Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stop Undang-Undang Kelistrikan

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr. Kurtubi
  • Anggota United States Association for Energy Economics (ASAEE) dan American Economic Association (AEA)

    SAAT ini Undang-Undang Kelistrikan sedang dibahas di DPR. Agar tak kejeblos seperti banyak negara yang kini menunda undang-undang deregulasi kelistrikan, para wakil rakyat perlu belajar dari kasus di negara lain.

    Soal pemain swasta di bidang kelistrikan, misalnya. Benarkah perlu banyak pemain? Janji bahwa pemain yang banyak di dalam struktur pasar kompetitif akan bekerja lebih efisien sehingga dapat menghasilkan produk berbiaya paling murah dan berkualitas tinggi ternyata tidak sepenuhnya benar. Sejak gagasan deregulasi, privatisasi, dan pasar bebas dilontarkan Margareth Tatcher—bekas perdana menteri Inggris—kini di berbagai belahan dunia bermunculan berbagai kasus kegagalan kebijakan tersebut.

    Di Indonesia, kasus 27 pembangkit listrik yang meng-hasilkan listrik jauh lebih mahal dari listrik yang dihasilkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa dijadikan contoh. Nyaris semua proyek listrik swasta tersebut bermasalah. Belakangan ini, kehadiran investor swasta di bidang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) malah menciptakan beban baru bagi masyarakat: denda US$ 265 juta dari kasus PLTP Dieng Patuha dan US$ 261 juta dari kasus PLTP Karaha Bodas.

    Masyarakat sangat dirugikan karena PLN dipaksa membeli listrik dari pembangkit swasta (independent power producer, IPP) yang mahal. Padahal yang dibutuhkan sistem kelistrikan Indonesia adalah partisipasi swasta atau pemain baru yang mampu membawa teknologi dan manajemen unggul dan ujung-ujungnya menghasilkan listrik yang lebih murah dari rata-rata biaya listrik PLN.

    Di California, AS, dan Inggris, kasus kegagalan deregulasi dan tidak suksesnya system unbundling (pemecah-belahan) industri listrik di dua negara itu telah menyebabkan harga listrik naik sampai tujuh kali lipat. Jumlah masyarakat yang tak mampu membayar listrik pun makin besar. Akibatnya, pemerintah California dan Inggris harus memberi subsidi listrik. Sungguh tragis.

    Deregulasi dan privatisasi dimaksudkan agar harga barang dan jasa menjadi lebih murah. Yang terjadi justru sebaliknya. Gubernur Davis dari California pun terang-terangan menuding deregulasi sebagai penyebab krisis listrik. Dan menurut majalah Energy Markets edisi Maret 2002, deregulasi yang sudah dijalankan di California saat ini dinyatakan ditunda.

    Penundaan proses deregulasi kemudian juga dilakukan di Oregon, Nevada, Oklahoma, Montana, Arkansas, dan West Virginia. Hingga saat ini banyak negara bagian di Amerika Serikat yang masih pasif. Mereka belum melakukan langkah-langkah deregulasi seperti pengajuan undang-undang deregulasi kelistrikan, sebagaimana dilakukan di Colorado, Nebraska, Wyoming, Idaho, Washington, South Dakota, North Dakota, Alabama, Georgia, Tennessee, Alaska, dan Hawaii.

    Bagaimana di Inggris? Deregulasi sistem kereta api di negara ini telah menelan biaya besar dengan hasil negatif. Sistem kereta api di Inggris, yang pernah menjadi contoh bagi pengembangan kereta api di banyak negara, saat ini menjadi lebih jelek dari sebelum deregulasi, bahkan menjadi yang terjelek di Eropa.

    Semua itu merupakan bukti empiris betapa jargon globalisasi, deregulasi, dan pasar bebas ternyata tidak semuanya menguntungkan masyarakat. Jargon tersebut sering diusung secara membabi buta oleh berbagai pihak dengan janji muluk untuk memakmurkan rakyat, dan selalu berupaya untuk dapat diterapkan di semua jenis barang dan jasa dengan berbekal roadmap yang disodorkan oleh lembaga keuangan internasional.

    Untuk jenis barang seperti sepatu, pasta gigi, sabun, pakaian, barang elektronik, mobil, handphone, minyak angin, dan pecel lele, jargon tersebut bisa sepenuhnya berlaku. Pemerintah hanya mengatur aturan main agar persaingan berlangsung secara sehat. Masyarakat dapat menikmati harga yang paling murah dari berbagai pilihan yang ada di pasar yang ditawarkan oleh banyak pemain dengan berbagai merek dan mutu.

    Namun, jargon pasar bebas tak bisa berlaku untuk bidang usaha tertentu yang produknya bersifat homogen dan menguasai hajat hidup orang banyak. Listrik, yang faktor ukuran (economy of scale) dan derajat integrasi pengelolaannya sangat memengaruhi biaya rata-rata listrik, ter-masuk yang tak cocok dengan jargon itu.

    Bentuk pasar yang paling efisien untuk jenis usaha seperti itu adalah bentuk pasar monopoli alamiah dengan struktur industri yang terintegrasi secara vertikal. Struktur pasar monopoli alamiah selalu punya kurva biaya marginal jangka panjang (long run marginal cost) dan biaya rata-rata jangka panjang (long run average cost) yang cenderung menurun sejalan dengan makin besarnya usaha. Kurva biaya tersebut memotong kurva demand (permintaan) pada titik lebih rendah dari kurva biaya pada bentuk pasar lainnya, seperti pasar persaingan sempurna, pasar duopoli, pasar oligopoli, dan sebagainya. Hanya, sistem monopoli punya kelemahan, antara lain menyangkut transparansi biaya yang merupakan tujuan pokok deregulasi. Kelemahan inilah yang perlu disempurnakan.

    Alhasil, upaya sistematis untuk merusak sistem integrasi vertikal dalam skala besar lewat pengesahan Undang-Undang Kelistrikan perlu dicegah. Tujuannya agar listrik yang harus dibayar masyarakat tetap bisa lebih rendah dari listrik yang dihasilkan oleh swasta. Monopoli oleh negara (BUMN) bagi komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti listrik ini adalah amanat Pasal 33 UUD 1945 dan sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Antimonopoli serta tidak melanggar prinsip dasar ilmu ekonomi, yang selalu berusaha menghasilkan barang dan jasa dengan biaya serendah mungkin. Listrik berbeda dengan pecel lele. Stop Undang-Undang Kelistrikan demi kepentingan masyarakat.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus