Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Pemakaman tanpa Karangan Bunga

Jurkani memilih menjadi pengacara setelah pensiun dini sebagai polisi. Tak ada rekan polisi yang menghadiri pemakamannya.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jurkani pernah menjadi polisi dan pengajar di Sekolah Kepolisian Negara Polda Kalimantan Selatan.

  • Bergabung ke kantor hukum Denny Indrayana.

  • Tak ada kawan polisi yang menghadiri pemakamannya.

KAFE The Panasdalam di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, riuh pada pertengahan Oktober lalu. Seolah-olah bukan masa pandemi Covid-19, puluhan laki-laki dan perempuan berusia di atas 50 tahun meriung dan mendendangkan lagu lawas. Hari itu, Jurkani, 60 tahun, mengajak istri dan teman kerjanya di PT Anzawara Satria, sebuah perusahaan batu bara, Romeir Emma, berkunjung ke sana. "Dia ingin bernostalgia, bertemu kawan lama yang dulu pernah bermain musik dengannya," ujar Emma pada Sabtu, 13 November lalu.

Jurkani tampak semringah malam itu. Ia melantunkan lagu "Andai Kau Datang" karya Tonny Koeswoyo yang pernah dipopulerkan oleh grup musik Koes Plus pada 1970. Pria kelahiran Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, 25 Januari 1961, itu lancar dan fasih melantunkannya karena berulang kali menyanyikannya sejak belia.

Saat muda, dia biasa memainkan mandolin dan sesekali ikut manggung bersama kawannya. Setelah lulus sekolah menengah atas pada 1979, Jurkani mendaftar sebagai anggota kepolisian. Setelah lulus, dia bertugas di Manado dan Jakarta, sebelum akhirnya pensiun di Banjarmasin.

Saat di Jakarta, Jurkani bekerja sambil melanjutkan sekolah. Menurut anak kedua Jurkani, Fahru Razi, ayahnya sempat kuliah di Fakultas Hukum Ibnu Chaldun Jakarta. Pendidikan ini yang mengantarkannya menjadi pengacara hingga akhir hayatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika ditugaskan di Banjarmasin, Jurkani menjadi pengajar di Sekolah Kepolisian Negara Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan. Belakangan, dia menjadi advokat dan mengajukan permohonan pensiun dini pada 2018. Pangkat terakhirnya ajun komisaris.

Jurkani bergabung ke firma hukum milik Denny Indrayana. Dia juga sempat menjadi anggota tim penasihat hukum mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ketika menjadi calon Gubernur Kalimantan Tengah pada pemilihan kepala daerah 2020.

Kasus terakhir yang ditangani Jurkani adalah penyerobotan lahan konsesi PT Anzawara oleh penambang liar di Kecamatan Angsana, Tanah Bumbu. Ia berhadapan dengan penambang ilegal. Ia dianiaya sekelompok orang dengan senjata tajam pada 22 Oktober lalu. Ia mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Ciputra, Banjarmasin, dua pekan kemudian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain luka bacokan, Jurkani tengah berjuang melawan penyakit ginjal saat dirawat. Ia sempat menjalani dua kali cuci darah. Setiap tersadar dari pingsan, Jurkani selalu bercerita mengenai penyerangannya dan meminta kawan-kawannya sesama advokat terus berjuang mengungkap penambangan ilegal itu.

Jurkani pernah menghubungi Romeir Emma dengan panggilan video untuk membahas penambangan ilegal. Menurut Emma, kondisi Jurkani terlihat lemah dengan alat bantu pernapasan. Ia meminta Emma tidak menyerah. “Beberapa hari kemudian dia meninggal,” ujar Emma.

Emma dan keluarga Jurkani menyerahkan kasus ini ke polisi dan pemerintah. Mereka juga berharap organisasi yang diikuti Jurkani, Kongres Advokat Indonesia, mengawal proses hukum kasus kematian Jurkani.

Vice President Kongres Advokat Indonesia Luthfi Yazid mengatakan pembunuhan Jurkani mencederai martabat semua advokat. Jika kasus ini dibiarkan, kata dia, tidak tertutup kemungkinan kasus yang sama akan menimpa pengacara lain. Karena itu, Kongres Advokat akan mengawal pengusutan kasus pembunuhan Jurkani hingga tuntas. “Semua pelaku harus ditemukan, dari eksekutor hingga otak di balik penyerangan itu,” tuturnya.

Emma berfokus mendampingi keluarga Jurkani. Ia menceritakan keluarga temannya itu saat ini tengah berduka. Saat pemakaman, ucap Emma, tidak ada mantan kawan ataupun anak didiknya semasa di kepolisian yang mengantarkan kepergiannya. “Bahkan karangan bunga belasungkawa pun tak ada,” kata Emma.

RIKY FERDIANTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus