BLOKADE sudah dicabut, pekan lalu. Memang bukan blokade untuk Irak, tapi blokade Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional untuk Peru. Negeri ini kembali dipercaya menerima bantuan utang. Jalan untuk memperoleh kepercayaan lembaga keuangan internasional itu sempat menyulut kekacauan di Lima, ibu kota negeri itu. Pada pekan pertama krisis Teluk, ketika kebijaksanaan Alberto Fujimori -- presiden baru Peru itu -- mulai dijalankan, terjadilah perampokan-perampokan toko di Lima. Kerusuhan bisa disetop hanya dalam beberapa hari, setelah puluhan korban jatuh. Memang, obat yang dilontarkan akademisi yang jadi pengusaha dan tiba-tiba saja terjun ke dunia politik itu terlalu pahit. Bahkan dalam suasana krisis Teluk, ketika harga minyak dunia naik, harga minyak di Peru yang ia naikkan 30 kali lipat terasa fantastis. Ditambah harga makanan pokok naik 4 kali lipat, tak mengherankan bila keresahan berubah jadi kerusuhan. Waktu itu, pasta gigi yang biasanya seharga US$ 2 langsung menjadi US$ 5. Kepercayaan Bank Dunia diperoleh kembali Fujimori lewat janji akan mulai mencicil utang yang tertunda, meski untuk itu ia harus menutup sejumlah kedutaan dan perwakilan Peru di luar negeri, guna menghemat pengeluaran rutin. Sudah dimaklumi, meski terjadi hiperinflasi dalam waktu lima tahun belakangan, Alan Garcia Perez (presiden sebelum Fujimori) tak mencoba menyesuaikan nilai inti (mata uang Peru). Dari sedolar sama dengan 10 inti, hanya kemudian diubah menjadi sekitar 35 inti. Setelah Fujimori menggerakkan kalkulatornya, ternyata sedolar harus dihargai 300.000 inti -- naik lebih dari 8.000 kali. Sementara itu, negeri yang memang sejak dulu ekonominya digerogoti pemberontak Maoist, yang pemerintahnya terlalu banyak campur sektor swasta dengan birokrasinya yang berbelit-belit ini, mencoba menunda pembayaran cicilan utangnya pada Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Akibatnya, bukan Peru tambah kaya tapi sebaliknya -- dana luar negeri yang macet membuat ekonomi Peru tambah sengsara. Ketika Fujimori, yang berkampanye untuk pemilu dengan naik traktor, dilantik menjadi presiden akhir Juli lalu, tak sepeser pun Peru punya simpanan devisa. Memang kondisi ekonomi Peru amat suram. Utang luar negerinya kini, plus bunganya, sebesar US$ 19 milyar. Karena itu, PBB (tentu bukan karena kebetulan Perez de Cuellar, Sekjen PBB, warga negara Peru) sudah membentuk panitia untuk membantu program sosial pemerintahan Fujimori. Para ahli mengatakan, merosotnya ekonomi Peru terutama kebijaksanaan pendahulu Fujimori yang meleset. Peru sebenarnya punya potensi menjadi negara penghasil ikan kaleng terbesar di dunia. Tahun 1982, misalnya, ekspor ikan kaleng Peru mencapai US$ 203 juta. Tapi ada yang bilang, ekonomi Peru negeri 21 juta penduduk, selama ini ditunjang penjualan coca, bahan dasar kokain. Perang terhadap kokain di AS dan negara lain -- misalnya di Kolombia, tetangga Peru -- memerosotkan penghasilan dari daun surga itu. Kiat Fujimori, siapa tahu, mendatangkan kebaikan -- itu bila resesi karena krisis Teluk tak melanda dunia. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini