SALURAN tiga televisi Malaysia mendadak menggantikan acaranya
dengan pengajian kitab suci Al Quran. Dan penduduk Malaysia
tiba-tiba bersiap menanti sebuah berita duka cita. Tapi siapa
yang wafat? Pertanyaan itu tidak lama tergantung. Pukul 10.45
Rabu malam pekan silam, Datuk Husain Onn muncul di layar
televisi dengan mata merah lantaran tangis dan emosi kurang
terkontrol. "Dengan perasaan amat berat saya mengumumkan bahwa
Perdana Menteri kita yang tercinta, Tun Haji Abdul Razak bin
Hussein, telah wafat di London pada pukul 6.30 sore waktu
Malaysia": Suara tersendat-sendat Datuk Husain itu kemudian
merupakan angin beliung di atas Malaysia. "Kematian itu kini
menyebabkan sejumlah anak-anak ayam telah kehilangan induknya",
tanggap Tan Sri Haji Gazali Jawi Menteri Besar Sabah, beberapa
saat setelah berita duka itu tersiar.
Di London Clinic, tempat Razak dirawat, perjuangan melawan maut
telah berlangsung sebelum semuanya berakhir dengan sia-sia. 10
menit sebelum keadaan menjadi jelas, dokter pribadi Ratu
Elizabeth, Ronald Bodley, masih bekerja keras menolong pemimpin
Malaysia itu dengan alat pernafasan buatan. Tapi tangan maut
sudah lebih dulu berpegang kukuh lewat kanker darah yang rupanya
sejak lama diderita Tun Razak. "Dokter yang merawat Allahyarham
Tun Razak memberi tahu saya lewat telepon, bahwa beliau telah
menderita monocleuosis sejak 6 tahun terakhir dan osteosclerosis
beberapa bulan sebelum kematiannya", kata Datuk Husain
menjelaskan kematian atasan yang juga iparnya itu.
Di Kuala Lumpur, kecurigaan terhadap memburuknya kesehatan Razak
sebenarnya sudah lama menjadi bahan pembicaraan kalangan politik
dan diplomat. Wajah orang yang sebenarnya belum terlalu tua itu
(lahir tahun 1922 di negara bagian Pahang), kelihatan lusuh
sekali ketika muncul di gedung AIA pada saat terjadi pembajakan
tentara Merah Jepang bulan Agustus yang silam. Tapi Razak yang
mengabdikan sebagian besar umurnya untuk tanah airnya itu cukup
lihai untuk menghancurhan spekulasi orang banyak. Ia nyaris
tidak pernah beristirahat dalam pekerjaannya sebagai Perdana
Menteri. Perjalanan ke berbagai tempat di dalam maupun luar
negeri selalu saja dilakukannya.
Semangat sehebat apa pun dalam sebuah rongga dada, tubuh yang
mendukungnya toh punya batas kemampuan. Dan tanggal 17 Desember
tahun silam, di lapangan terbang antar bangsa Subang, Kuala
Lumpur, mendarat secara tak terencana sebuah pesawat terbang
Perancis. Itulah kapal terbang yang membawa pergi Razak dari
tanah airnya untuk selama-lamanya. Seperti ada firasat buruk
saja yang menghinggapi Tunku Abdul Rahman ketika itu. Lewat
sebuah tulisannya di koran-koran Malaysia, bekas Perdana Menteri
Malaysia serta kawan tua Razak sejak belajar di London itu ada
mengecam keberangkatannya ke London tanpa pemberitahuan yang
jelas kepada Rakyat. "KaIau Razak ke London untuk berobat,
mestilah rakyat Malaysia diberi tahu mengenai sakitnya Perdana
Menteri mereka". Begitu "kecam" Abdul Rahman.
Tidak pernah muucul kabar mengenai jenis penyakit yang diderita
Razak, Hingga kematiannya. Pemerintah Kuala Lumpur yang dipimpin
Datuk Husain sejak 17 Desember itu kemudian memang mengakui
sakitnya Razak ketika dari London datang berita menggembirakan.
Bahkan berita kedatangan Razak pun sudah tersiar: ialah hari ia
menghembuskah nafas terakhir itu. "Dua hari sebelum tanggal
kepulangannya, keadaannya tiba-tiba memburuk, karena itu dari
hotel ia kembali lagi ke London Clinic", kata Husain pula. Di
rumah sakit itulah anak Pahang itu mengakhiri hidupnya -- pada
sebuah tempat tidur yang dengan setia ditunggui oleh Toh Puan
Rahah, isteri dan ibu dad lima anaknya yang kesemuanya lelaki.
Kematian Razak memang tidak mendadak. Sebab meskipun tidak
diketahui orang banyak, ia toh telah lama menderita. Tapi rakyat
Malaysia seperti belum siap ditinggal pemimpin yang satu ini.
Bersama Tunku Abdul Rahman, Razak sejak zaman penjajahan
Inggeris maupun Jepang terus berada di garis depan perjuangan
kemerdekaan negerinya. Ia menjadi pemimpin Malaya merdeka maupun
Malaysia sekarang ini bahkan jauh sebelum semuanya berdiri kukuh
seperti sekarang. Razak yang lahir dari keluarga miskin di
Pahang, kabarnya dari keturunan Bugis dan oleh masyarakat
nenek-moyangnya diberi gelar La Tatta Amaralla, memulai
segalanya dari bawah untuk kemudian menduduki berbagai jabatan
menteri, sebelum jadi Perdana Menteri. Ketika kecil ia
mengunjungi sekolah berlantai tanah dengan menempuh jarak lima
kilometer. Tanda-tanda keistimewaan justru terlihat pada anak
miskin dengan 16 saudara itu. Kenang seorang temannya: "Dia
adalah anak terpandai dalam kelompok kami. Dia bisa membaca buku
sekali, kemudian mengisahkan isinya dengan lancar kepada kita.
Setiap tahun dia menjadi murid terpandai".
Masa kecilnya yang melarat itu nampaknya tidak pernah hilang
dari benaknya. Hingga ketika mempunyai kesempatan, perbaikan
terhadap nasib buruk sebagian besar bangsanya yang melarat itu
dengan segera menjadi prioritas. "Penyelamat utama kemerdekaan,
negeri kita tidak cuma pertahanan, di atas itu adalah
pembangunan". Itu adalah ucapan Razak, seorang bekas komandan
gerilya pada zaman pendudukan Jepang dan meninggalkan
ketentaraan dengan pangkat kapten ketika harus melanjutkan
pelajaran di London di tahun 1949.
Tidak bisa dikatakan bahwa bekas-bekas ketentaraan tidak nampak
ada Razak. Kawan-kawan dan pembantu-pembantunya dengan lancar
bercerita mengenai organisasi dan cara kerja Razak yang sangat
praktis, cepat dan rapi. Tapi sifat-sifat militer yang masih
tertinggal pada Razak cumalah cara dan organisasi kerja yang
praktis dan cepat untuk membangun sebuah bangsa beragam ras dan
sebagian besar terkebelakang. Bahkan ketika memiliki kekuasaan
mutlak selama 16 bulan, selepas tragedi rasial 13 Mei 1969,
Razak selalu berhasil menghindari kesewenang-wenangan. "Untuk
mengabdi kepada rakyat, terlalu banyak kekuasaan itu berbahaya.
Sebab bahkan apabila anda tidak berniat menyalahgunakannya, anda
toh bisa berbuat salah karena tidak ada orang yang bisa
mengoreksinya", begitu kata Razak beberapa tahun silam. Karena
itulah almarhum tergolong orang yang amat bergembira ketika masa
darurat tanpa Parlemen di Malaysia itu berakhir.
Hari Jumat pekan silam, jenazah Razak telah bersatu dengan bumi
Malaysia yang ia perjuangkan sejak mudanya. Beberapa puluh jam
sebelum itu, Datuk Husain Onn telah pula disumpah sebagai
pengganti iparnya. Kelihatannya seri cerita Razak telah
berakhir. Tapi semua itu tentulah pada wujudnya. Sebab
perkembangan berbagai urusan di tanah airnya adalah pula bekas
tangan Razak. Hubungan baik Indonesia-Malaysia, misalnya
terpulang juga pada Razak yang bersama Adam Malik menandatangani
pernyataan berakhirnya konfrontasi di Bangkok sepuluh tahun
silam. Hubungan itu menjadi semakin kuat oleh kunjungan Razak
beberapa kali ke Indonesia. Juga kemajuan ASEAN tidak
terpisahkan dari Razak yang menjadi salah satu sponsor utamanya
dahulu. Sejuta kenangan tentang Razak akan tidak habisnya,
setiap sesuatu terjadi di tanah airnya. Salah satu dari kenangan
itu tentulah pemakamannya yang amat terhormat, dengan tamu-tamu
penting dari semua penjuru dunia. (Indonesia mengirim Sultan
Hamengkubuwono, Jenderal Panggabean, Letjen Ali Murtopo dan
Letjen Yoga Sugama). Sebuah akhir yang fantastis bagi anak
miskin dari Pahang yang dulu ke sekolah dengan bertelanjang
kaki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini