Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kabul di ujung tanduk

Kabul diporakporandakan perang saudara. rezim najibullah terancam runtuh. staf kedutaan banyak yang pulang ke negaranya. tradisi pemerintahan afghanistan. bila kabul jatuh akan terjadi krisis ekonomi.

11 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KAMI tak punya pilihan lain," kata Letjen. Boris Gromov, Selasa pekan lalu. Itulah jawaban komandan tertinggi Soviet di Afghanistan setelah Ahmad Syah Massoud, seorang pemimpin Mujahidin yang bermarkas di barat laut Kabul, menolak imbauan sang jenderal untuk tak mengganggu Jalan Raya Salang, satu-satunya jalan darat bagi tentara Soviet untuk pulang. Maka, ketika salju makin tebal di Afghanistan, justru suasana di sepanjang Salang sungguh panas. Pokan lalu, tiap hari sekitar 100 pesawat pengebom Soviet dikabarkan terbang langsung dari pangkalan di Soviet, membumihanguskan desa-desa sekitar Salang, memporakporandakan blokade para pejuang Muslim, sebelum pesawat-pesawat itu terbang kembali ke pangkalan. Ratusan penduduk sipil ikut menjadi korban serangan ini. Itulah upaya Soviet untuk tetap menjaga Salang terbuka, bukan saja guna menjaga keamanan penarikan pasukan, tapi juga buat kelancaran bantuan senjata dan pangan bagi Kabul. Dan ditambah dengan bantuan yang didrop lewat udara, upaya itu memang sedikit ada hasilnya -- penderitaan dua juta warga Kabul karena kekurangan bahan pangan dan bahan bakar pekan lalu tak sekritis pekan sebelumnya. "Kami kini punya persediaan pangan untuk tiga bulan," kata Mayjen. Abdul Hakim, penguasa militer Kabul. Soalnya kemudian, adakah cadangan bahan pangan itu bisa dibagi secara merata. Staffan De Mistura, kepala perwakilan PBB di Afghanistan, mensinyalir "pembunuhan kombinasi" masih berlangsung tiap hari, tiap saat. Maksudnya, banyak orang mati tak cuma disebabkan oleh kekurangan makanan, tapi juga lantaran tak kebagian jatah minyak tanah, sehingga tak bisa memasak dan menghidupkan alat pemanas ruangan. Selebihnya, tentu gara-gara dihajar roket nyasar. Maka, kepanikan tetap tak terusir dari semua sudut kota. Tak mau kalah dengan amukan Soviet di sepanjang Salang, Mujahidin yang telah mengepung Kabul tiap hari, siang dan malam, mengirimkan roket-roket dan peluru mortir ke ibu kota ini. Dan bukan saja staf kedutaan asing yang kini berniat mengungsi, tapi juga rakyat kebanyakan. Dua hal sangat mereka cemaskan. Yakni kekurangan pangan dan bahan bakar di musim dingin yang beku kini, dan bila Mujahidin berhasil mematahkan pertahanan kota, lalu tanpa pandang bulu melakukan pembantaian terhadap warga Kabul. Ketakutan yang meliputi Kabul kini melebihi segalanya. Sejak Selasa pekan lalu hampir semua kedutaan besar di Kabul tutup, termasuk kedutaan negeri Eropa Timur. Sebagian besar staf telah pulang lewat New Delhi, hanya sebagian kecil yang tinggal. Mereka tampaknya tak lagi menghiraukan imbauan pihak Soviet bahwa sebaiknya mereka membantu rezim Najibullah menenteramkan suasana. Mereka kini sangat tak percaya bahwa kekuatan militer Najibullah mampu bertahan. Seorang diplomat dengan sedikit bergurau mengatakan, "Lebih baik lari walau hanya dengan sepeda motor saya ini daripada terus ngendon di Kabul." Sementara itu, Kamis pekan lalu Presiden Najibullah membuka konperensi pers. Ia berkeras bahwa Kabul aman. "Kami memiliki 400.000 tentara dan polisi di seluruh Afghanistan. Bagaimana para gerilyawan itu bisa mengalahkan kami?" katanya. Ia ulangi tuduhannya bahwa tindakan para dubes negeri Barat memulangkan semua stafnya hanyalah untuk mengeruhkan suasana, untuk menakut-nakuti rakyat Afghanistan. Yang mengherankan, tindakan Najibullah akhir-akhir ini justru mengesankan bahwa ia tak lagi percaya sepenuhnya kepada tentaranya sendiri. Sebab, sejak akhir tahun lalu ia membentuk yang disebutnya Satuan Pengawal Khusus. Satuan yang berseragam wol cokelat baru, bersepatu boot hitam baru, dan dipersenjatai dengan senapan Kalashnikovs ini terdiri atas pria-wanita berusia antara 16 dan 50 tahun. Mereka, kata Najibullah, terutama ditugasi melindungi bangunan-bangunan vital antara lain instalasi listrik, stasiun radlo dan televisi, pangkalan udara, dan gedung-gedung pemerintah di Kabul. Dan, tak terkecuali, istana Najibullah. Merekalah yang akan tampil ke garis pertempuran seandainya tentara resmi keok dalam pertempuran melawan Mujahidin. Ironisnya tentara yang berpakaian serba baru ini, yang tak jelas jumlah personelnya, belum pernah teruji sekali pun di medan tempur. Mereka pun cuma mendapat latihan tiga bulan dari tentara Soviet. Berambut tersisir rapi, berbibir merah, beranting-anting, dan sepuluh kuku jarinya berkuteks Nafizy Kareem, tersenyum manis sambil menyandang Kalashnikovnya. Gadis tujuh belas tahun ini dengan bangga memamerkan pangkatnya: letnan Satuan Pengawal Khusus. "Situasi terakhir mengharuskan kami siap bertempur," katanya kepada TEMPO. "Benar, saya belum pernah maju perang. Tapi bila geriIyawan masuk kota, saya siap." Kareem, sebagaimana umumnya anggota Satuan Pengawal Khusus, yakin benar bahwa sebenarnya para gerilyawan tak berani bertempur dalam perang terbuka. Gerilyawan, kata Kareem, cuma bisa menyerang lalu lari, karena mereka bukan tentara profesional. Tapi karena dibentuknya Satuan Pengawal Khusus yang belum teruji. Itulah para diplomat kini menyangsikan kekuatan militer pemerintahan Najibullah. "Saya yakin tentara Afghanistan jauh kurang dari 400 ribu," kata seorang diplomat Amerika yang masih tinggal. Boleh jadi diplomat itu sangat benar. Sudah sejak pendudukan Soviet hampir sepuluh tahun lalu banyak tentara pemerintah Afghanistan melarikan diri bergabung dengan Mujahidin di gunung-gunung. Selain itu, banyak pula tentara pemerintah Najibullah yang masih tinggal yang punya hubungan baik dengan para Mujahidin. Berkat kerjasama mereka inilah banyak pos dan gudang senjata jatuh ke tangan Mujahidin. Bila selama ini Mujahidin belum bisa sepenuhnya menguasai sebuah kota mlsalnya, diduga keras karena mereka memusatkan kekuatan untuk menggebuk Kabul. Menurut informasi terakhir, kekuatan militer pemerintahan Najibullah memang dipusatkan di Kabul. Selain tentara bentukan baru, diduga 40.000 tentara profesioanl siap mempertahankan rezim komunis, bila Soviet sudah pulang sama sekali. Itu bila tak lagi ada tentara yang lari bergabung dengan Mujahidin. Sodokan dari dalam sendiri bukan suatu hal yang mustahil. Kabar yang beredar lewat telepon antara kedutaan yang satu dan yang lain adalah kemungkinan Najibullah dikudeta seorang jenderalnya. "Kabul kacau dan pemerintah Najibullah bagaikan gedung tanpa tulang yang siap roboh," kata John Glassman dari Kedubes Amerika, sebelum terbang ke New Delhi bersama 10 staf kedutaan yang lain Selasa pekan lalu. Ditanya tentang kemungkinan perang saudara setelah tentara Soviet ditarik semuanya, Glassman malah menjawab, "Perang saudara? Sekarang ini sudah berlangsung." Benar. Pertengahan pekan lalu di Kabul beredar kabar bahwa telah terjadi pertempuran paling sengit selama ini di Jalalabad, salah satu kota terbesar setelah Kabul. Tampaknya, aliansi tujuh kelompok Mujahidin yang bermarkas di Peshawar, Pakistan, merencanakan Jalalabad sebagai pusat kekuatan guna menyerang masuk Kabul dalam waktu dekat ini. Jalalabad memang telah dikosongkan dari tentara Soviet -- bahkan sejumlah diplomat menduga awal pekan ini Afghanistan sudah akan bersih sama sekali dari tentara Beruang Merah. Pekan lalu dikabarkan praktis hubungan antara Kabul dan kota-kota yang lain putus sudah. Sementara itu, boleh jadi untuk merebut simpati warga Kabul, Mujahidin menjanjikan memasok bahan pangan dari Peshawar lewat Jalalabad. Inilah sebab yang lain bila Jalalabad diserbu habis-habisan. Semua ini tentu membuat Najibullah, 44 tahun, Ketua Partai Rakyat Demokrasi beraliran Marxis-Leninis, yang menjadi presiden Afghanistan dua tahun laluj tak bisa tidur nyenyak. Toh, barangkali untuk menenteramkan rakyatnya -- dan dirinya sendiri -- ia tetap mengatakan bahwa perundingan dengan kaum Mujahidin masih dimungkinkan. Ia bersedia membagi kursi dengan mereka. Kini, dari mulut pemimpin boneka Moskow ini tak lagi keluar cacian dan sebutan kasar bagi para pejuang. Najibullah menyebut-nyebut kaum pejuang Muslim sebagai "saudara kami". Tapi, katanya, bila kaum pejuang menghendaki pemerintahannya runtuh, ia akan berjuang. Dan segenap lapisan masyarakat Afghanistan, katanya, akan berdiri di belakangnya. Bisa jadi itu suara keputusasaan. Itulah bila pada Minggu pekan ini Partai Rakyat Demokrasi cabang Kabul, atas perintah Najibullah tentunya, membagi-bagikan senjata kepada anggota Partai. Suasana Kabul hari demi hari memang makin menegangkan. Ribuan warga bergerak diam-diam mencari jalan ke timur, ke Pakistan. Mereka takut bila tentara Soviet telah ditarik pulang semuanya, segera pertempuran sengit akan berkobar di dalam kota. Upaya Najibullah meninggikan semangat warganya tampaknya gagal. Minggu itu presiden dukungan Soviet yang bekas kepala polisi rahasia itu mencoba mengadakan reli bersama beberapa menterinya dan anggota Partai Rakyat Demokrasi. Memang, di jalan-jalan ia disambut dengan acungan senjata oleh mereka yang baru saja mendapat pembagian alat pembunuh itu. Tapi Najibullah, yang hari itu mengenakan seragam militer hijau kecokelatan, wajahnya tak begitu cerah. Dan ketika reli ini hampir sampai ke Istana, tiba-tiba gelegar roket Mujahidin terdengar. Rasanya, suara itu tak jauh lagi dari pusat Kabul. Hari itu siapa pun di Kabul tahu benar bahwa tentara Soviet tinggal 500 orang. Dan mereka hanya bertugas menjaga pangkalan udara, guna menjaga keamanan penarikan terakhir. Mereka sendiri, 500 serdadu itu, bakal pulang paling lambat awal pekan depan, lewat udara. Komandan tertinggi Soviet Letjen. Boris Gromov pun sudah meninggalkan Kabul lewat jalan raya Salang. Sebelum ia masuk ke kendaraannya, ia masih sempat mengatakan kepada wartawan asing di Kabul. "Harus saya katakan, para gerilyawan itu secara individual memang jago-jago. Mereka terlatih baik dan piawai menggunakan senjata," katanya. Satu lagi keunggulan Mujahidin dibandingkan tentara Soviet, "mereka menguasai medan." Itulah penjelasannya mengapa tentara Soviet tak pernah bisa memukul habis pasukan Ahmad Syah Massoud, misalnya. Sementara itu, masyarakat Kabul terpecah menjadi tiga kelompok. Mereka yang mendukung Naibullah dan mendapat pembagian senjata mereka yang pro-Mujahidin dan mengharapkan berdirinya negara Islam Afghanistan dan mereka yang berharap kembalinya Zahir Syah, bekas raja Afghanistan yang terguling pada 1973. Yang pro-Mujahidin menyebut-nyebut nama Ahmad Syah Massoud. Memang, tokoh muda yang kini diduga memimpin sekitar 10 ribu pejuang muslim ini populer di kalangan rakyat Afghanistan, terutama yang tinggal atau berasal dari kawasan utara dan barat. Massoud, si Singa Lembah Panshir, populer karena menjadi semacam Robin Hood bagi warga desa. Ia mendirikan sekolah dan puskesmas di desa-desa. Tampaknya, itulah cara Massoud yang berasal dari suku minoritas Tajik mencoba menarik simpati kelompok mayoritas, yakni suku Pushtun. Sebagian dari sumbangannya itulah yang beberapa hari lalu termasuk rata dengan tanah akibat pengeboman Soviet. Sementara itu, yang mengharapkan kembalinya Zahir Syah, bekas raja yang kini mengungsi di Italia, karena tak ingin melihat berdirinya negara Islam Afghanistan. Mereka umumnya berasal dari kelompok yang mendapat kemudahan dalam pendudukan Soviet, meski sebenarnya tak menyukai tentara Beruang Merah itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah para anggota organisasi-organisasi wanita. Sejak Soviet masuk negeri ini, wanita Afghanistan tak lagi diharuskan menutup wajahnya di depan umum. Lapangan-lapangan kerja pun banyak dibuka untuk pria dan wanita. Kehidupan wanita jadi semarak karenanya dibandingkan di aman sebelumnya. Wanita-wanita ini sangat tak suka bila Mujahidin berkuasa dan menerapkan hukum Islam macam di Iran. Mereka berharap Zahir Syah atau keturunannya yang memerintah negeri, karena mereka percaya Zahir seorang liberal yang tak mungkin mendirikan negara Islam. Lalu apa yang kini dilakukan oleh para pendukung Najibullah? Mereka suka berkeliling kota sambil menyandang senjata. Mereka suka menirukan kata-kata Najibullah bahwa "gerilyawan memang menembaki Kabul, tapi yang kena adalah penduduk sipil, bukan tentara. Mereka tak mungkin bisa merebut Kabul. Kami tak terkalahkan." Para diplomat asing yang masih tinggal sampai Minggu pekan ini menduga, intelijen pihak Mujahidin sudah menyusup ke dalam Ibu Kota Kabul. Mereka tentulah tak tinggal diam, begitu tentara Soviet habis seluruhnya. Diduga, para mata-mata itu akan mengadu domba tentara pemerintah. Dan memang itulah salah satu strategi Mujahidin dalam merebut Kabul: kota ini akan jatuh dari dalam sebelum digebuk beramai-ramai dari empat penjuru. Tanda-tanda mulai banyaknya mata-mata Mujahidin menyusup ke dalam kota adalah mer ningkatnya pencurian senjata dari gudang-gudang senjata tentara pemerintah. Juga kepanikan penduduk yang ingin mengungsi terlihat makin nyata. Selain lewat adu domba, Mujahidin akan membuat Kabul jatuh dari dalam dengan melakukan yang sejak dua pekan lalu sudah terjadi: memotong jalur komunikasi Kabul dengan kota-kota lain. Tujuannya, membuat persediaan bahan pangan dan bahan bakar ludes. Caranya, mula-mula para pejuang itu akan merebut Jalalabad, kemudian Kandahar. Lalu menjepit Kabul. Melihat kurangnya pangan di Kabul, agaknya taktik itu berhasil baik. Minggu pekan ini harga sepotong roti sudah naik tiga kali lipat dibanding pekan lalu. Hanya jalan raya Salang yang belum sama sekali tertutup. Jalan itulah yang masih membuat Kabul bernapas: dari Soviet bantuan pangan dan bahan bakar masih bisa diharapkan. Tapi sampai kapan ? Menurut seorang diplomat Jepang sebelum ia terbang ke New Delhi, tanpa bantuan Soviet Kabul masih bisa bertahan sekitar 6 bulan. Keiki Hiraga, penjabat duta besar Jepang untuk Afghanistan itU, tiba-tiba merasa sangsi atas perkiraannya sendiri itu. "Tapi rasanya pangan makin sulit di Kabul," katanya. Itulah pasalnya bila Najibullah akhirnya pun berang. Gerilyawan itu tak berniat berperang, tapi ingin membuat rakyat kelaparan, katanya. Tapi sementara itu ia tetap mengimbau agar ada pertemuan langsung antara pihaknya dan wakil gerilyawan Muslim, guna merundingkan terbentuknya pemerintahan koalisi. Di pihak Soviet sendiri, upaya diplomasi terus dilakukan. Menlu Eduard Shevardnadze kabarnya pekan ini mengadakan perundingan dengan para pemimpin Mujahidin di Peshawar, Pakistan. Tapi kabar ini tak dibenarkan maupun ditolak oleh Mujahidin sendiri. Sementara itu, deputi Menlu yang juga Dua Besar Soviet untuk Afghanistan, Voronstov, awal pekan ini terbang keTeheran dan mencoba bertemu dengan pimplnan Mujahidin yang Syiah. Sampai pekan ini belum tersiar tawaran yang akan diberikan oleh Soviet guna melunakkan Mujahidin agar mau membentuk pemerintahan koalisi bersama pihak Najibullah. Kabar yang beredar di Kabul, yang masih sulit dicek kebenarannya, adalah bahwa Shevardnadze konon bersedia menarik dukungannya terhadap rezim Najibullah asal Mujahidin mau berunding dengan Soviet. Kini aparat pemerintah Kabul mulai ada yang berani bicara blak-blakan. Seorang polisi lalu lintas di sepinya lalu lintas Kabul Senin pekan ini senang bahwa, "Rusia akhirnya pergi, dan itu akan menyebabkan rezim Najibullah pun akan runtuh." Polisi ini dan sejumlah warga Kabul lainnya berharap, Mujahidin selekasnya mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Mereka percaya masa damai akan melingkupi negeri ini bila para pejuang Islam-lah yang berkuasa. Orang-orang itu, yang tampaknya sangat tak menyukai pendudukan Soviet dan rezim Najibullah yang selalu menyebarkan polisi rahasia yang gampang menangkap dan menyiksa orang, yakin benar bahwa Mujahidin akan membawa kedamaian. Mereka tak percaya bahwa di antara Mujahidin sendiri terjadi persaingan tajam. Seandairya itu benar, akhirnya seorang pendukung pejuang muslim menjawab, "Itu hanya akan menjadi transisi ke arah pemerintahan yang damai." Mudah-mudahan harapan itu terkabul Mudah-mudahan para pemimpin Mujahidin tiba-tiba berubah sikap, lalu bersedia bersatu dan bukannya saling gempur. Tapi mereka yang mengatakan begini sejauh ini belum ada. Hampir semua ramalan mengatakan Kabul bakal bersimbah darah, dan itu akan menyebabkan satu penderitaan panjang. Ada yang bisa mempersingkat ketegangan kini. Kata seorang diplomat Inggris yang Senin pekan ini mendarat di New Delhi dari Kabul: "Penyelesaian masalah Afghanistan sekarang bisa sangat sederhana, yakni bila tiba-tiba Najibullah berada di dalam pesawat Rusia terakhir bersama orang-orang Rusia, terbang menuju Soviet." Tapi tentang penyelesaian berikutnya, ketika pasukan Mujahidin masuk kota, diplomat itu tak bersedia menjawab. Katanya: "Saya ini diplomat, bukan tentara." Tuhan bersama mereka yang beriman, juga di Afghanistan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus