Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyadap maskapai minyak asing

Presiden soeharto, dalam pidato rapbn 1976/1977 melontarkan perlunya penyesuaian baru dalam pembagian minyak dari maskapai asing. jumlahnya masih dalam perundingan. (nas)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINYAK RRT diam-diam mulai disukai di banyak negara. Selain Jepang dan Pilipina, adalah Muangthai yang kabarnya akan menjadi pembeli minyak dari daratan Cina itu. Menurut Bangok Post beberapa waktu lalu, sudah pula diteken suatu perjanjian dengan RRT sebagai tindak lanjut dari Kunjungan PM Kukrit Pramoj ke sana waktu itu. Dan dua pekan lalu, South China Morning Post memberitakan bahwa minyak RRT akan mengalir ke Hongkong dalam waktu dekat. Berbeda dengan ekspor Jepang dan Pilipina yang berupa minyak mentah, yang akan masuk ke Hongkong itu langsung berupa bensin. Selain akan memenuhi kebutuhan para pengendara mobil di koloni Inggeris itu, pemerintah di Hongkong juga sudah membuat perjanjian untuk membeli hasil-hasil minyak lainnya dari RRT, berupa minyak disel, minyak pelumas dan minyak tanah. Aliran minyak RRT itu mungkin belum terasa akibatnya bagi Indonesia dalam tahun ini, selain yang diekspor ke Jepang, pembeli utama minyak Indonesia. Tapi beberapa kalangan minyak asing yang merasa mulai terpukul -- tidak menutup kemungkinan bahwa suatu waktu banyak negara di Asia akan lebih senang membeli minyak dari daratan Cina. Selain kwalitasnya yang kesohor mendekati minyk Indonesia yang rendah kadar belerangnya, harganya juga melawan. Sebagai bukan anggota OPEC, RRT tentu lebih bebas untuk menentukan tarif minyaknya. "Mereka biasanya menjalar ke Jepang dengan harga 50 sen dollar lebih rendah dari harga ekspor kita", kata Menteri Pertambangan Moh. Sadli kepada TEMPO beberapa waktu lalu. "Cara main harga begitu kalau terus-terusan tentu akan mengganggu pasaran minyak Indonesia yang sekarang $ 12,80 per barel itu", kata seorang pejabat lain. Lesu Mengganggu atau tidak, tentu tak jadi soal bagi RRT. Selain untuk cari uang, minyak memang dikenal ampuh sebagai senjata diplomasi. Tapi bagi Indonesia yang kini lagi prihatin, penggunaan minyak mulai sekarang agaknya akan lebih dipusatkan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin dana. Melihat lesunya perdagangan luar negeri, baik dari segi impor maupun ekspor komoditi pertanian dari Indonesia umumnya, maka satu-satunya harapan masih tetap akan diandalkan adalah sektor minyak. Selain tetap mengharapkan masuknya devisa yang besar dari penjualan minyak ke luar negeri, perhatian juga ditujukan untuk memperoleh bagian yang lebih banyak dari maskapai-maskapai minyak yang beroperasi di Indonesia. Dalam pidato RAPBN 1976/1977 di Senayan 7 Januari lalu, Presiden Soeharto telah melontarkan perlunya penyesuaian baru dalam urusan pembagian minyak itu. Menurut Presiden, "mulai 1 Januari 1976 berlaku kebijaksanaan baru Pemerintah RI yang bertujuan menambah penerimaan negara dengan mengurangi besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan minyak, baik dalam rangka kontrak karya maupun bagi-hasil". Presiden juga "mengharapkan pengertian sedalam-dalamnya dari para pengusaha minyak yang bersangkutan atas kebijaksanaan tersebut". Dari kalangan Caltex dan Stanvac sendiri belum terdengar suara menanggapi pidato Presiden. Demikian juga dari perusahaan yang beroperasi di lepas pantai (off-shore). "Kami sungguh baru mengetahui setelah adanya pidato Presiden", kata seorang sub kontraktor lepas pantai. "Tapi rasanya sulit bagi kami kalau dipotong lagi". Dia kemudian menunjuk pada pembagian baru yang pernah dilakukan dengan Pertamina di pertengahan 1974. Ketika itu Pertamina berhasil melakukan pembagian (production split) menjadi 85/15 yang dikenakan bagi harga di atas 5 dollar untuk setiap barrel. Malah pada permulaan Januari 1975, pembagian itu naik menjadi 90/10 atau 95/5 bagi keuntungan Indonesia. Tapi mengingat itu hanya berlaku bagi perusahaan yang sudah berproduksi di atas 150.000 barrel atau di atas 200.000 barrel sehari, maka praktis yang terkena hanya maskapai Caltex saja. Arab Sekalipun begitu Pemerintah agaknya beranggapan bahwa yang sesungguhnya diterima oleh maskapai-maskapai minyak asing itu masih bisa dikurangi. "Pembagian hasil dengan lepas pantai itu tampaknya memang menguntungkan kita", kata seorang pejabat Pertanlbangan. "Tapi pembagian itu berlaku setelah dipotong biaya-biaya untuk fihak asing yang besarnya 40". Persentasi inilah yang agaknya ingin dikutik, karena dianggap tak wajar. Sedang dengan kontrak karya, biaya produksi yang kabarnya sampai $ 2,30 untuk setiap barrel itulah yang dianggap sudah waktunya untuk ditekan. "Memang kita tak bisa membandingkan dengan keadaan di Arab Saudi yang gurun dan mudah menggalinya", kata pejabat tadi. "Tapi kalau di Arab biaya produksi hanya 20 sen dollar per barrel, yang di Indonesia ini bagaimanapun terlalu tinggi". Berapa kira-kira potongan yang akan dikenakan pada fihak kontrak karya maupun lepas pantai sampai akhir pekan lalu belum lagi diketahui. "Masih dalam perundingan", kata sebuah sumber TEMPO. "Dengan Julius Tahia kabarnya sudah ada pendekatan". Sekalipun dari Dirut Caltex Indonesia itu belum terdengar jawaban, angka-angka yang terdapat dalam RAPBN sekarang agaknya bisa menggambarkan bahwa putusan pembagian baru itu hanya soal waktu saja. Dalam RAPBN '76/'77, diperkirakan uang yang masuk dari ekspor minyak netto naik dengan $ 52 juta. Yakni dari $ 4.843 juta selama APBN '75/'76 menjadi $ 5.455 juta. Kenaikan tersebut, tampaknya agak optimis, sekalipun ada harapan mulai pulihnya suasana resesi di negara-negara industri. Ini kalau dilihat-tambahan dari ekspor minyak antara 1974/1975 -- 1975/1976 yang hanya $ 172 juta: jumlah yang sungguh kecil bila dibandingkan dengan "masa emas" tahun anggaran sebelumnya (1973/1974 -- 1974/1975) yang meraih $ 2.125 juta. Mengingat zaman gemilangnya minyak sudah lalu, jumlah $ 528 juta yang dipasang dalam tahun anggaran yang baru ini tak sulit ditebak sumbernya: pembagian baru yang nantinya masuk dari maskapai minyak asing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus