Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah surat keramat telah dikantonginya. Hasil referendum yang menyatakan bahwa 97,7 persen dari 43,9 juta pemilih di Pakistan telah meluruskan lima tahun kekuasaan bagi Jenderal Pervez Musharraf. Presiden Pakistan yang naik ke tampuk kekuasaan dengan kudeta tak berdarah tiga tahun silam itu tampak semakin lekat dengan takhtanya.
Tentu Musharraf merasa memiliki alasan untuk terus mencengkeram kursi kekuasaannya. Secara konstitusional, begitu setidaknya klaim dari kubu pendukung jenderal yang mengudeta Perdana Menteri Nawaz Sharif tiga tahun lalu itu, Musharraf telah mengantongi restu dari rakyat berupa hasil referendum Selasa silam, yang mengesahkan kedudukannya sebagai presiden hingga lima tahun ke depan.
Ketua Komisi Pemilihan, Irshad Hasan Khan, segera menyatakan bahwa "tak ada kecurangan, hingga sore saya menengok semua tempat pemungutan berlangsung dengan bersih," ujarnya me-nepis kritik kalangan oposisi dan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Pakistan yang mencurigai adanya kecurangan dalam jajak pendapat.
Di mata penentang Musharraf, daftar kecacatan pelaksanaan referendum bisa berlembar-lembar. Ketua Komisi HAM Pakistan, Afrasiab Khattak, misalnya, menemukan perhitungan dilakukan oleh pegawai negeri, tahanan, dan buruh pabrik yang dikerahkan oleh para pengusaha pendukung Musharraf. "Banyak pula orang yang mencoblos berulang kali," ujarnya sebagaimana dikutip harian The Guardian dari Inggris.
Klaim jumlah pemilih yang mencapai 97,7 persen dari total pemilih juga menjadi bahan tertawaan dari kalangan oposisi. "Angka itu luar biasa bohongnya. Dalam sejarah pemilu di Pakistan jumlah pemilih tak pernah lebih dari batas 32 persen," ujar Wakil Presiden Liga Muslim Pakistan, Zafar Ali Shah. Tingginya angka itu, menurut pihak oposisi, karena Musharraf juga menurunkan batas usia yang berhak memilih hingga 18 tahun.
Artinya, Musharraf telah mengamankan posisinya dengan rapi untuk lima tahun lagi. Namun bukan berarti kalangan oposisi tidak memiliki celah untuk beradu kekuasaan. Peluang lain bakal muncul pada Oktober nanti, ketika Pakistan menggelar pemilu untuk memilih anggota parlemen, yang kelak akan memilih Perdana Menteri Pakistan.
Sayangnya, harapan kalangan oposisi bisa-bisa hanya menggantung di awan. Sejak dini Musharraf telah pasang kuda-kuda untuk mengurangi peran perdana menteri. Tim ahli hukum, berdasarkan instruksinya, telah menyusun ulang konstitusi Pakistan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden daripada perdana menteri.
Artinya, Musharraf akan tampil sebagai pemegang penuh kekuasaan negara. Untuk membantu tugasnya sehari-hari, mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Pakistan ini membentuk Dewan Keamanan Nasional, yang praktis akan bertindak selaku kabinet yang mengawasi jalannya pemerintahan.
Faktor lain yang turut mendukung moncernya kekuasaan Musharraf karena lemahnya pihak oposisi. Salah satu penantangnya, Benazir Bhutto dari Partai Rakyat Pakistan, yang kini hidup di Dubai, masih bergelimang dengan tuduhan korupsi semasa menjabat perdana menteri. Sharif, yang akan maju ke pemilu dengan bendera Partai Liga Muslim Pakistan, nasibnya setali tiga uang dengan Bhutto.
Kartu as Musharraf berikutnya tak lain adalah isu terorisme. Dagangan Musharraf ini akan laku keras di tangan Amerika Serikat dan sekutunya, yang berkepentingan menggulung jaringan Al-Qaidah dan Taliban. Apalagi amunisi untuk meletusnya gelombang kekerasan ini memang bertumpuk di penjuru Pakistan.
Sebut saja sejumlah organisasi pro-Taliban yang secara tradisional dan kultural dekat dengan warga Pakistan, hingga gerakan prokemerdekaan Kashmir yang ingin memisahkan diri dari tetangga di sebelah timur: India.
Pihak oposisi sadar benar. Musharraf dapat bermain mata kapan saja ketika gelombang kekerasan bersenjata di perbatasan India dan dalam negeri merebak. Begitu kekerasan meletus, Dewan Keamanan Nasional bisa menetapkan negara dalam keadaan darurat, yang dapat menunda kelangsungan pemilu Oktober nanti.
Jika skenario terakhir ini yang terjadi, para penentang Musharraf mesti bersabar hingga lima tahun lagi.
Widjajanto (AP, Reuters, BBC, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo