MINYAK RRT diam-diam mulai disukai di banyak negara. Selain
Jepang dan Pilipina, adalah Muangthai yang kabarnya akan menjadi
pembeli minyak dari daratan Cina itu. Menurut Bangok Post
beberapa waktu lalu, sudah pula diteken suatu perjanjian dengan
RRT sebagai tindak lanjut dari Kunjungan PM Kukrit Pramoj ke
sana waktu itu. Dan dua pekan lalu, South China Morning Post
memberitakan bahwa minyak RRT akan mengalir ke Hongkong dalam
waktu dekat. Berbeda dengan ekspor Jepang dan Pilipina yang
berupa minyak mentah, yang akan masuk ke Hongkong itu langsung
berupa bensin. Selain akan memenuhi kebutuhan para pengendara
mobil di koloni Inggeris itu, pemerintah di Hongkong juga sudah
membuat perjanjian untuk membeli hasil-hasil minyak lainnya dari
RRT, berupa minyak disel, minyak pelumas dan minyak tanah.
Aliran minyak RRT itu mungkin belum terasa akibatnya bagi
Indonesia dalam tahun ini, selain yang diekspor ke Jepang,
pembeli utama minyak Indonesia. Tapi beberapa kalangan minyak
asing yang merasa mulai terpukul -- tidak menutup kemungkinan
bahwa suatu waktu banyak negara di Asia akan lebih senang
membeli minyak dari daratan Cina. Selain kwalitasnya yang
kesohor mendekati minyk Indonesia yang rendah kadar
belerangnya, harganya juga melawan. Sebagai bukan anggota OPEC,
RRT tentu lebih bebas untuk menentukan tarif minyaknya. "Mereka
biasanya menjalar ke Jepang dengan harga 50 sen dollar lebih
rendah dari harga ekspor kita", kata Menteri Pertambangan Moh.
Sadli kepada TEMPO beberapa waktu lalu. "Cara main harga
begitu kalau terus-terusan tentu akan mengganggu pasaran minyak
Indonesia yang sekarang $ 12,80 per barel itu", kata seorang
pejabat lain.
Lesu
Mengganggu atau tidak, tentu tak jadi soal bagi RRT. Selain
untuk cari uang, minyak memang dikenal ampuh sebagai senjata
diplomasi. Tapi bagi Indonesia yang kini lagi prihatin,
penggunaan minyak mulai sekarang agaknya akan lebih dipusatkan
untuk mengumpulkan sebanyak mungkin dana. Melihat lesunya
perdagangan luar negeri, baik dari segi impor maupun ekspor
komoditi pertanian dari Indonesia umumnya, maka satu-satunya
harapan masih tetap akan diandalkan adalah sektor minyak.
Selain tetap mengharapkan masuknya devisa yang besar dari
penjualan minyak ke luar negeri, perhatian juga ditujukan untuk
memperoleh bagian yang lebih banyak dari maskapai-maskapai
minyak yang beroperasi di Indonesia. Dalam pidato RAPBN
1976/1977 di Senayan 7 Januari lalu, Presiden Soeharto telah
melontarkan perlunya penyesuaian baru dalam urusan pembagian
minyak itu. Menurut Presiden, "mulai 1 Januari 1976 berlaku
kebijaksanaan baru Pemerintah RI yang bertujuan menambah
penerimaan negara dengan mengurangi besarnya keuntungan yang
diperoleh perusahaan-perusahaan minyak, baik dalam rangka
kontrak karya maupun bagi-hasil". Presiden juga "mengharapkan
pengertian sedalam-dalamnya dari para pengusaha minyak yang
bersangkutan atas kebijaksanaan tersebut".
Dari kalangan Caltex dan Stanvac sendiri belum terdengar suara
menanggapi pidato Presiden. Demikian juga dari perusahaan yang
beroperasi di lepas pantai (off-shore). "Kami sungguh baru
mengetahui setelah adanya pidato Presiden", kata seorang sub
kontraktor lepas pantai. "Tapi rasanya sulit bagi kami kalau
dipotong lagi". Dia kemudian menunjuk pada pembagian baru yang
pernah dilakukan dengan Pertamina di pertengahan 1974. Ketika
itu Pertamina berhasil melakukan pembagian (production split)
menjadi 85/15 yang dikenakan bagi harga di atas 5 dollar untuk
setiap barrel. Malah pada permulaan Januari 1975, pembagian itu
naik menjadi 90/10 atau 95/5 bagi keuntungan Indonesia. Tapi
mengingat itu hanya berlaku bagi perusahaan yang sudah
berproduksi di atas 150.000 barrel atau di atas 200.000 barrel
sehari, maka praktis yang terkena hanya maskapai Caltex saja.
Arab
Sekalipun begitu Pemerintah agaknya beranggapan bahwa yang
sesungguhnya diterima oleh maskapai-maskapai minyak asing itu
masih bisa dikurangi. "Pembagian hasil dengan lepas pantai itu
tampaknya memang menguntungkan kita", kata seorang pejabat
Pertanlbangan. "Tapi pembagian itu berlaku setelah dipotong
biaya-biaya untuk fihak asing yang besarnya 40". Persentasi
inilah yang agaknya ingin dikutik, karena dianggap tak wajar.
Sedang dengan kontrak karya, biaya produksi yang kabarnya sampai
$ 2,30 untuk setiap barrel itulah yang dianggap sudah waktunya
untuk ditekan. "Memang kita tak bisa membandingkan dengan
keadaan di Arab Saudi yang gurun dan mudah menggalinya", kata
pejabat tadi. "Tapi kalau di Arab biaya produksi hanya 20 sen
dollar per barrel, yang di Indonesia ini bagaimanapun terlalu
tinggi".
Berapa kira-kira potongan yang akan dikenakan pada fihak kontrak
karya maupun lepas pantai sampai akhir pekan lalu belum lagi
diketahui. "Masih dalam perundingan", kata sebuah sumber TEMPO.
"Dengan Julius Tahia kabarnya sudah ada pendekatan". Sekalipun
dari Dirut Caltex Indonesia itu belum terdengar jawaban,
angka-angka yang terdapat dalam RAPBN sekarang agaknya bisa
menggambarkan bahwa putusan pembagian baru itu hanya soal waktu
saja. Dalam RAPBN '76/'77, diperkirakan uang yang masuk dari
ekspor minyak netto naik dengan $ 52 juta. Yakni dari $ 4.843
juta selama APBN '75/'76 menjadi $ 5.455 juta. Kenaikan
tersebut, tampaknya agak optimis, sekalipun ada harapan mulai
pulihnya suasana resesi di negara-negara industri. Ini kalau
dilihat-tambahan dari ekspor minyak antara 1974/1975 --
1975/1976 yang hanya $ 172 juta: jumlah yang sungguh kecil bila
dibandingkan dengan "masa emas" tahun anggaran sebelumnya
(1973/1974 -- 1974/1975) yang meraih $ 2.125 juta. Mengingat
zaman gemilangnya minyak sudah lalu, jumlah $ 528 juta yang
dipasang dalam tahun anggaran yang baru ini tak sulit ditebak
sumbernya: pembagian baru yang nantinya masuk dari maskapai
minyak asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini