PADA akhir tahun yang lalu pelajar-pelajar SMA PASIPAL kelas III
berprestasi baik tertentu telah diundang menjadi mahasiswa IPB
bebas dari ujian saringan masuk. Kepada mereka ini pun diberikan
keringanan membayar SPP. Tidak terduga dari sebelumnya, tindakan
ini mengungkapkan beberapa kasus yang patut mendapat perhatian
kita semuanya.
Seorang pelajar tertentu sewaktu masih di SD diangkat anak oleh
gurunya sendiri, karena ia setiap pagi datang terlambat ke
sekolah. Untuk pergi ke sekolah ia memerlukall waktu:berjalan
kaki selama tiga perempat jam. Pulang dari sekolah ia masih
harus membantu ibunya menjajakan penganan. Setelah diangkat anak
itu, prestasinya meningkat sampai akhirnya dapat lulus sebagai
pelajar teladan dari SMA.
Sewaktu diundang ke Bogor, guru SD bapak angkatnya dengan
bersusah payah membekalinya dengan SPP sepuluh ribu rupiah.
Tetapi biaya menginap di Bogor ia tidak mampu membayarinya.
Untuk itu ia meminta jasa-jasa baik seorang bintara polisi. Maka
menginaplah pelajar teladan itu di kantor polisi satu malam
sebelum ia keesokan harinya mendaftar di IPB. Mudah-mudahan ia
tidak menginap di karnar tahanan yang kebetulan sedang kosong.
Agaknya, keadaan peajar teladan ini terdengar oleh bapak Bupati
kepala daerahnya. Dengan segera surat keputusan ikatan dinas
keluar baginya, sehina ia sekarang sudah mulai lebih tenang.
Kisah di atas baru saya ketahui setelah semuanya beres. Tetapi
saya sangat berterima kasih kepada beberapa Kepala SMA yang
telah mengirim pelajar teladannya yang tidak berada atau sangat
sempit dalam hidang keuangan, ke IPB dengan membayari SPP dan
biaya perjalanannya, sambil memberitahukan bahwa kelanjutan
permasalahan di Bogor diharapkan dapat diatasi oleh IPB. Bahkan
dari suatu SMA di DKI Jaya yang katanya sudah bersifat sangat
metropolitan itu, para guru telah beriuran mengumpulkan uang
limabelas ribu rupiah. Sepuluh ribu untuk SPP dan lima ribu
untuk biaya hidup pada minggu-minggu pertama, bagi anak seorang
janda yang mempertaruhkan hidupnya di kota metropolitan dengan
menerima pekerjaan jahitan.
Anak Pembantu
Dalam usaha mencarikan penyelesaian bagi para pelajar teladan
yang tidak berada ini, terungkapkan pula latar belakang
kehidupan mereka. Ada anak seorang pembantu rumah tangga buta
huruf yang untuk biaya sekolah di SMA, bekerja di toko pada sore
hari dengan upah Rp 2500 sebulan. Ada pula pelajar teladan
tingkat propinsi yang orangtuanya mencari nafkah dari mencuci
pakaian orang lain di tepi sungai.
Secara tak langsung juga terungkapkan bahwa guru yang sering
dituduh masyarakat mengalami masa panen pada setiap pergantian
tahun, justru mempunyai perhatian besar untuk menyelamatkan
pelajar-pelajar teladan yang tidak mampu dari putus harapan
karena putus cita-cita. Demikian pula patut dikemukakan bahwa
seorang kepala daerah akan membantu putera daerahnya yang
berpotensi tinggi, asal saja ia dapat diyakinkan bahwa anak itu
perlu dibantu.
Beasiswa Super Semar telah banyak menolong mahasiswa tahun
kedua ke atas yang kehabisan biaya untuk belajar. Yang masih
perlu kita cari sumbernya adalah beasiswa bagi lulusan-lulusan
SMA berprestasi baik yang tidak mampu dari segi biaya, agar
dapat meneruskan ke perguruan tinggi.
Kita tidak cukup mengandalkan diri kepada para guru saja, atau
kepada dermawan tertentu yang kebetulan sampai mengetahui bahwa
ada orang dari daerah asalnya ditimpa kesulitan. Tidak juga
dapat kita bebankan keadaan-keadaan ini pada permohonan bantuan
secara tiba-tiba yang ditujukan kepada kepala daerah.
Harus ada suatu cara melembagakan bantuan beasiswa jenis ini.
Memang kasusnya di IPB baru terungkapkan satu kali pada tahun
yang lalu, dan lebih sering lagi pada tahun ini. Tetapi ini
tidak berarti bahwa kasus seperti itu hanya sedikit.
Terungkapkannya kasus-kasus seperti itu pun hanya disebabkan
karena adanya pembebasan ujian saringan masuk dan tawaran
keringanan SPP. Oleh karena itu tidak diperlukan memikirkan
pembayaran uang ujian antara 4 sampai 6 ribu rupiah dan SPP
beberapa puluh ribu rupiah. Oleh karena itu pula ada guru yang
nekad membiayai anak didiknya datang ke Bogor, diiringi doa
bahwa masalah selanjutnya akan ada lagi yang memikirkannya.
Pada tahun 1963, Taufiq Ismail menulis:
"Dan kami bersyukur pada Tuhan,
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa. Yang sepanjang
malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami,"
dalam suatu sajak yang dipersembahkannya kepada almamaternya.
Memang benar kemerdekaan telah melebarkan pintu gerbang
perguruan tinggi bagi lebih banyak lagi anggota masyarakat,
terutama yang tidak berdarah biru ata bukan anak pegawai
negeri. Memang benar bahwa ibu bapa harus ikut membiayai
pendidikan anaknya. Ada yang mudah membiayainya, tetapi
kebanyakan sambil terbungkuk-bungkuk.
Walaupun Telah Bungkuk
Yang sering kita lupakan adalah bahwa ada pula orangtua yang
walaupun telah membungkuk sampai tertiarap, tidak mampu
membiayai anaknya bersekolah lebih lanjut ke peguruan tinggi.
Walaupun anaknya itu telah lulus SMA dengan prestasi yang
gemilang dan berpotensi tinggi untuk berhasil di perguruan
tinggi, apabila keadaan lingkungannya sesuai.
Pada kesempatan ini saya ingin melihat ke belakang. Setiap tahun
sekali, warga akademis setiap perguruan tinggi merayakan hari
jadi perguruan tingginya dengan meminta sumbangan dari para
alumni dan sumber-sumber lain. Kalau kita dapat menyederhanakan
bentuk perayaan ini, uang yang tersimpan dapat kita kumpulkan
menjadi dana beasiswa yang berasal dari alumni.
Setiap tahunjuga semua dewan mahasiswa mengumpulkan dana dan
menggunakannya untuk mensukseskan pekan orientasi. Berapa banyak
uang terbuang untuk ongkos cetak mencetak di atas kertas linen
yang mewah, serta berapa yang diwajibkan dikeluarkan untuk
pembeli jaket untuk membina rasa persaudaraan, saya tidak tahu.
Tetapi kalau kita berani menyederhanakan semuanya, uang yang
tersisa juga dapat menggemukkan dana beasiswa bagi calon
mahasiswa yang tidak berada.
Dalam mengakhiri tulisan ini, giliran saya untuk menundukkan
kepala dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Karena saya juga anak seorang janda yang hanya mampu
membiayai saya belajar sampai lulus sekolah kejuruan menengah
atas. Demi untuk membagi perhatian kepada empat orang
anak-anaknya lagi yang juga memerlukan biaya untuk bersekolah.
Agar mereka juga mampu tegak di atas kakinya sendiri. Kalau saja
pemerintah tidak menganugerahi saya dengan suatu tugas belajar
ke perguruan tinggi duapuluh tiga tahun yang lalu, perjalanan
hidup saya akan menjadi lain. Paling tidak saya tidak akan mampu
dan tergerak untuk menulis tulisan ini.
Kampus IPB Darmaga, 14 Januari 1976
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini