Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perundingan dalam Konferensi Perubahan Iklim belum tuntas hingga hari terakhir.
Negara kaya kurang percaya kepada negara berkembang dalam hal pendanaan iklim.
Janji-janji para pemimpin dunia kurang ambisius dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
GRETA Thunberg dan 13 remaja aktivis lingkungan lain dari seluruh dunia mengajukan petisi kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres di tengah Konferensi Perubahan Iklim (COP) di Glasgow, Skotlandia, Rabu, 10 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka meminta Guterres dan semua badan PBB menyatakan "darurat iklim" di seluruh dunia, seperti mereka mengumumkan darurat Covid-19. Petisi itu mengukuhkan seruan Guterres kepada "para pemimpin di seluruh dunia untuk mengumumkan keadaan darurat iklim di negara masing-masing hingga keadaan bebas karbon tercapai".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dengan mengajukan petisi ini kepada Sekretaris Jenderal, saya percaya bahwa kami akan mendapat keadilan karena kita semua telah melihat bagaimana para pemimpin dunia hanya membuat janji besar di COP,” kata salah satu pembuat petisi, Ridhima Pandey, aktivis iklim 14 tahun dari India.
Sekitar 200 negara dalam konferensi ini akan menentukan bagaimana menghindari bencana krisis iklim. “Jendela waktu target 1,5 derajat Celsius akan tertutup dengan cepat. Tapi, dengan kemauan dan komitmen politik, kita dapat, dan harus, memberikan hasil di Glasgow yang dapat dibanggakan dunia,” kata Presiden COP Alok Sharma.
Dalam Perjanjian Paris, perjanjian dalam COP di Paris pada 2015, hampir semua negara bersepakat mempertahankan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius atau di bawah 2 derajat Celsius dibanding tingkat suhu masa praindustri. Caranya adalah menekan emisi karbon dan mencegahnya menjadi gas rumah kaca hingga mencapai keadaan karbon netral pada 2055.
PBB mengatakan emisi harus turun 7,6 persen per tahun pada dekade ini untuk mencapai tujuan 1,5 derajat Celsius. Penurunan secepat itu tidak pernah terjadi kecuali selama masa perang, pandemi, resesi, atau keruntuhan Uni Soviet. Menurut Global Carbon Project, emisi gas rumah kaca turun 5,4 persen pada tahun lalu ketika negara-negara menutup wilayah dalam menghadapi pandemi Covid-19, tapi kembali naik 4,9 persen pada tahun ini.
Greta Thunberg dan ratusan aktivis lain berunjuk rasa di Glasgow untuk mendesak para pemimpin dunia lebih serius menangani krisis perubahan iklim. Di mata mereka, konferensi ini gagal mencapai tujuannya. Para pemimpin enggan menetapkan janji yang lebih ambisius dalam menangani perubahan iklim. Hingga hari terakhir konferensi, Jumat, 12 November lalu, masih banyak agenda yang belum disepakati, dari isu penggunaan baru bara dan bahan bakar berbasis fosil lain hingga pendanaan untuk negara-negara miskin.
Menteri Lingkungan Swiss Simonetta Sommaruga menyatakan perundingan berjalan rumit. "Ada perbedaan isu di antara negara-negara berkembang, seperti negara di Afrika dan Amerika Latin, tapi juga beberapa negara kaya mengenai transparansi, bahwa kita punya aturan yang sangat ketat bila setiap orang harus menunjukkan hasil dan ukuran atas tindakan yang diambil," tuturnya kepada SWI, media Swiss.
Selain itu, "Kita butuh lebih banyak ambisi," ucap Sommaruga mengenai isu pasar karbon. Menurut dia, beberapa kelompok negara berkembang tidak ingin lebih transparan dan ambisius dalam isu ini. "Ini lebih rumit daripada negara berkembang dan negara industri."
Rancangan kesepakatan COP26 memasukkan syarat bahwa setiap negara wajib menetapkan janji iklim yang lebih kuat pada tahun depan untuk menjembatani kesenjangan antara target mereka sekarang dan pengurangan yang jauh lebih besar yang diperlukan pada dekade ini guna mencegah bencana perubahan iklim.
Perundingan sedikit macet karena Amerika Serikat, dengan dukungan Uni Eropa, menahan-nahan kesepakatan itu. Lee White, Menteri Kehutanan dan Perubahan Iklim Gabon, menyatakan kepada Al Jazeera bahwa negara-negara kaya kurang percaya kepada negara miskin mengenai pembiayaan atas kerusakan akibat dampak pemanasan global.
Negara kaya gagal menyumbang US$ 100 miliar per tahun pada 2020 seperti yang mereka sepakati sebelumnya hingga memicu protes dari negara-negara berkembang. Dana itu, yang menurut PBB masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan, diperlukan negara berkembang dan miskin untuk menjalankan mitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Rancangan kesepakatan terbaru menyatakan "penyesalan mendalam" bahwa target pendanaan belum terpenuhi dan mendesak negara-negara kaya meningkatkan pendanaan mereka pada 2025.
Aspek kontroversial dari pendanaan ini adalah kompensasi atas kerugian dan kerusakan akibat pemanasan global. Beberapa negara kaya tidak mengakui klaim tersebut, meskipun sejumlah laporan penelitian menunjukkan dengan jelas penderitaan negara-negara yang terkena dampak perubahan iklim.
Hansjoerg Strohmeyer, kepala pengembangan kebijakan di Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), menyatakan sebanyak 12 dari 15 negara yang paling terkena dampak perubahan iklim sudah menerima bantuan kemanusiaan. “Kami sudah membantu 130 juta orang hari ini dengan kekurangan pendanaan sebesar 30 persen," katanya kepada SWI. Namun, dia menambahkan, bila suhu global terus naik, uang yang tersedia tidak cukup untuk membantu mereka.
Masalah lain adalah desakan mempercepat penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara dan subsidi untuk bahan bakar fosil. Sejumlah negara menentangnya. Cina dan Arab Saudi termasuk yang menolak klausul mengenai penghapusan subsidi atas bahan bakar fosil.
Draf kesepakatan terakhir berubah menjadi “penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak berkurang dan subsidi yang tidak efisien untuk bahan bakar fosil”. John Kerry, utusan Amerika Serikat mengenai isu iklim, mengatakan Washington mendukung draf terakhir. “Kami tidak berbicara tentang menghilangkan (batu bara), tapi subsidi itu harus dihilangkan," ujarnya seperti dikutip Al Jazeera.
Komitmen besar pertama yang muncul dalam konferensi ini adalah kesepakatan 100 pemimpin negara, yang mewakili lebih dari 85 persen hutan dunia, untuk mengakhiri deforestasi atau penggundulan hutan pada 2030. Negara itu antara lain Kanada, Rusia, Kolombia, Indonesia, Brasil, dan Kongo. Lebih dari 100 negara juga berjanji mengurangi emisi metana pada 2030 sebesar 30 persen di bawah tingkat emisi pada 2020.
Hampir seperempat dari emisi global berasal dari pemanfaatan lahan, seperti penebangan kayu dan penggundulan hutan. Melindungi hutan dan mengakhiri perusakan lahan akan mencegah dampak pemanasan global serta merawat kehidupan dan masa depan 1,6 miliar penduduk, hampir seperempat populasi dunia kini, yang kehidupannya bersandar pada hutan.
Komisi Transisi Energi memperkirakan emisi gas rumah kaca saat ini mencapai 52,4 miliar ton per tahun. Bila semua janji para pemimpin di COP26 dipenuhi, emisi akan turun hingga 41,9 miliar ton per tahun. Jumlah itu masih jauh dari target penurunan 26,6 miliar ton per tahun pada 2030.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo