Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Gadang Janji Dagang Emisi

Indonesia menyiapkan skema perdagangan karbon untuk memenuhi janji menurunkan emisi. Solusi palsu mencegah krisis iklim?

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di sela-sela KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris, 1 November 2021/ANTARA/Biro Pers Media Kepresidenan/Laily Rachev/Handout

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alih-alih berupaya lebih keras menghentikan deforestasi, pemerintah memilih perdagangan karbon sebagai solusi mengurangi emisi.

  • Pemerintah telah menyiapkan regulasi berupa Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan dan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

  • Aktivis lingkungan menyebut perdagangan karbon sebagai solusi palsu bagi perubahan iklim.

ABDUL Ghofar tiba di Glasgow, Skotlandia, pada hari pertama Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP26), Ahad, 31 Oktober lalu. Anggota staf bidang Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia itu datang atas undangan Friends of the Earth, jaringan internasional organisasi lingkungan. Ia menginap di hotel yang berada di Argyle Street, sekitar 15 menit berjalan kaki menuju area konferensi di Scottish Event Campus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai pemantau, Ghofar memiliki kartu pengenal berwarna kuning. Itu sebabnya, ketika Presiden Joko Widodo berpidato di Scottish Event Campus atau Blue Zone—area yang dikelola PBB sebagai kawasan khusus untuk delegasi—ia tidak bisa menyaksikan langsung dan hanya menonton bersama via layar televisi di sebuah ruang terbuka di hotelnya. Hanya pemilik kartu pengenal warna merah muda, yang mendapat akreditasi PBB, yang boleh memasuki Blue Zone.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ghofar menyimak pidato Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa perubahan iklim berdampak besar tapi tak menjelaskan contohnya itu. Selebihnya, kata Ghofar, Presiden menjelaskan angka kebakaran hutan yang bisa ditekan menjadi 82 persen pada 2020. Selain itu, sektor kehutanan dan penggunaan lahan ditargetkan mencapai carbon net sink atau penyerapan bersih selambat-lambatnya pada 2030.

Di sektor energi, menurut Ghofar, Presiden Jokowi mengutarakan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Juga pemanfaatan energi baru dan terbarukan, termasuk biofuel, serta pembangunan berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

Abdul Ghofar dari WALHI dalam demonstrasi bersama aktivis dari Friends of Earth di sela acara COP26 di Glasgow, Inggris, 3 November 2021/Dok Pribadi

Seperti diduga Ghofar sebelumnya, tak ada ambisi baru yang disampaikan Presiden. Indonesia mengirimkan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) yang diperbarui dengan target penurunan emisi tetap 29 persen upaya sendiri atau 41 persen dibantu internasional ke sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC). Yang terbaru cuma soal penyerapan bersih di sektor kehutanan tahun 2030 dan target nol emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat.

Menurut Climate Action Tracker, tidak ada satu pun negara yang NDC-nya sesuai dengan target Perjanjian Paris 2015. Padahal Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) sudah memperingatkan bahwa NDC yang disampaikan negara-negara itu tak memadai untuk bisa mengejar target Perjanjian Paris, yaitu menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini.

Anggota IPCC asal Indonesia, Edvin Aldrian, mengatakan dokumen NDC yang disodorkan sejumlah negara tak akan bisa memenuhi target Perjanjian Paris. “NDC negara-negara saat ini baru sepertiga dari target Perjanjian Paris,” ucap Edvin, Sabtu, 13 November lalu. Itu artinya suhu bumi dipastikan di atas 2 derajat Celsius pada 2100. Kenaikan suhu di atas 2 derajat Celsius tersebut akan menyulitkan penghuni bumi.

Abdul Ghofar mendengarkan pidato Jokowi itu bersama puluhan koleganya. Meski mengaku tak terkejut dengan pidato itu, ia tak bisa menutupi kekecewaannya. Ia bandingkan dengan negara lain yang tegas menyebutkan dampak krisis iklim. “Indonesia mengalami dampak krisis iklim tapi seolah-olah mampu mengatasinya dengan sederet prestasi yang disebut dalam angka-angka kuantitatif,” ujar pria 28 tahun asal Kendal, Jawa Tengah, itu saat dihubungi pada Selasa, 9 November lalu.

Presiden Joko Widodo menjadi pembicara pada sesi World Leaders Summit on Forest and Land Use pada COP26 , di Glasgow, Skotlandia, Inggris, 2 November 2021/ANTARA/Biro Pers dan Media Kepresidenan/Lukas/Handout

Seusai acara nonton bareng tersebut, kata Ghofar, wakil aktivis dari Jepang memberikan solidaritas dengan janji akan menekan negaranya untuk menghentikan pembiayaan energi fosil di Indonesia. Mereka juga menggelar demonstrasi dengan kostum Pikachu—karakter utama dalam film animasi Pokémon—pada 4 November lalu di dekat Sungai Clyde, seberang lokasi COP26. Ghofar memegang poster mini yang mengusung pesan “Stop Pendanaan PLTU Indramayu”.

Sehari setelah pidato, pimpinan delegasi Indonesia menandatangani Deklarasi Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Pemanfaatan Lahan. Salah satu komitmennya adalah “bekerja secara kolektif menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan dan degradasi lahan pada tahun 2030”. Dengan penandatanganan itu, Indonesia berkomitmen seperti 141 negara lain untuk berusaha keras mencegah rusaknya hutan dan lahan.

Komitmen itu menjadi tanda tanya setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mencuit di akun Twitter pada 3 November lalu. Ia mengatakan carbon net sink di sektor kehutanan dan penggunaan lahan bukan berarti tidak ada deforestasi. Menteri Siti juga mencuit, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”

Pernyataan Siti Nurbaya yang dikutip media internasional itu mengundang pertanyaan, termasuk kepada wakil lembaga swadaya masyarakat Indonesia yang datang ke COP26. Salah satu yang mendapat pertanyaan itu adalah Siti Maimunah dari Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), yang tiba di Glasgow pada 3 November lalu. Ia datang atas undangan dari Global Justice Now.

Mai—sapaan akrab Siti Maimunah—mengaku ditanyai oleh aktivis lingkungan dari Inggris ihwal maksud cuitan Menteri Siti. Mereka juga mempertanyakan energi terbarukan berupa biofuel. Menurut mereka, biofuel bukan energi terbarukan karena membutuhkan pembukaan lahan. “Pernyataan menteri itu mengesankan kita tak mau bergeser dari pola pembangunan model lama,” tuturnya saat dihubungi pada Kamis, 11 November lalu.

Menurut Juru Kampanye Lingkungan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, apa yang disampaikan Menteri Lingkungan itu seperti membenturkan pembangunan dengan lingkungan. Padahal Iqbal menyitir ada kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyodorkan konsep ekonomi hijau. Selain ramah lingkungan, konsep itu lebih menguntungkan dalam jangka panjang.

Alih-alih mendorong upaya lebih keras menghentikan deforestasi, pemerintah dinilai Walhi cenderung mendukung skema perdagangan karbon yang efektivitasnya dalam mengurangi emisi masih diperdebatkan. Menurut Abdul Ghofar, Indonesia lebih serius dengan perdagangan karbon karena sudah menyiapkan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang mengatur pajak karbon, dan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Menurut Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Paul Butarbutar, dari dua regulasi itu, nanti akan ada batas atas emisi dari sebuah aktivitas ekonomi. Pemerintah akan memberikan izin emisi terhadap industri. Paul memberi contoh, “Jika batas atas emisinya ditetapkan 1.100 dan izin emisinya 800, berarti industri perlu menambal kekurangan emisi sebesar 300.”

Untuk mengatasi kekurangan emisi itu, kata Paul, ada beberapa skema yang disiapkan. Perusahaan bisa melakukan kegiatan mitigasi yang bersifat mengurangi emisi gas rumah kaca. “Misalnya, kalau dia memakai energi fosil, bisa dikurangi dengan memakai energi terbarukan. Kalau dia menggunakan energi yang belum efisien, bisa diganti dengan energi yang lebih efisien,” tutur Paul.

Kalau upaya itu tetap tidak cukup memenuhi target emisinya, Paul menambahkan, perusahaan bisa membeli kredit emisi dari perusahaan yang mengalami defisit emisi. Alternatif lain, menurut Paul, membeli izin emisi tambahan ke pemerintah atau membeli karbon kredit dari perusahaan atau komunitas yang mengelola hutan konservasi. Perusahaan yang tidak sanggup memenuhi batas emisi itu harus membayar pajak karbon. Dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pajak karbon ditetapkan Rp 30 ribu per ton setara CO2.

Perdagangan karbon di Indonesia selama ini sudah berjalan, tapi sifatnya sukarela. Menurut Paul, setidaknya ada tiga perusahaan yang melakukan konservasi hutan dan menjual karbon dengan skema ini. Selain itu, ada sejumlah komunitas yang mengelola hutan dan menjual jasa penyimpanan karbonnya. Tak diketahui pasti berapa harga karbonnya karena itu kesepakatan dua pihak. Taksiran dia, harganya berkisar US$ 5-10 per ton setara CO2.

Salah satu komunitas yang menjual karbon adalah masyarakat di lima desa dalam lanskap Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Mereka didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dalam mengelola hutan dan menerapkan skema Payment Environment Services (PES) atau biasa disebut imbal jasa lingkungan.

Menurut Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf, skema PES dilakukan sebagai upaya penurunan emisi dengan cara mempertahankan tutupan hutan. Ia berharap rencana penerapan skema perdagangan karbon yang diatur melalui Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon akan memberikan manfaat kepada masyarakat seperti yang mereka rasakan sejak 2019.

Pada 2019, masyarakat di area hutan lindung Bujang Raba mendapatkan Rp 400 juta dengan terjualnya 6.000 ton karbon. Pada 2020 dan 2021, mereka mendapatkan hasil sebesar Rp 1 miliar. “Skema PES ini tidak mengganggu upaya pemerintah Indonesia dalam mempertahankan NDC. Justru mendukung upaya pemerintah dalam mencapai target 29 persen pengurangan emisi,” ucap Rudi.

Seluruh hasil penjualan karbon di Bujang Raba dalam tiga tahun terakhir ini, kata Rudi, diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Tiap desa menentukan sendiri penggunaan uang imbal jasa lingkungan itu. Ada yang diberikan dalam bentuk bahan kebutuhan pokok, biaya perbaikan tempat ibadah, dan bahan kebutuhan patroli menjaga hutan. “Dengan skema PES, masyarakat membuktikan bahwa kawasan hutan tetap terjaga,” ujarnya.

Paul Butarbutar menambahkan, perdagangan karbon seperti yang dilakukan Bujang Raba bersifat sukarela. Artinya, belum ada aturannya dan sepenuhnya hasil kesepakatan dua pihak. Mekanisme perdagangan karbon secara internasional juga belum ada dan menjadi salah satu pekerjaan rumah dari Perjanjian Paris yang belum disepakati. Sedianya negosiasi soal ini diharapkan bisa diselesaikan dalam COP26 di Glasgow.

Iqbal Damanik menambahkan, ketentuan soal perdagangan karbon diatur dalam Artikel 6.4 Perjanjian Paris. Salah satu bagian dari artikel itu yang sudah disepakati dan diterapkan adalah mekanisme nonpasar, yaitu pembayaran berbasis kinerja (RBP). Di Indonesia, skema inilah yang menaungi program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Plus) Konservasi (REDD+). “Untuk mekanisme pasar, belum disepakati,” katanya.

Pembahasan soal ini memang rumit dan lama. Sampai sidang COP26 pada Jumat, 12 November lalu, soal mekanisme pasar perdagangan karbon ini belum disepakati. Menurut Edvin, ini topik yang sangat alot untuk disepakati karena memerlukan kompromi antara negara maju yang banyak memiliki industri yang menghasilkan emisi dan negara berkembang yang punya hutan dan bisa menyimpan karbon.

Berbeda dengan delegasi negara dan korporasi, aktivis lingkungan tidak mendorong skema perdagangan karbon dan menyebutnya “solusi palsu” bagi perubahan iklim. “Perdagangan karbon itu seperti memberi peluang perusahaan penghasil polusi untuk tetap mempolusi,” tutur Iqbal. Dengan dilepaskan sebagai mekanisme pasar, perusahaan penghasil polusi bisa menentukan harga kredit emisi. Itulah sebabnya skema ini juga disebut greenwashing.

Hutan mangrove yang rusak akibat ditebang, dekat lokasi tambang pasir di Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, 11 November 2021/ANTARA/Teguh Prihatna

Skema perdagangan ini, kata Iqbal, juga akan menyulitkan masyarakat adat yang selama ini berada di sekitar hutan. Saat ini mereka kerap berhadapan dengan para pemilik hutan tanaman industri atau perusahaan sawit. Kelak mereka akan berhadapan dengan perusahaan yang mengelola konsesi restorasi ekosistem. “Kalau mau fair, bisa mendorong mekanisme pemberian hak masyarakat adat untuk melakukan pengelolaan hak atas karbon itu,” katanya.

Menurut Siti Maimunah, perdagangan karbon juga kurang mendorong semangat perusahaan untuk mengubah cara kerja manusia agar lebih ramah lingkungan. “Dengan perdagangan karbon nuansanya adalah kamu boleh meneruskan gaya hidup sekarang,” ucap Mai. “Kita melindungi tempat lain. Boleh hancurkan di sini, alamnya yang suruh menjawab. Ini yang disebut nature base solution,” ujarnya.

RAMOND EPU (JAMBI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus