Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Washington dan Agenda TNI

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kusnanto Anggoro
  • Peneliti senior CSIS, pengajar pascasarjana ilmu hubungan internasional Universitas Indonesia

    TUNTUTAN demokratisasi dan penghormatan atas hak asasi manusia tampaknya akan segera tersisih dari agenda politik luar negeri Amerika Serikat. Topik ini tersodok oleh kebijakan Amerika untuk memerangi terorisme internasional dan memburu Usamah bin Ladin di mana pun ia bersembunyi. Tak aneh jika sekarang Presiden George W. Bush getol mendesak pemberlakuan undang-undang antiterorisme di berbagai negara. Ia juga menginginkan kerja sama yang lebih nyata untuk melenyapkan terorisme global.

    Hubungan kerja sama militer Indonesia-Amerika tidak terlepas dari gejala itu. Program International Military Education and Training (IMET) dan kemudian Extended IMET (E-IMET), yang membeku selama tiga tahun setelah berlakunya Leahy Amendment, mungkin akan segera dibuka kembali. Padahal, semua orang tahu, tidak semua tuntutan dalam ketentuan itu telah terpenuhi.

    Amandemen yang dipelopori oleh Senator Patrick Leahy pada 1999 itu intinya melarang Amerika menjalin kerja sama militer dengan Indonesia sebelum TNI mereformasi diri. Disyaratkan juga, adanya proses hukum yang tegas bagi perwira yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi.

    Memang, Indonesia telah menunjukkan kemajuan di sana-sini. Sebut saja pengembalian pengungsi Timor Timur, adanya proses hukum bagi para perwira yang melanggar hak asasi, dan pembuatan berbagai undang-undang untuk menempatkan tentara dalam tatanan demokratik. Tapi jangan lupa, kekerasan negara tetap berlanjut di Aceh dan Papua. TNI tetap menjadi kekuatan politik riil, kendati tidak secara terbuka dan melembaga.

    Kuncinya ada di Washington. Gedung Putih kini menjadi lebih pragmatis. Serangan bunuh diri terhadap World Trade Center tahun silam mendendangkan perubahan penting. Baru-baru ini Pentagon mengusulkan anggaran baru untuk menopang program memerangi terorisme global. Akhir bulan ini, Kongres akan memutuskan nasib permintaan Presiden Bush tentang anggaran US$ 16 juta untuk membentuk satuan antiteror di Indonesia.

    Kongres boleh bersikukuh soal Leahy Amendment. Departemen Luar Negeri Amerika boleh saja hati-hati, dengan tidak terlalu memaksakan kehendak. Pejuang demokrasi dan hak asasi manusia bisa saja meneriakkan kekhawatiran mereka tentang bahaya pembukaan hubungan itu bagi demokratisasi di Indonesia. Tapi barisan yang mendukung pemulihan kerja sama militer dengan Indonesia juga bertambah panjang.

    Kini industri besar seperti Boeing, United Technologies, dan General Electric melobi para pejabat Amerika. Upaya serupa dilakukan Nike dan Coca-Cola. Melalui Dewan Usaha Amerika-ASEAN, pemimpin perusahaan-perusahaan itu mendesak Washington agar segera mencabut embargo penjualan senjata ke Indonesia. Mereka juga ingin agar Amerika menjalin hubungan langsung dengan TNI, dan membuka lagi bantuan pendidikan dan pelatihan buat tentara Indonesia.

    Desakan itu menimbulkan kegalauan tersendiri di kalangan masyarakat sipil di Indonesia dan Amerika. Jangan-jangan itu akan mengukuhkan kembali peran tentara dalam politik. Bisa jadi upaya untuk mengungkap keterlibatan para jenderal dalam pelanggaran hak asasi manusia di Timor Loro Sa’e akan terbengkalai. Alih-alih membuat TNI menyadari kesalahannya di masa lalu, bukan tidak mungkin bantuan itu malahan menghambat reformasi internal TNI.

    Kegalauan itu bisa dimengerti. Instrumentalisasi kerja sama militer untuk pengembangan demokrasi dan menanamkan pengaruh pada para perwira sesungguhnya adalah mitos. Sejak awal Amerika gagal. Bantuan militer bukan modal politik untuk menjinakkan tentara, seperti terlihat di Cile, Argentina, dan Brasil pada dasawarsa 1970.

    Selain itu, militer dan demokrasi memang merupakan antodite yang tak pernah bisa dipertemukan. Kekerasan dan perdamaian selalu bertentangan. Mesiu memang selalu mengancam burung "dara" perdamaian. Pedang memang bisa menyekat nyanyian merdu kemanusiaan dan demokrasi.

    Memang, bantuan yang direncanakan untuk Indonesia terbilang kecil, jauh lebih kecil dari yang diberikan kepada Filipina. Bantuan itu pun, kalau jadi, hanya terbatas pada bantuan untuk pelatihan dan sekolah, khususnya dalam operasi kemanusiaan. Kerja sama itu tidak akan berlaku bagi pembelian mesin pembunuh (lethal weapons).

    Sejatinya boleh saja Washington menjalin kerja sama militer dengan Indonesia. Namun pemerintahan Bush juga mempunyai tanggung jawab moral untuk menuntut agenda sipilisasi tentara di Indonesia. Kita hanya bisa berharap semoga perubahan genderang musik di Washington tidak mengganggu skenario dan agenda demokratisasi di Indonesia.

    Yang pasti, reformasi TNI tidak cukup sekadar dilihat dari kepatuhan mereka pada otoritas sipil. Penting juga dilihat bagaimana perilaku institusi dan personel tentara. Ini bisa diamati mulai dari terbuka tidaknya mereka dalam soal anggaran operasi, cara penyelesaian sengketa tanah dengan petani, sampai sejauh mana perubahan doktrin serta kurikulum militer.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus