BANK Duta benar-benar lagi apes. Belum selesai heboh "jebol"-nya Bank Duta dalam permainan valuta asing (valas), pekan lalu bank itu dikalahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan menolak dua gugatan Bank Duta terhadap nasabahnya, keluarga Nyonya Sehati, yang dianggap bank itu enggan melunasi utang sekitar Rp 7,8 milyar setelah kalah bermain valas. Pengadilan malah menganggap Bank Duta "seenaknya" saja menerjunkan dana keluarga pengusaha di Medan itu ke kancah permainan valas. Karena itu, bank tersebut dihukum untuk mencairkan kembali deposito si nasabah sekitar 250 juta yen (kira-kira Rp 3,18 milyar) yang selama ini dianggap pihak bank sudah ludes. Keputusan yang mengagetkan ini tentu saja "diprotes" pihak Bank Duta yang sudah go public itu. "Putusan itu aneh," kata salah seorang pengacara Bank Duta, Nazir St. Sarialam, dari kantor pengacara Gani Djemat. Sebab, pengadilan menganggap perjanjian itu batal, tapi memberlakukan isi perjanjian itu dalam hal kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa gugatan itu. Menurut Bank Duta dalam gugatannya, keluarga Nyonya Sehati telah bermain perdagangan valas di bank itu sejak awal 1989. Dalam spekulasi ini, keluarga Sehati menggunakan dolar Amerika untuk membeli mark Jerman (DM), yang kemudian akan dijual kembali dalam dolar. Untuk itu, Nyonya Sehati menjaminkan deposito sekitar 106 juta yen sebagai modal awalnya. Sedangkan menantunya, Heddy Sinuraya, menjaminkan deposito US$ 100 ribu. Pada bulan-bulan pertama, menurut gugatan Bank Duta, keluarga Sehati terus-menerus memanen keuntungan. Sampai pada pertengahan Juni 1989, kurs dolar terhadap yen dan DM anjlok sampai beberapa poin. Akibatnya, keluarga Sehati mengalami kerugian, sehingga Nyonya Sehati harus menarik kredit US$ 597.337, sedangkan Heddy menarik kredit US$ 503.681. Untuk menghindari kerugian yang semakin besar, waktu itu Bank Duta menyarankan agar keluarga Sehati menutup transaksi saja. Tapi Sehati dan keluarga, yang masih berharap kurs dolar akan segera naik, berjanji akan menambah jaminan. Ternyata, jaminan itu tak kunjung ada, sedangkan kurs dolar semakin melemah. Pada 5 Juli 1989, kurs dolar melorot dari 1,920 DM menjadi 1,800 DM. Alhasil, Nyonya Sehati dan Heddy masing-masing menderita kerugian sampai sekitar US$ 2,17 juta. Dengan begitu, kerugian total menjadi sekitar Rp 7,8 milyar. Jika dikurangi deposito mereka di Bank Duta, senilai 250 juta yen, kerugian itu tinggal kira-kira Rp 4,63 milyar. Ternyata, kata pihak Bank Duta, keluarga Sehati selalu mengelak dari kewajiban menutup kerugian -- alias melunasi utang -- itu. Karena itu, Bank Duta melayangkan dua gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan pertama terhadap Heddy dan istrinya, Nyonya Sehati dan suaminya, serta Ramli. Pada gugatan kedua, yang menjadi tergugat adalah Nyonya Sehati dan dua putrinya (Sedjati dan Meini), Heddy dan istri, serta Ramli. Di persidangan, melalui Pengacara O.C. Kaligis, kedua kelompok tergugat itu membantah semua dalih Bank Duta. Nyonya Sehati, misalnya, mengaku mengikuti saja bujuk rayu Bank Duta untuk melakukan permainan valas. Tapi perjanjian perdagangan valasnya, menurut Sehati, selain tak bertanggal, juga cuma ditandatangani ia dan anaknya (Sedjati). Sedangkan tergugat lainnya, juga Bank Duta sendiri, tak membubuhkan tanda tangan mereka. "Saya melihat ada unsur pidana di sini, berupa penipuan terhadap nasabah," ujar Kaligis. Lain lagi argumentasi Heddy. Menurut dia, depositonya semula berbentuk dolar (US$ 100 ribu dengan bunga 8-%). Tapi karena mengharap bunga yang lebih besar, ia mengaku mengikuti saran Bank Duta agar deposito itu diubah ke dalam yen. Setelah itu, Bank Duta memutar dana itu ke dalam perdagangan valas. Ketika depositonya jatuh tempo, pada 2 Oktober 1989, ternyata Bank Duta mengabarkan bahwa deposito itu sudah habis dispekulasikan. Majelis hakim yang diketuai Wahono Baoed, yang memeriksa gugatan terhadap Heddy dkk. Selasa pekan lalu, menganggap perjanjian perdagangan valas tersebut cacat alias tidak sah. Sebab, perjanjian itu tak mencantumkan tanggal berlaku dan berakhirnya, selain tak ditandatangani semua pihak. Kecuali itu, kata Hakim Wahono Baoed, konfirmasi yang dilakukan Bank Duta kepada nasabah setelah melakukan transaksi valas cuma melalui telepon saja. Ada memang konfirmasi berikutnya, melalui teleks, tapi ban disampaikan dua bulan kemudian. "Seharusnya, konfirmasinya dengan bukti tertulis pada hari itu juga atau setidaknya dua hari kemudian," kata Wahono Baoed. Pada Kamis pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Eddy Djunaedi, yang menangani gugatan terhadap Sehati dkk., malah menilai perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebab, kata majelis, perjanjian itu tak memenuhi syarat-syarat perjanjian, yang ditentukan pasal 1320 KUH Perdata. Bahkan hakim itu menganggap permainan valas itu seperti future trading yang dilarang pemerintah. Menurut majelis, perjanjian tersebut tak jelas dan berat sebelah. Seharusnya, kata majelis, dalam perjanjian itu diatur secara tegas-tegas soal maksimum modal yang bisa dimainkan, tata cara pemberian order, transaksi, dan konfirmasinya. "Sebab, permainan valas itu bersifat untung-untungan. Lebih sering merugikan nasabah," kata Eddy Djunaedi. Happy S., Iwan Q. Himawan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini