Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum dibacok, Jurkani dikepung 30-50 penambang ilegal.
Polisi hanya menangkap dua pelaku.
Kronologi versi polisi berbeda jauh dengan keterangan saksi kunci pengeroyokan.
KESEDIHAN makin menebal di hati Aisyah ketika menyemayamkan suaminya yang tewas karena dikeroyok sejumlah penambang ilegal batu bara pada Rabu, 3 November lalu. Tak satu pun teman-teman polisi Jurkani yang datang melayat bahkan sejak jenazah pengacara 60 tahun itu disalatkan di Masjid Al Jihad Banjarmasin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Jurkani mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di Rumah Sakit Ciputra selama hampir dua pekan. Aisyah merasa heran tak satu pun polisi yang datang. Padahal waktu tempuh Masjid Al Jihad ke Markas Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, tempat dulu suaminya bertugas, hanya lima menit berjalan kaki. “Almarhum mantan guru bagi banyak polisi. Tapi waktu disemayamkan dan disalatkan tidak ada satu pun polisi yang datang,” ujarnya, Kamis, 11 November lalu.
Setelah pensiun dini dari kepolisian pada 2018, Jurkani menjadi pengacara. Profesi ini yang menyeretnya ke dalam konflik tambang batu bara di Tanah Bumbu. Ia menjadi penasihat hukum PT Anzawara Satria, pemilik konsesi tambang batu bara di kabupaten itu sejak setahun lalu. Sekelompok penambang ilegal mencegat dan membacoknya pada 22 Oktober lalu.
Lukanya terlalu parah. Jurkani meninggal setelah 13 hari menjalani perawatan di rumah sakit. “Dia juga sempat dua kali cuci darah karena sakit ginjal,” kata anggota staf PT Anzawara Satria, Romeir Emma.
Selepas disemayamkan di Masjid Al Jihad, keluarga membawa jenazah Jurkani ke kampung halamannya di Desa Pakacangan, Amuntai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Desa ini waktu tempuhnya hampir empat jam berkendara dengan mobil dari Banjarmasin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi mobil yang ditumpangi Jurkani rusak berat akibat peristiwa penghadangan dan pembacokan dirinya/istimewa
Ia kembali disalatkan di sana. Jasadnya dikebumikan seusai salat Isya. Saat pemakaman pun, kata Aisyah, tak satu pun polisi yang datang melihat mantan koleganya untuk terakhir kali.
Selama bertugas di Korps Bhayangkara, Aisyah menilai suaminya tak pernah melakukan perbuatan tercela. Jurkani pernah menjadi penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Selatan. Ia juga pernah menjadi pengajar di Sekolah Kepolisian Negara. Ia terakhir bertugas di Direktorat Kepolisian Air dan Udara Polda Kalimantan Selatan.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Tanah Bumbu Ajun Komisaris I Made Rasa menduga banyak polisi yang tak mengetahui informasi kematian dan pemakaman Jurkani. “Yang jelas, polisi punya komitmen meringkus para pelaku. Saat ini sudah dua pelaku kami tahan,” ujarnya.
•••
TIM Gabungan Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan menangkap dua penganiaya Jurkani dalam tempo kurang dari 24 jam setelah kejadian. Kedua tersangka, Nasrullah alias Inas bin Miswanto dan Yurdiansyah alias Iyur bin Abdul Khair, ditangkap di dua tempat berbeda.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Tanah Bumbu Ajun Komisaris I Made Rasa mengatakan polisi bergerak berdasarkan kesaksian rekan Jurkani yang menyaksikan pembacokan itu. Nasrullah ditangkap tak jauh dari jalan masuk Desa Bunati, Kecamatan Angsana, pada hari yang sama dengan peristiwa pembacokan, sekitar pukul 23.00 WITA. Ia mengaku ikut membacok Jurkani memakai parang panjang yang melengkung. Senjata tajam itu ia buang di semak-semak tak jauh dari lokasi kejadian.
Dari pengakuan Nasrullah polisi memperoleh nama Yurdiansyah. Saat menganiaya Jurkani, keduanya menggunakan mobil Toyota Fortuner hitam. Mobil tersebut ditemukan terparkir di tepi jalan di sekitar Sungai Loban menjelang Kamis subuh, 4 November lalu.
Menurut Made, Iyur ditemukan dalam kondisi mabuk. Tiga buah botol wiski kosong tergeletak di bawah kursi. Noda darah terlihat di bajunya. “Dia berencana kabur tapi tertidur karena mabuk,” katanya.
Polisi menyebutkan pembacokan berawal ketika kedua pelaku hendak kongko bersama dua orang rekannya ke Pantai Bunati, tak jauh dari lokasi kejadian, pada 22 Oktober lalu. Di tengah perjalanan mobil keduanya berpapasan dan terhalang mobil yang ditumpangi Jurkani.
Keduanya berhenti dan menghadang mobil Jurkani. Mereka lalu memecahkan kaca mobil Mitsubishi Triton putih yang ditumpangi Jurkani bersama sejumlah rekannya. Setelah meminta Jurkani keluar, keduanya menyabetkan parang.
Polisi hanya menelusuri ihwal penganiayaan. Made Rasa mengatakan penyidik tak menelusuri perihal penambangan batu bara ilegal di balik pembacokan itu. Penyidik, ujar Made, juga tak mengetahui hubungan kedua pelaku dengan penambangan ilegal. “Fokus kami di soal pembacokan,” katanya.
Ditemui secara terpisah, seorang saksi kunci dan anggota keluarga Jurkani yang ditemui Tempo memberikan keterangan berbeda dari penjelasan polisi. Keduanya enggan menyebutkan identitas lantaran khawatir akan keselamatan mereka. Itu sebabnya, ada saksi yang melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Tim kami sudah ke sana,” ujar Komisioner LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.
Keterangan kedua saksi ini nyaris sama. Menurut mereka, sebelum dianiaya, Jurkani dikepung 30-50 orang di dekat kawasan tambang batu bara PT Anzawara Satria di Desa Bunati, Tanah Bumbu. Para pelaku datang dengan lebih dari lima mobil.
Ketika berhasil menghentikan mobil Jurkani, mereka mengepungnya. Ketika itu, rombongan Jurkani hendak melaporkan ulah para penambang ilegal ke Markas Kepolisian Sektor Angsana.
Sebelum memecahkan kaca mobil, seorang pelaku berteriak, “Ini Jurkani”. Seorang pengeroyok lalu menyeret Jurkani keluar mobil dan menyabetkan parang. Sekitar delapan orang yang ikut dalam rombongan tak dibacok. “Ketika hendak dibawa ke klinik, rombongan diminta memutar ke desa lain. Itu alasan pendarahan korban makin parah,” ucap saksi mata ini.
Ajun Komisaris I Made Rasa tidak mengetahui ada puluhan pengeroyok saat penganiayaan. Menurut dia, petunjuk yang diperoleh polisi hanya mengarah pada empat orang yang berada dalam mobil Toyota Fortuner hitam. “Dua ditangkap, dua buron,” tuturnya.
Polisi juga belum sempat menggali keterangan Jurkani ketika masih dirawat di rumah sakit. Meski begitu, polisi menganggap penyidikan kedua pelaku sudah selesai. Berkas pemeriksaan keduanya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu, tepat pada hari kematian Jurkani. Keduanya hanya dijerat Pasal 170 dan 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penganiayaan dan Pengeroyokan.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Andi Akbar mengatakan belum mengetahui tentang penambahan pasal lain dengan ancaman hukuman yang lebih berat. Sebab, pembacokan itu mengakibatkan Jurkani tewas. “Status berkasnya P18,” katanya, merujuk pada pasal KUHP yang berarti hasil penyelidikan belum lengkap.
•••
PERSONEL Badan Reserse Kriminal memasang pita kuning polisi di lokasi penambangan batu bara milik PT Anzawara Satria di Desa Bunati, Angsana, 14 Oktober lalu. Mereka mendatangi lahan itu guna merespons laporan Jurkani ihwal maraknya penambangan ilegal di lokasi tersebut pada 15 September lalu.
Atas penambangan ilegal itu PT Anzawara mengaku rugi mencapai Rp 100 miliar selama dua bulan. Jumlah penambang ilegal mencapai ratusan orang. “Ada sepuluh titik yang sempat dipasangi garis polisi,” ujar anggota staf PT Anzawara Satria, Romeir Emma Rivila.
Penambangan ilegal muncul sejak 26 Juni lalu. Manajemen PT Anzawara sudah melaporkan tindakan tersebut kepada polisi. Penyidik Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, ujar Emma, juga sempat menyambangi lokasi itu.
Seorang yang mengetahui penambangan ilegal itu mengatakan setidaknya ada 30 ekskavator dan 50 truk yang setiap hari hilir-mudik mengangkut batu bara dari area konsesi. Batu bara tersebut diangkut menuju salah satu pelabuhan yang dikelola seorang pengusaha, sebelum diangkut lagi ke kapal tongkang.
Masalahnya, alat-alat berat itu menghilang tiap kali polisi datang. Itu sebabnya ada dugaan kedatangan polisi bocor ke para penambang ilegal. Setelah polisi pergi, para penambang selalu kembali. Segel yang sebelumnya dipasang pihak Bareskrim pun raib ketika mereka datang.
Puncak perlawanan PT Anzawara terjadi pada hari kelabu tersebut. Pada siang itu, Jurkani bersama enam pegawai PT Anzawara menghadapi para penambang ilegal. Tapi para penambang merasa tak menambang di lahan PT Anzawara, melainkan lahan milik PT Arutmin Indonesia yang bersebelahan di kawasan yang kaya akan cadangan batu bara itu.
General Manager Bidang Legal dan Hubungan Eksternal PT Arutmin Ezra Leonard Sibarani mengaku belum mengetahui praktik penambangan ilegal di wilayahnya. PT Anzawara dan PT Arutmin pernah bersengketa ihwal kawasan konsesi pada 2008. “Itu dulu, sudah selesai,” ujarnya.
Kepala Kepolisian Sektor Angsana Inspektur Satu Jody Dharma membenarkan bahwa pihaknya pernah dihubungi Jurkani tentang konflik pertambangan batu bara. “Saat saya datang ke lokasi, perusakan garis polisi dan penambangan ilegal belum terjadi,” tuturnya.
AGUNG SEDAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo