negara". Tentu saja, Bendjedid tak lalu menyerahkan kekuasaan pada tentara. Dalam pidatonya ia menyebutkan bahwa Ketua Dewan Konstitusional Abdelmalek Benhabyles akan mengambil alih tugas-tugas kepresidenan. Dalam UUD Aljazair, dewan beranggotakan tujuh orang ini berfungsi sebagai penjaga konstitusi. Misalnya, apakah referendum, pemilihan presiden, pemilihan anggota parlemen berjalan sesuai konstitusi atau tidak. Juga, dewan inilah yang berhak menyatakan bahwa kursi kepresidenan kosong (karena presiden sakit atau meninggal), untuk kemudian, berdasarkan ketentuan dalam konstitusi pula, Ketua Majelis Rakyat Nasional (parlemen) menjabat sebagai presiden dengan tugas mengadakan pemilihan presiden baru dalam 45 hari. Sementara itu, Sabtu malam ini juga, menurut siaran Televisi Negara Prancis Antenne 2, tentara berjagajaga di seantero Aljazair. Ahad, 12 Januari. Sebelum jelas, apakah Abdelmalek Benhabyles akan meminta ketua parlemen mengadakan pemilihan presiden, sebuah dewan lain membatalkan semuanya. Dewan Keamanan Tinggi, yang sehari-hari berfungsi sebagai lembaga penasihat presiden untuk segala urusan keamanan negara, Ahad pagi, mengeluarkan pernyataan bahwa Abdelmalek Benhabyles tak dapat menjadi penjabat presiden. Menurut konstitusi, penunjukan itu sah bila presiden "tak dapat menjalankan fungsinya". Padahal, dalam kasus ini "presiden mengundurkan diri". Dengan alasan yang janggal itulah Dewan Keamanan, yang beranggotakan 6 orang (perdana menteri, menteri pertahanan, menteri dalam negeri, pangab, dan dua jenderal), menyatakan mengambilalih kekuasaan. Dewan juga mengumumkan tak akan ada pemilu nasional sampai "keadaan memungkinkan berjalannya institusi yang normal". Dengan demikian, pemilihan presiden baru pun ditunda. Kata para pengamat, berdasarkan mayoritas anggota Dewan Keamanan, memang, militer telah melakukan kudeta. Senin, 13 Januari. Penjagaan di jalan-jalan di kota-kota besar diperketat. Apalagi di wilayah basis-basis FIS, tank-tank tampak nongkrong dengan angker. Selasa, 14 Januari. Tampaknya, ada upaya dari pihak militer untuk menghapuskan kesan bahwa kini yang berkuasa tentara. Bersama beberapa pemimpin politik, militer membentuk yang disebuat Dewan Negara, beranggotakan lima orang. Dewan inilah yang dinyatakan menggantikan fungsi kepresidenan, sampai akhir 1993. Dewan ini diketuai Mohammad Boudiaf, 73 tahun, pahlawan kemerdekaan Aljazair, yang pada 1964 dikucilkan ke luar negeri oleh Ben Bella, presiden Aljazair waktu itu. Keempat anggotanya: Menteri Pertahanan Khaled Nezzar, Menteri Hak Asasi Ali Haroun, Ketua Organisasi Nasional Veteran Al Kafi, dan ketua masjid besar di Paris bernama Tidjani Haddam. Tampaknya, itulah dewan yang mencoba memperoleh penghargaan nasional (memasukkan wakil veteran dan ketua masjid), dan internasional (ada wakil hak asasi). Tapi, menurut para diplomat Barat, semua itu disetir oleh dua orang. Yakni, Menteri Pertahanan Khaled Nezzar dan Perdana Menteri Sid Ahmad Ghozali yang sejak dulu didukung tentara. Pada kenyataannya, sulit menghilangkan kesan bahwa tentaralah yang berkuasa. Di tiap perempatan di Aljier, misalnya, sampai akhir pekan lalu masih tampak reguregu keamanan bersenjata lengkap. Basisbasis FIS seperti Masjid Kouba dan Bab El-Oued dijaga ketat. Tak semua orang hanya mengeluh, ada juga yang buka bicara. Abdulhamid Mehri, sekretaris FLN, menuduh para pemimpin yang berkuasa kini tak sah dan melanggar konstitusi. Para pemimpin FIS menamakan Dewan Negara sebagai "sekelompok profesional yang lalim". Kata Abdelqader Hachani, Presiden FIS kini: "Yang terjadi sekarang adalah kudeta terhadap negara Islam dan rakyat Aljazair." Hachani pun, tampaknya, membaca suasana yang belum menguntungkannya. Maka, ia tak memerintahkan, misalnya, para pendukung FIS melakukan demonstrasi besar-besaran. Ia malah meminta pendukung FIS agar tak melakukan aksi protes apa pun. Ia mengkhawatirkan, bila terjadi kerusuhan, penguasa jadi punya alasan untuk membekukan kegiatan FIS dan memberlakukan keadaan darurat. Tak berarti tak ada yang mendukung Dewan Negara. Sejumlah orang bersyukur dengan dibatalkannya pemilu nasional, yang akan membuat kelompok Islam fundamentalis menguasai parlemen, dan kemudian membentuk pemerintahan. "Kami sedang menghadapi dilema besar," tutur Dr. Said Sadi, yang mendukung pemerintahan militer di Aljazair. Ketua Perkumpulan Kebudayaan dan Demokrasi Aljazair ini menjelaskan bahwa Islam fundamentalisme dapat dianggap semacam tumor ganas yang harus dioperasi. Dan sebagaimana kanker, operasi itu memang dapat membahayakan, dalam hal ini, demokrasi Aljazair. Kelompok wanita Aljazair, juga menyambut dingin kehadiran kelompok fundamentalis Islam. Mereka khawatir bila FIS berkuasa, hukum Islam akan diterapkan dengan sungguh-sungguh. Antene parabola, yang dianggap simbol imperialisme Barat, akan dilarang, dan kaum wanita tak banyak mendapat kesempatan kerja. Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Ketika pelari wanita Hassiba Boulmerka meraih medali emas dalam lomba lari 1.500 meter di Kejuaraan Dunia Tokyo, tahun 1990, begitu pulang di Aljier tak hanya sanjungan yang ia terima, tapi juga kecaman. Kecaman itu datang dari para mullah, mengapa Hassiba sampai hati hanya berkaus singlet d~an bercelana ketat hadir di depan ribuan mata penonton. "Kalau saya pakai jilbab, akan mengganggu gaya lari saya," ~awab Hassiba. Ketika Presiden Bendjedid memberi ucapan selamat sambil mencium kening Hassiba, masjid-masjid pun ramai mengkritik ulah Presiden Aljazair itu. Rabu, 15 Januari. Tiga partai politik terbesar secara resmi mengeluarkan resolusi mengecam Dewan Negara, yang didalangi tentara itu, sebagai melanggar konstitusi. Tiga partai (FIS, FLN, dan Front Kekuatan Sosialis) itu menuntut pemilu, yang ditunda, secepatnya dilaksanakan. Kamis,16 Januari. Televisi Aljier menyiarkan kedatangan Mohammad Boudiaf, orang yang ditunjuk sebagai Ketua Dewan Negara,dari Maroko. Tak jelas, mengapa Boudiaf yang ditunjuk. Meski ia salah seorang pahlawan kemerdekaan Aljazair, sejak 1964 ia dikucilkan. Itu sebabnya, menurut koresponden New York Times di Aljier, orang tua berusia 74 tahun ini tak begitu dikenal oleh sebagian besar rakyat Aljazair. Yang menimbulkan pertanyaan dalam diri banyak warga Aljazair, awam atau para politikus dan cendekia, dalam upacara penyambutan itu bukan hanya perdana menteri dan menteri pertahanan, tapi semua kepala staf ketiga angkatan dan kepolisian hadir. Jadinya, upacara itu benarbenar memberi kesan diselenggarakan oleh militer. Jumat, 17 Januar~i. Di sekitar wilayah Bab El Oued, salah satu basis FIS di Aljier, dijaga ketat. Rintangan jalan dipasang, beberapa kendaraan lapis baja parkir di sekitarnya, dan tentara serta polisi memeriksa kartu identitas tiap lelaki, yang masuk ke daerah ini untuk salat Jumat di Masjid Es Sunna. Mereka yang bukan warga Bab El Oued dan sekitarnya, disilakan mencari masjid lain. Tampak pemimpin FIS Hachani di dalam masjid, berkata pada jemaah: "Rezim ini akan segera runtuh, sabar dan waspadalah, hindarkan provokasi." Pagi sebelum orang berdatangan, menurut saksi mata, lima anggota FIS yang militan ditangkap. Akhirnya, menurut Kamal Agoun, Wakil Ketua Yayasan Masjid Es Sunna, "sedikitnya 500 orang ditahan." Sabtu, 18 Januari. Pertemuan pertama Dewan Negara dipimpin oleh Boudiaf. Menurut Reuters, Dewan mempertimbangkan perlu tidaknya memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Soalnya pemerintah Iran mengkritik pedas dibatalkannya pemilu pekan lalu. "Aljazair kini diuji sejarah," kata Pesiden Iran Hashemi Rafsanjani, yang disiarkan radio. "Para pendukung kebebasan dan demokrasi gagal dan dipermalukan." Yang pasti, Dewan memutuskan untuk tidak memberikan visa masuk Aljazair kepada orang Iran, Pakistan, dan Sudan. Sebagaimana Iran, dua negara yang lain itu pun mengecam "kudeta" di Aljazair. Tampaknya, pelan-pelan suasana di Aljier bertambah tegang tiap harinya. Bila belum ada insiden besar itu tak lain karena para pemimpin FIS justru mengimbau pendukungnya agar bersabar. Tapi, sampai kapan imbauan itu akan ditaati? Dijadwalkan, Senin pekan ini Abassi Madani dan Ali Belhadj, dua pemimpin puncak FIS yang ditahan sejak Juni lalu, diajukan ke pengadilan. Bila ini dilaksanakan, boleh jadi akan jadi pemicu gerakan dari pihak Islam fundamentalis. Didi Prambadi dan Bambang Bujono~~

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus