SEJUMLAH warga Kuala Lumpur sejak 4 September, bila bepergian, mau tak mau harus membayar tol jalan. Jalan layang Cheras, Kuala Lumpur, yang diresmikan awal bulan ini, ternyata bukan jalan alternatif, melainkan jalan satu-satunya bagi sejumlah penduduk di dekat jalan itu. Meski ada anggapan bahwa para penghuni di situ yang mayoritas Cina tergolong mampu, hilangnya alternatif menyulut kemarahan massa, Jumat pekan lalu. Sekitar 300 polisi terpaksa diterjunkan. Perang jalan pun terjadi: massa melemparkan batu, kayu, dan botol ke arah petugas keamanan. Massa bubar setelah polisi menyemprotkan gas air mata. Yang tak enak, peristiwa itu disebarkan sebagai "kerusuhan ras". Sebenarnya, kata beberapa orang Cheras, tarif jalan tol yang panjangnya 3 km yang M$ 1 (Rp 690) untuk kendaraan ringan, dan M$ 2 untuk kendaraan berat, tak begitu mahal. Apalagi sepeda motor bebas dari pungutan. Tapi ditutupnya jalan yang memintas tanah pekuburan Kristen, 3 hari setelah jalan layang dibuka, yang jadi jalan alternatif itulah yang membuat tarif itu jadi mahal. Sebab, banyak warga yang mesti pulang balik beberapa kali dalam sehari. Sarah Ong, seorang ibu rumah tangga, misalnya, tiap hari harus mengantarkan anaknya ke sekolah dan ke pelajaran tambahan. Begitu pula Lim Ah Keong, pemilik tiga bis sekolah, yang harus mengeluarkan M$ 12 untuk tol, karena enam kali sehari melintasi jalan tol. Ia merasa berat membebankan kelebihan biaya ini kepada murid-murid sekolah yang sudah mengeluarkan ongkos bulanan cukup tinggi. Lim pernah meminta keringanan 50%- tarif tol pada Teratai K.G. Sdn Bhd -- perusahaan swasta yang dipercayai mengelola jalan layang Cheras -- tapi ditolak. Pulang-balik mereka itulah yang menjadikan ongkos tol yang biasa saja itu jadi luar biasa. Selain itu, bagi mereka, tak adanya jalan alternatif dirasakan tak adil. Untuk sementara waktu, menunggu harga yang cocok, tol Cheras digratiskan. Menurut Deputi Perdana Menteri Abdul Ghafar Baba, pemerintah bersedia memikul subsidi sekitar M$ 200 juta bila tarif tol itu diturunkan 50%. Ghafar menilai, penetapan tarif tidak memperhitungkan seringnya penduduk di kawasan tersebut menggunakan jalan itu sehari-harinya. Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini