Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari atas podium Stadion Kabul, Hamid Karzai menebarkan senyum dan melambaikan tangan ke segala penjuru. Bersama ribuan khalayak yang memenuhi arena, perdana menteri sementara Afganistan itu dengan tekun menonton para atlet berbaris melewati panggung kehormatan. Tubuh mereka dibalut baju khas Afganistan perumtoban warna abu-abu dan hitam. Peci-peci kulit domba tersungkup di atas kepala, cocok untuk menahan cuaca berangin di ambang musim panas. Hari itu warga Kabul lebur dalam kegembiraan menyaksikan aneka cabang olahraga, termasuk buzkhasi. Dalam olahraga tradisional Afganistan ini, sejumlah lelaki berkuda memperebutkan pangkal paha kambing dengan menggunakan tongkat. Pria dan wanita bertepuk tangan dan bersorak, tanpa perlu merasa khawatir ditegur polisi agama Taliban.
Kemeriahan di Stadion Kabul pada Senin pekan lalu itu seolah mengembalikan masa-masa bahagia di sebuah negeri yang sudah lama tenggelam dalam aliran darah, timbunan peluru, dan hawa perang. Di Afganistan Utara, entah terdorong oleh luapan kegembiraan pesta-pesta olah-raga musim panas, entah jenuh mengurus beban tambahan, Jenderal Rasyid Dostum melepaskan pula 600 lebih tahanan dari Penjara Shibergen pada pekan yang sama. Para tawanan itu adalah pejuang Taliban yang dikurung semasa perang Taliban melawan Amerika dan tentara Aliansi Utara.
Mobinullah, salah satu tahanan yang ikut dibebaskan, terperangah tatkala memasuki jalanan Kabul. Musik berdentam-dentam dari dalam mobil. Di jalanan Ibu Kota, perempuan-perempuan mondar-mandir dengan wajah telanjang tanpa burka. ”Saya melihat kebebasan di wajah orang-orang itu,” ujar Mobinullah, seperti yang dikuitip wartawan Associated Press, Niko Price. Bersama bekas tahanan Dostum lainnya, dia segera larut dalam suasana ”reformasi”.
Kalau saja bekas pejuang Taliban ini tiba lebih cepat di Kabul—pada hari Minggu dua pekan lalu—dia masih bisa ikut perayaan kemerdekaan Afganistan ke-10 dari penjajahan Uni Soviet. Acara itu dimeriahkan oleh parade tentara dari berbagai provinsi dan senjata-senjata berat buatan Soviet yang telah direbut pasukan Mujahidin. Ini peringatan pertama setelah hengkangnya Rusia. Perayaan yang secara masif melibatkan masyarakat Afganistan akhir-akhir ini bisa diibaratkan pemanasan bagi pemerintahan sementara yang dipimpin Hamid Karzai untuk maju ke tahapan berikutnya, yaitu Loya Jirga.
Loya Jirga alias Dewan Agung adalah sebuah pranata etnis yang menjadi dasar suatu pemerintahan berbasis luas. Berasal dari bahasa Pashtun, Jirga adalah lembaga yang dikenal mulai dari tingkat dusun dan desa. Tugasnya menyelesaikan perselelisihan sehari-hari dalam masyarakat. Pada tingkat nasional, dewan ini diberi nama Loya Jirga—anggotanya berasal dari semua etnis. Sejarah Afganistan mencatat beberapa keputusan penting pernah diambil melalui Jirga.
Itulah yang terjadi tatkala Mir Ways Hotaki, pemimpin besar suku Ghilzai dari Kandahar, memutuskan berperang melawan gubernur-gubernur tiran se-masa Afganistan dijajah Persia pada abad ke-18. Hotaki angkat senjata se-telah melalui suatu perundingan serius yang dikenal sebagai Jirga Kandahar. Atau Abdullah Khan, penguasa Afganistan Barat pada abad ke-18. Dia menghajar serdadu Persia dan memerdekakan Herat setelah berunding dengan kaum tua-tua suku dalam sebuah dewan yang dia beri nama Jirga Herat.
Dan kini, Hamid Karzai dan para punggawanya tengah menyiapkan Loya Jirga. Dewan Agung ini bertugas melahirkan sebuah pemerintahan transisi. Dari sini, rencana pemilu bisa disiapkan. Dalam waktu dua tahun, Loya Jirga diharapkan sudah bisa melahirkan pemerintahan permanen yang demokratis dan siap untuk ”tinggal landas”. Kemungkinan, kelompok-kelompok tersisih seperti perempuan dan suku minoritas tidak akan masuk ke dalam Loya Jirga. Hal ini telah diantisipasi dalam Pertemuan Bonn (5 Desember 2001). Maka telah dibentuk komisi independen yang bertugas mewujudkan perwakilan yang adil dalam dewan tersebut.
Proses pemilihan sudah berlangsung di daerah-daerah sejak pertengahan April lalu dan mencapai puncaknya pada minggu pertama bulan Juni. Mantan raja Zahir Shah, 88 tahun, yang datang di Kabul pertengahan April lalu—setelah 29 tahun tinggal di pengasingan di sebuah vila di Roma Utara, Italia—akan membuka Loya Jirga Nasional, yang tentu saja masih bersifat darurat. Adapun Hamid Karzai bertugas membentuk Dewan Agung dengan sukses.
Sejak mulai memerintah 22 Desember 2001 lalu, Karzai sudah diwanti-wanti rekannya dari Barat maupun para sesepuh Afganistan sendiri agar jangan sampai gagal melahirkan Loya Jirga. Hal ini menentukan hitam-putihnya rapor Karzai. Lebih dari itu, Loya Jirga diharapkan bisa menjadi tumpuan untuk me-lahirkan Afganistan yang demokratis di masa depan. Dalam sebuah wawancara khusus dengan TEMPO di Kabul, dua pekan lalu, Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afganistan, Lakhdar Brahimi, mengatakan, ”Sulit membayangkan apa yang terjadi jika proses damai ini gagal.”
Kecemasan Brahimi bukan tidak beralasan. Berkantor di Kabul, Brahimi, yang memimpin semua program PBB di Afganistan, tahu betul betapa arti dari kegagalan upaya damai hanya satu: perang saudara bisa muncul lagi di depan hidung. Betapapun ramainya pesta di Ibu Kota, keriuhan musik di jalanan, atau kebebasan yang meluap dalam geraian rambut kaum wanita di jalanan ramai, potensi konflik mengintip setiap saat. Sejarah menulis, Afganistan adalah negeri yang paling akrab dengan konflik berdarah antaretnis.
Senin pekan silam, satu bentrokan bersenjata pecah di Gardez, Provinsi Paktia, sekitar 120 kilometer selatan Kabul. Sekitar 25 penduduk sipil tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Pasalnya, pendukung Pacha Khan—gubernur lama Paktia—menolak gubernur baru Taj Mohammad Wardak, yang diangkat Karzai. Buntutnya, kubu Pacha menghujani kota Gardez dengan roket. Penolakan terhadap gubernur kiriman Kabul juga muncul di Provinsi Wardak. Belum lagi, pertempuran yang pecah di Mazar-i-Syarif antara kelompok Jenderal Rasyid Dostum dan kelompok Mohammad Ata. Bukan berarti tidak ada tanda-tanda bersemainya kembali kehidupan.
Di Kabul, beberapa restoran kebab menanti tamu hingga malam hari. Toko-toko kembali menjual aneka dagangan, termasuk barang dari Eropa yang masuk dari Dubai. Rata-rata penduduk Kabul memang tidak terlalu ambil pusing dengan proses Loya Jirga segala macam, sejauh mereka bisa hidup tenteram. Bahkan mereka pun bukan tanpa antisipasi bahwa perang bisa pecah lagi sewaktu-waktu.”Jika itu terjadi lagi, pastilah dengan kehendak Allah,” seorang lelaki menjawab pertanyaan TEMPO.
Alhasil, kembalinya mantan Raja Zahir Shah ke Kabul untuk meresmikan Loya Jirga secara nasional pada bulan Juni nanti bukan sekadar seremoni politik. Orang-orang sudah lelah berperang dan ingin kembali hidup normal, tidak peduli siapa yang nanti berkuasa. Bahkan Nadir Abdali, 28 tahun, prajurit Pashtun yang pernah bersumpah untuk berperang hingga mati syahid bagi Afganistan di masa Taliban berkuasa, meluapkan harapannya agar peresmian Loya Jirga bulan Juni nanti disertai sejumlah kabar baik tentang perdamaian. Ia berkata, ”Sudah cukup darah mengalir. Saya ingin melihat kebaikan akan kembali menyelimuti negeri kami."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo