PERANG saudara adalah hari depan Afghanistan. Potensi negeri ini untuk menjadi Libanon kedua memang besar. Benar, kelompok-kelompok Mujahidin punya satu tujuan, berdirinya Afghanistan yang berdaulat, bebas dari komunisme. Tapi sudah terbukti berkali-kali bahwa mereka sulit akur antara kelompok satu dan yang lain. Mereka tak segan saling menggempur hanya karena berebut sebidang tanah yang ditinggalkan oleh Soviet, misalnya. Entah sudah berapa nyawa melayang akibat baku tembak antarpejuang Muslim Afghanistan itu. Sementara itu, para pemimpin puncak Mujahidin yang lebih sering nongkrong di Peshawar, Pakistan, tak juga menemukan jalan bersatu. Bahkan Sibghatullah Mojadidi tak menyembunyikan keluhannya. "Saya puyeng," kata bekas profesor teologi di Universitas Kabul. Ini karena sulitnya para pejuang dibersatukan. Itulah, antara lain, bila tahun lalu pemimpin Mujahidin yang datang dari keluarga bangsawan tinggi ini mengundurkan diri sebagai ketua Persekutuan Islam Mujahidin (IUAM). Maka wajar saja bila Pemerintah Sementara Afghanistan yang mereka rencanakan sejak tahun lalu belum juga terwujud. Kelompok Mujahidin yang menganut garis keras menghendaki agar pemerintahan sementara langsung dijalankan. Sedangkan kubu moderat menolak karena beranggapan, bagaimanapun, pemerintahan itu mesti mendapat persetujuan rakyat. Sebenarnya, tradisi pemerintahan Afghanistan sudah memiliki sejenis lembaga perwakilan rakyat. Yakni yang disebut loya jurgah, atau dewan pemuka suku. Lembaga ini merupakan lembaga politik tertinggi, yang baik di zaman kerajaan maupun Afghanistan sekarang punya wewenang mengambil keputusan nasional. Loya jurgah-lah, misalnya, yang menentukan konstitusi. Sewaktu Perang Dunia I dan II meletus, lembaga inilah yang memutuskan bahwa Afghanistan harus tetap netral. Tapi Mujahidin garis keras segera menolak loya jurgah yang anggotanya terdiri dari para wakil suku ini. Menurut mereka, lembaga itu berbau feodalisme, hanya menjadi alat yang menguntungkan penguasa. Maka, disodorkanlah konsep Majelis Syura, semacam parlemen, yang dianggap lebih mencerminkan demokrasi. Tapi segera kubu garis moderat menolak karena mengadakan pemilu untuk memilih anggota Majelis dalam zaman perang hanya akan menimbulkan persoalan baru. Selain itu, dipersoalkan juga apakah Majelis Syura bisa efektif mengingat dua dari tiga orang dewasa Afghanistan masih buta huruf. Dengan kata lain, apakah rakyat nantinya tak hanya diperalat oleh mereka yang punya pamrih demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jalan buntu pun segera terbayang. Tapi sesuatu mesti diperbuat. Kelompok moderat mengalah. Maka, diputuskanlah membentuk Majelis Syura secepatnya. Pemilihan anggota direncanakan dilangsungkan dalam pekan ini. Toh, para diplomat Barat yang lama bermukim di Afghanistan menyangsikan pembentukan Majelis akan menyelesaikan masalah. Para pejuang Muslim ini sudah menyimpan potensi konflik sejak awal. Persaingan antara si "Mata Elang" Gulbuddin Hekmatyar, ketua Hezb-i-Islami, dengan "Singa Lembah Panshir" Ahmad Syah Massoud -- yang kini memimpin serangan di jalan Raya Salang -- sudah dimulai sejak keduanya masih menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Kabul di awal 1970-an. Persaingan di antara kedua tokoh Mujahidin itu bisa dijadikan gambaran tentang lahirnya garis keras dan moderat. Hekmatyar adalah bekas tokoh gerakan mahasiswa Islam yang berambisi menggusur monarki dan mcniadikan Afghanistan negara Islam. Sedangkan Masoud, juga tokoh mahasiswa Islam, cuma bermaksud membabat komunisme dan kebobrokan pemerintah, tanpa menggusur monarki. Soal monarki itulah merupakan salah satu perbedaan prinsip antara Mujahidin garis keras dan moderat. Dan sudah barang tentu masing-masing merasa punya alasan kuat. Yang berpaham garis keras menganggap keluarga kerajaan tak punya andil dalam perjuangan melawan Soviet dan rezim komunis. Dan, kata mereka, sejarah membuktikan bahwa raja-raja Afghanistan lebih suka pada sekularisme ala Barat ketimbang ajaran agama. Pihak ini diwakili antara lain oleh kelompok Hezb-i-Islami (baik yang dipimpin oleh Hekmatyar maupun Yunus Khalis) dan Harakat-i-Inqilab-i-Islami. Yang moderat diwakili oleh Jamiat-iIslami, Syura-ye-melli Inqilab-I-Islami, dan Najat-e-melli Afghanistan. Ketiga organisasi ini boleh dibilang dijadikan kiblat oleh mayoritas penganut Suni, karena bos mereka berasal dari keluarga aristokrat dan pimpinan ulama kondang di Afghanistan. Yakni Burhanuddin Rabbani, Sibghatullah Mojadidi, dan Sayid Ahmad Gailani. Sialnya, di medan tempur, ketiga kelompok itu lebih banyak mengandalkan jumlah pengikut. Mereka miskin persenjataan gara-gara kurang akrab dengan mendiang presiden Pakistan Zia Ul-Haq, yang dipercaya sebagai agen tunggal oleh negara-negara pendukung Mujahidin (kecuali Iran). Zia kurang suka pada sikap politik mereka yang gampang membuka pintu kompromi dengan Soviet. Para moderat itu sendiri memang merasa bahwa diplomasi adalah juga alat perjuangan. Latar belakang keturunan dan keluarga mereka tampaknya mempengaruhi sikap mereka. Ahmad Gailani, misalnya, yang lebih suka berjas dan berdasi, punya keluarga yang tinggal di London dan Washington. Dialah pemimpin Mujahidin yang paling punya lobi dengan Barat. Sementara itu Hekmatyar, yang sering bentrok dengan Mujahidin kelompok lain dan tak disukai oleh banyak pemuka suku lebih senang menyelesaikan masalah dengan peluru. Ulah tokoh yang hidungnya bak paruh elang dan wajahnya bercambang ini memang nekat. Dalam menjalankan operasi-operasi militer, Hekmatyar tak pernah peduli apakah ia melewati wilayah kekuasaan tradisional suku. Kabarnya, dia juga sering menyerobot sebuah wilayah yang baru saja direbut oleh Mujahidin kelompok lain dari tangan Soviet atau pemerintah. Bagaimanapun harus diakui, popularitas Hekmatyar di kalangan pemuda terus menjulang. Ketidakpeduliannya terhadap hal-hal yang tradisional agaknya dilatarbelakangi sejarah hidupnya. Pemimpin yang bersuku Pushtun (suku mayoritas) ini meninggalkan kampung halaman sejak masa kanak untuk mengungsi atau betempur. Oleh kelompok moderat, anak buah Hekmatyar sering dijuluki gerombolan anak ingusan. Cuma dalam gerakan menggempur Kabul kini, laskar Hekmatyar, yang konon punya disiplin tinggi, tak disebut-sebut. Wilayah paling strategis dicengkeram kuat oleh Burhanuddin Rabbani -- pemimpin Mujahidin yang juga mendapat dukungan dari minoritas Persia dan Turki -- dan Yunus Khalis. Jalur utama di utara dan sebagian barat dikuasai oleh Ahmad Syah Massoud. Sedangkan selatan dan sebagian barat lainnya ditongkrongi oleh Abdul Haq, komandan pasukan yang piawai dari kelompok Yunus Khalis. Kabarnya, di medan tempur Khalis, 70-an tahun kini, lebih suka bersekongkol dengan Massoud. Ini bisa dimengerti karena Hekmatyar memang tak cocok dengan Khalis meski mereka sama-sama datang dari suku Pushtun. Dan karena itu bila si Mata Elang keluar dari Hezb-I-Islami dan mendirikan Hezb-I-Islami tandingan. Kalau kecenderungan klik itu benar, ini merupakan potensi konflik yang sungguh dahsyat. Tahun lalu Hekmatyar, yang dikenal dekat dengan intelijen Pakistan di zaman Zia Ul-Haq, pernah berjanji, kalau para bos Mujahidin tak juga kompak, wilayah kekuasaan yang sudah mereka rebut lebih baik dijadikan bagian dari negara konfederasi Pakistan. Kini, setelah kematian Zia, banyak orang khawatir, jangan-jangan dia malah berminat untuk mendirikan negara sendiri. Dari sisi lain ada juga ancaman dari para pejuang Muslim Afghanistan pemeluk Syiah. Pejuang ini memang minoritas (pemeluk Suni sekitar 74% dan Syiah hanya 25%). Sejak Soviet masuk Afghanistan dan perlawanan Mujahidin meletus, yang pemeluk Syiah menyingkir ke barat, ke Iran. Yang Suni ke timur, ke Pakistan. Kedua belah pihak tak pernah akur. Yang Syiah menuduh para pejuang Mujahidin Suni yang berpangkalan di Pesawar mau menang sendiri. Mereka, kata pihak Syiah, baru mau membagi jatah senjata kalau ada kelebihan, itu pun senjata kelas dua. Lalu, sejak IUAM, aliansi tujuh kelompok, mengumumkan pembentukan Pemerintah Sementara Afghanistan, mereka tambah jengkel. Gagasan itu mereka curigai sebagai alat bagi orang Suni untuk melanjutkan dominasi kekuasaan. Sebab, dalam rencana pemerintahan sementara itu tak satu pun posisi strategis diberikan kepada orang Syiah. Benar, menjelang penarikan tentara Soviet seluruhnya yang batas waktu formalnya pekan depan, Syiah dan Suni dikabarkan mencapai kesepakatan buat bersatu. Tapi itu hanya karena ada desakan dari pemerintah Iran dan Pakistan. Dengan kata lain, keras dugaan bahwa ini sekadar persatuan semu. Bila nanti Mujahidin sudah menguasai Kabul, dikhawatirkan persoalan SyiahSuni kembali meledak, dan menambah minyak buat menyalanya perang saudara. Dulu, sebelum Soviet mengangkangi Afghanistan, orang Syiah memang tak perlu ditakuti. Selain jumlah mereka cuma sekitar seperempat dari seluruh warga Afghanistan, mereka terpecah dalam berbagai suku bangsa serta organisasi perjuangan. Tapi dua tahun lalu para pejuang yang berpangkalan di Iran itu berkoalisi dalam Front Bersama Revolusi Islam untuk Afghanistan (IRUFA). Mengingat kelompok Suni terpecah antara garis keras dan moderat, di kertas kira-kira kekuatan mereka lantas jadi seimbang. Juga perlu diingat, sesuai dengan tradisi Syiah, mereka sangat patuh kepada Ayatullah. Bukan mustahil bila pimpinan Syiah Afghanistan sudah kelewat jengkel, mereka akan memisahkan diri dan membentuk negara sendiri yang berkiblat ke Iran. Ini sangat mungkin terjadi, apalagi kalau Iran berada di belakang mereka. Seandainya nanti konflik di antara Mujahidin memang meledak, menarik melihat sikap Amerika dan Uni Soviet. Kedua negeri superkuat itu tentulah tak akan begitu saja lepas tangan. Diduga mereka akan masih menyuplai senjata kepada jagoan masing-masing. Soviet kepada rezim kiri dan AS kepada Mujahidin. Yang sudah pasti adalah pernyataan Letnan Jenderal Boris Gromov, komandan Soviet tertinggi di Afghanistan. Ia berjanji untuk tetap menyuplai senjata dan bahkan membantu mengebomi pusat-pusat kekuatan Mujahidin di sekitar Kabul. Tampaknya, kedua negara superkuat itu masing-masing punya kepentingan. Kalau sampai Afghanistan menjadi negara Islam seperti Iran, misalnya, mereka cemas hal itu bisa mengganggu stabilitas politik di Asia Tengah. Paman Sam bisa jadi sangat khawatir bila kepentingannya di Pakistan terganggu Lahirnya negara Islam Afghanistan bagaimanapun akan memperkuat gerakan Islam radikal di Pakistan, yang kini mulai direm oleh Benazir Bhutto. Masih ada jurus cadangan Soviet bila nanti Mujahidin berhasil menendang pemerintah rezim kiri. Yakni Soviet akan memulangkan ribuan orang Afghanistan yang sudah bertahun-tahun dididik sebagai kader komunis di Soviet. Ini tentu menjadi masalah bagi siapa pun yang memerintah Afghanistan waktu itu. Walhasil, semua kemungkinan tampaknya memarlg mendukung dugaan pecahnya perang saudara di Afghanistan. Sementara perang Iran-Irak kini mereda, akankah Afghanistan menjadi ajang baru bagi percobaan senjata-senjata canggih? Kecuali sebuah kesepakatan internasional yang dirintis oleh Sekjen PBB Peres de Cuellar dan didukung oleh Amerika, Soviet, Pakistan, Iran, India setidaknya -- yakni negara-negara yang sedikit banyak berkepentingan dengan Afghanistan karena sejarah atau geografi mampu mendesakkan suatu pemerintahan koalisi yang damai kepada berbagai kekuatan di Afghanistan. Tapi, memang, seandainya itu pun terjadi, bukan dalam waktu dekat ini. Besar kemungkinan itu terjadi setelah Afghanistan kehabisan napas dan darah.Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini