AFGHANISTAN, negeri sedikit lebih luas daripada 5 kali Pulau Jawa ini, tampaknya memang belum pernah utuh. Di zaman masih berbentuk kerajaan, boleh dikata tak pernah ada raja yang bisa berkuasa sampai ke pelosok. Para kepala suku biasanya menolak kekuasaan raja, dan untuk itu mereka siap berperang. Juga tak pernah ada bangsa asing yang bisa mengangkangi negeri berbukit-bukit itu lebih dan setahun, kecuali Soviet. Bangsa yang masih masuk jajaran negara paling miskin dan terbelakang ini masih terikat kuat pada tradisi kesukuan. Semangat nasionalisme mereka nyaris nol. Mereka lebih tunduk kepada para pemuka suku ketimbang pemerintah. Mereka cuma bisa bersatu kalau ada musuh bersama. Bisa jadi, sulitnya mereka bersatu sebagai bangsa itulah yang menyebabkan negeri ini ajek dalam kemiskinan dan keterbelakangan Lihat, di pusat-pusat kota bertebaran kios-kios yang bagi orang luar cukup menggelikan. Yaitu kios-kios tukang baca-tulis. Memang, dua dari tiga orang dewasa Afghanistan buta huruf. Sampai Desember 1980, ketika setahun sudah Soviet bercokol di negeri ini, penghasilan per kepala rakyat Afghanistan masih di bawah US$ 200 setahun. Setelah digerogoti Soviet selama lebih dari 9 tahun, tentunya mereka jadi lebih miskin. Apalagi sebagian ladang pertanian, yang jadi sumber nafkah utama lebih dari 85% rakyat, tak terurus karena perang. Meski tak sanggup memberikan gambaran yang pasti, informasi kasar dari Menteri Pertanian Mohamad Gufran cukup bisa menggambarkan betapa susahnya rakyat Afghanistan di masa mendatang. Menurut perhitungan pemerintah, sebelum 1978 jumlah keluarga petani sekitar 800 ribu. Lalu jumlah itu rontok sampai tinggal sepertiganya. "Bahkan di beberapa kecamatan Anda tak akan melihat seorang petani atau binatang ternak pun," kata Gufran. Di sisi utara Ibu Kota Kabul ada gambaran lebih menyeramkan. Pada 50 kilo meter pertama, semua desa sudah porak poranda. Padahal, di masa lalu kawasan itu kondang sebagai penghasil buah-buahan dan sarat penduduk. Maklum, wilayah sekitar jalan raya Salang yang menghubungkan Kabul dengan Soviet sejak beberapa tahun lalu berubah jadi ajang pertempuran paling sengit. Dr. Azam Gul, bekas dekan Fakultas Pertanian di Universitas Kabul yang kini berstatus pengungsi di Peshawar, Pakistan, mencoba menghitung merosotnya kekayaan negerinya akibat pendudukan Soviet. Sejak 1980, katanya, produksi pertanian Afghanistan merosot 50%. Jumlah sapi rontok 55%, kuda 55%, biri-biri dan kambing 66%. Kesimpulan dia, seandainya nanti perang berakhir, rakyat Afghanistan akan membutuhkan bantuan pangan selama beberapa tahun. Untung, PBB tak tinggal diam. Pertengahan tahun lalu, sekjen lembaga dunia itu, Javier Perez De Cuellar, mengangkat Pangeran Sadrudin Aga Khan dari Pakistan sebagai koordinator pemulangan para pengungsi, sekaligus sebagai ketua misi pencari dana bagi Afghanistan. Hanya saja, masih banyak orang ragu pada kesanggupan pangeran itu. Bayangkan, untuk pertanian saja, paling tidak dia harus menyuplai US$ 800 juta setahun selama 5 tahun. Kehancuran itu dimulai pada 1982, ketika Soviet memutuskan untuk membabat habis semua perjuangan Mujahidin. Kala itu setiap desa yang dicurigai sebagai sarang Mujahidin dihancurkan, sehingga para petani lebih suka kabur ke negara tetangga atau pindah ke kota. Sebagian jaringan irigasi dan sumur, baik yang tradisonal atau modern, pun berantakan. Sementara ribuan binatang ternak tewas dilahap ledakan mesiu. Sebenarnya, Soviet sudah berupaya mengimbangi kerusakan itu. Sejak 1980, negara superkuat itu sudah membangun lebih dari 200 proyek industri yang menghasilkan 750/b dari produk industri Afghanistan. Hanya saja, sampai sekarang manfaat industrialisasi itu masih belum apa-apa dibandingkan dengan kerusakan di ladang-ladang pertanian. Sebelum perang, dalam taksiran PBB, produksi pertanian Afghanistap menyumbang 50% sampai 60% pertumbuhan Produk Domestik Kotor (GDP). Dan kini itu kocar-kacir. Diiringi dengan defisit neraca perdagangan luar negeri yang terus membengkak, dari sekitar US$ 100 juta menjadi US$ 756 juta pada 1984-1985. Prestasi terbesar Soviet adalah dalam soal eksploitasi gas alam. Berkat kilang-kilang yang dibangun Soviet, sejak 1980, Afghanistan sanggup mengekspor 2,6 milyar meter kubik gas alam per tahun, yang bernilai sekitar US$ 300 juta, atau sama dengan 90% dari pendapatan pemerintah. Memang, hampir 100% eskpor gas alam itu ke Soviet -- negeri yang melahap 42% dari seluruh ekspor Afghanistan. Bila saja ada pasar lain yang mau menampung gas alam Afghanistan, mungkin negeri ini bisa lebih makmur. Diperkirakan, masih ada cadangan lebih dari 100 milyar meter kubik gas alam di perut bumi Afghanistan. Penemuan lain yang menjanjikan banyak harapan adalah sebuah tambang besi di Hajigak, yang diperkirakan mengandung 1,7 milyar metrik ton biji besi. Plus pertambangan tambang tembaga dekat Kabul, yang kalau pembangunan pabrik peleburannya rampung akan membuat Afghanistan sanggup menghasilkan 2% dari seluruh produksi tembaga dunia. Yang masih dirahasiakan berapa banyak cadangan uranium di perut Afghanistan. Tapi harus dicatat, semua roda industri itu baru bisa menggelinding berkat rubel Soviet. Dalam perhitungan para ahli dari negara-negara Barat, sejak 1984 Moskow harus mengirimkan US$ 12 milyar per tahun untuk kelancaran kehidupan ekonomi Afghanistan -- itu belum termasuk US$ 2 milyar yang dihamburkan untuk keperluan militer. Nah, pulangnya Soviet dari bumi Afganistan bukan cuma menyusahkan dari segi militer tapi juga ekonomi. Industri di Afghanistan, yang dijalankan oleh mesin-mesin buatan Soviet, akan macet lantaran kehabisan suku cadang. Demikian pula dengan aliran listrik, yang 80% berasal dari mesin-mesin pembangkit listrik tenaga uap buatan Soviet. Itu semua bila Kabul akhirnya jatuh ke tangan Mujahidin -- suatu kemungkinan yang belum dibantah oleh seorang pun hingga pekan ini.Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini