Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN warga Israel berkumpul di depan Penjara Jericho, Rabu petang pekan lalu. Wajah harap-harap cemas mendominasi penampilan mereka. Kecemasan itu langsung sirna begitu iringan mobil lapis baja yang ditunggu-tunggu tiba di depan penjara. Sorak-sorai pun membahana dan bertambah keras ketika enam orang Palestina terlihat berjalan di antara barisan pengawas dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris di konvoi tersebut dan memasuki kompleks bui yang terletak di Tepi Barat itu.
Pada malam yang sama, di Kota Ramallah, peristiwa lain bergulir. Puluhan tank, kendaraan lapis baja, buldoser, dan pasukan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) yang telah sebulan mengepung dan menggempur kompleks kantor pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat beringsut meninggalkan lokasi. Sejumlah pengawal pribadi Arafat pun langsung menunjukkan sukacita mereka dengan menembakkan senapan serbu AK-47 ke udara ketika melihat penarikan mundur pasukan IDF tersebut.
Malam itu, kejadian di Jericho dan Ramallah adalah pertanda berakhirnya pengepungan IDF terhadap Arafat, sebuah babak baru yang penting dalam drama kehidupan Arafat. Pemimpin bangsa Palestina itu harus merelakan enam warganya menghuni bui di Jericho sebagai tebusan untuk mundurnya IDF dari Ramallah.
Warga baru Penjara Jericho itu adalah para aktivis Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP), sebuah organisasi garis keras di Timur Tengah. Empat di antara mereka—Hamdi Qoraan, Bassel al-Asmar, Mejdu Rehmi, dan Ahed abu Gholma—menjadi buron Tel Aviv karena dituding terlibat pembunuhan Menteri Pariwisata Israel, Rehavam Zeevi, Oktober lalu. PFLP memang mengaku menembak Zeevi sebagai balasan atas pembunuhan pemimpin mereka, Mustafa Abu Ali, oleh dinas intelijen Israel pada Agustus silam. Dua orang lainnya, Fuad Shobaki dan Ahmad Sadat, dituduh sebagai otak pengiriman senjata melalui laut yang terbongkar oleh IDF.
Arafat semula enggan menangkap keenam warganya itu. Maklum, ia mesti berhitung benar dengan tuntutan kalangan garis keras yang menganggap mereka sebagai pahlawan. Namun, tekanan Amerika Serikat dan Israel mendorong Arafat membentuk peradilan ad hoc di Ramallah yang memvonis mereka dari satu hingga 18 tahun penjara.
Tel Aviv menampik vonis pengadilan Palestina itu dan bersikeras menuntut ekstradisi keenam warga Palestina itu ke Israel. ”Kami tetap menuntut peradilan untuk mereka di Israel, walaupun prosesnya berlangsung dari satu hingga 50 tahun lagi,” ujar juru bicara pemerintah Israel, Danny Seaman. Arafat menolak keras. Maka, Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, lantas bereaksi dengan menggempur beberapa kota di Tepi Barat. Peluru pun berdesing, korban berjatuhan, dan markas Arafat terkepung.
Pertempuran yang menghancurkan kesepakatan damai Palestina dan Israel di Oslo itu, untungnya, tidak sampai menewaskan Arafat. Pangeran Abdullah dari Arab Saudi berinisiatif menjalankan jurus diplomasi, yang akhirnya meredakan ketegangan. Abdullah berhasil membujuk Arafat agar melunakkan sikap terhadap tuntutan Tel Aviv. Syaratnya, ”Mereka mesti tetap berada dalam tahanan Palestina di bawah pengawasan komite internasional.” Sebaliknya, Abdullah juga berhasil meyakinkan Israel dan Amerika Serikat agar tetap mempertahankan Arafat sebagai pemimpin Palestina.
Keberhasilan Abdullah itu bukannya tanpa ongkos. Proposal damai untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel itu adalah tawaran pengakuan semua negara Arab terhadap kedaulatan Israel bila Tel Aviv mundur dari seluruh wilayah yang direbutnya pada perang 1967 dan mengakui kemerdekaan Palestina. Janji kemerdekaan itu rupanya membuat Arafat bersedia mengorbankan keenam warganya untuk menjadi tahanan di bawah pengawasan Inggris dan AS.
Setelah mengantongi kesediaan Arafat tersebut, Abdullah lantas bertolak ke Texas untuk bertemu Presiden AS George W. Bush, yang segera menghubungi Sharon. Semula Perdana Menteri Israel itu menolak, tapi tekanan dari berbagai penjuru akhirnya membuatnya setuju. Juru runding kedua pihak kemudian sepakat untuk menjalankan hasil perundingan ini pada hari Rabu.
Dan kesepakatan itu terbukti berlangsung mulus. Namun, bukan berarti kekerasan langsung sirna. Ketika pemimpin PLO baru melangkah keluar dari kantornya di Ramallah, pasukan IDF tengah terlibat baku tembak di Betlehem, lalu meluruk ke Tulkarem, Desa Anza di dekat Nablus, dan kamp pengungsi Al-Arub dekat Hebron. Selain itu, Sharon juga sedang menolak usulan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengirim tim pencari fakta guna melongok bekas pertempuran di kamp pengungsi Jenin.
Sikap tak bersahabat Sharon itu membuat larik senyum di wajah Arafat malam itu tak bertahan lama. ”Kejahatan mereka di Betlehem tak termaafkan,” ujarnya. Pejuang berusia 72 tahun ini pun langsung kembali bekerja dengan memimpin negosiasi untuk menyelesaikan gempuran IDF terhadap sekitar 200 warga Palestina yang berlindung di Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem. Israel bersikeras ingin menangkap sekitar 30 warga Palestina di dalam gereja yang dituding sebagai ”teroris senior”, sementara Arafat berkeinginan menyelamatkan mereka.
Sampai Sabtu malam pekan lalu, kesepakatan belum dapat diraih kendati kedua pihak menyatakan keadaan itu akan segera berakhir. Optimisme itu boleh jadi karena Sharon dan Arafat telah menyatakan kesediaan mereka untuk melakukan perundingan di Washington pekan ini, seperti diusulkan Colin Powell, Menteri Luar Negeri AS.
Belum jelas benar apakah persetujuan damai akan dicapai di Washington, DC. Yang pasti, Ariel Sharon telah sesumbar bahwa Israel hanya akan setuju damai jika AS bersedia mengongkosi proyek pertahanannya dari gempuran pasukan bunuh diri Palestina di masa depan. ”Biayanya akan sangat mahal,” kata Sharon tentang rencananya membentengi Israel itu.
Widjajanto (AP, Washington Post, BBC, USA Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo