ANCAMAN neo-Nazi Afrika Selatan belum terwujud sampai akhir pekan lalu. Gerakan Perlawanan Afrika, nama kelompok tersebut, marah atas hasil referendum Selasa pekan lalu yang menghasilkan suara setuju penghapusan politik Apartheid. Kata Eugene Terre Blanche, pemimpin neoNazi itu, dengan marah, "Saat buat kami sudah tiba." Ia menyatakan hasil referendum hanya "melahirkan suasana teror," dan ia menjanjikan sebuah "revolusi dahsyat." Afrika Selatan menjalankan politik Apartheid selama 40 tahun, dan selama itu tercatat 12.000 orang mati karena kekerasan rasialisme. Sekitar 5 juta kulit putih Afrikaner hidup jauh lebih makmur di atas ratarata 30 juta kulit hitam. Tak cuma itu, kelompok minoritas itu pun dengan tentara dan kekuasaan memberikan hak-hak yang minim pada kulit hitam. Maka ketika Presiden F.W. De Klerk, seorang demokrat, memutuskan untuk melakukan referendum di antara warga kulit putih, ia sebenarnya sedang berjudi habis-habisan. Seandainya ia kalah, warga kulit putih tetap menginginkan Apartheid, bisa jadi satu kerusuhan sosial besar akan meledak di negeri ujung Afrika itu. Di Afrika Selatan, kelompok ekstrem kulit putih bersedia melakukan apa pun untuk mempertahankan Apartheid. Mereka tak bersedia menerima adanya warga hitam dalam pemerintahan. Di mata mereka, derajat orang hitam berada jauh di bawah. Untung, di luar dugaan De Klerk sendiri, lebih dari separuh pemberi suara propenghapusan politik pembedaan warna kulit itu. Suara-suara lega pun terdengar di mana-mana. "Orang yang baik dan berpikiran sehat pasti akan bernapas lega," kata Uskup Desmond Tutu, pejuang antirasisme. Surat kabar ekonomi milik orang putih, Business Day, menulis dalam tajuknya, "Sekarang Afrika Selatan telah menjadi negeri yang berbeda dari dulu." Sedangkan Sowetan, koran terbesar orang hitam, menulis, "Orang putih telah melakukan sesuatu yang benar." Golongan kulit putih Afrika Selatan tampaknya memang berubah belakangan ini. Banyak yang menyadari, tanpa menghapus Apartheid, negeri mereka akan mandek. Mereka ini sebagian besar terdiri atas kelompok pengusaha yang bercita-cita bisa melakukan perdagangan luar negeri dengan bebas. Sejumlah negara, termasuk Amerika dan Inggris, melakukan boikot dagang dengan Afrika Selatan. Karena itulah para usahawan itu memasang iklan-iklan mencolok agar warga kulit putih mendukung reformasi, setuju dihentikannya politik Apartheid. Sebuah iklan bergambar bandara yang kosong dengan katakata, "Tanpa reformasi, Afrika akan mandek." Sebuah iklan lain memperlihatkan lapangan criket yang kosong sebagai dampak boikot internasional terhadap Afrika Selatan untuk tampil di gelanggang internasional. Di samping gambar itu ada gambar "hadiah" bagi kemenangan De Klerk: regu criket negeri itu bisa maju ke babak semifinal dalam pertandingan Piala Dunia criket. Olah raga ini, di samping rugby, adalah olahraga nasional. Kemenangan itu merupakan karunia setelah selama 22 tahun, lantaran politik rasismenya, negeri itu dilarang ikut di gelanggang dunia. Tapi tetap saja ada kelompok penentang penghapusan Apartheid, dipimpin oleh sayap kanan Partai Konservatif. Partai tersebut tak memberikan pilihan banyak kecuali kembali ke politik pembedaan warna kulit dan membagi-bagi negeri menjadi wilayah putih dan wilayah hitam. Celakanya, di pihak ini ada kelompok ekstrem penganjur sistem terkutuk ini, yang paling keras adalah Gerakan Perlawanan Afrika yang neoNazi itu tadi. Kini gerakan neo-Nazi yang beranggotakan 10 ribu orang itu melihat De Klerk sebagai musuh nomor satu mereka karena dianggap telah menjual "negara bangsa kulit putih" mereka kepada kulit hitam. Mereka siap angkat senjata. Sejak Maret 1990, sebulan setelah pemimpin hitam Afrika Selatan Nelson Mandela dibebaskan setelah lebih dari 25 tahun dipenjara, neo-Nazi meningkatkan aksi mereka. Dua tahun belakangan ini hampir 100 kasus teror neoNazi terjadi: dari berondongan peluru ke kantor Kongres Nasional Afrika, partainya Mandela, sampai pengeboman kantor-kantor pemerintah. Dan mereka tak cuma bersenjata tapi juga memiliki anjing-anjing yang dilatih untuk memburu dan mengoyak-oyak kulit hitam. Tapi golongan ekstremis putih ini memang sudah terjepit. Mayoritas kulit putih, tercermin dari hasil referendum, menginginkan perubahan. Seandainya ektremis benar-benar mewujudkan ancaman mereka, mungkin cuma berlangsung sebentar. De Klerk sendiri sudah memberi isyarat bahwa ia akan membasmi kelompok neoNazi ini. Bulan depan, beberapa pentolannya akan dimajukan ke pengadilan karena memimpin demonstrasi anti-De Klerk Agustus lalu, dan tiga orang tewas dalam peristiwa itu. Dalam dunia yang berubah kini, Afrika Selatan mau tak mau harus mengikuti irama zaman bila tak ingin makin tersisih. ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini