Penghapusan UU itu hanya menghapuskan nama. Kongres Nasional menyerukan agar sanksi ekonomi jangan dulu dicabut. DI seantero Afrika Selatan kini tak ada lagi keharusan pemeriksaan warna pantat bayi yang baru lahir. Juga pemeriksaan ram- but, lubang hidung, kulit, dan kuku. Semua itu untuk menentukan ras si bayi. Senin pekan lalu, Undang-Undang Pendaftaran Penduduk, yang membagi warga negeri itu ke dalam empat kelompok ras, dihapuskan secara resmi. "Apartheid kini sudah jadi sejarah," kata Presiden F.W. De Klerk. Sepekan sebelumnya, dua undang-undang berbau rasialisme lainnya sudah lebih dulu dilunturkan. Yakni Undang-Undang Pemilikan Tanah (yang menyisihkan 87% wilayah di Afrika Selatan untuk minoritas kulit putih), dan Undang-Undang Kelompok (yang membagi tempat tinggal warga sesuai dengan golongan rasnya). Sedangkan Undang-Undang Pemisahan, yang membuat tempat-tempat umum hanya boleh untuk ras putih saja, atau hitam saja, sudah disingkirkan Oktober tahun lalu. Tapi politik apartheid sebenarnya belum habis total. Masih ada diskriminasi lain di bidang upah, sekolah, dan pensiun. Seperti diketahui, warga kulit putih Afrika Selatan mendapat jatah pensiun empat kali lebih besar ketimbang kulit hitam. Sedangkan keturunan India mendapat dua kali jatah warga hitam. Begitu pula subsidi di sekolah-sekolah. Murid hitam mendapat subsidi paling buncit. Jangan ditanya lagi soal perbedaan gaji. Maka Kongres Nasional Afrika, organisasi Kulit Hitam Afrika Selatan yang dipimpin Nelson Mandela, menginginkan tetap dilanjutkannya segala sanksi oleh dunia internasional atas pemerintah Pretoria. Sebab, "Sepanjang praktek rasialis lainnya masih berlaku, Undang-Undang Pendaftaran Penduduk cuma menghapuskan namanya saja," demikian pernyataan Kongres. Memang, penduduk pribumi tetap tidak punya hak suara dalam pemilu. Perubahan status politik itu baru bisa dilakukan setelah konstitusi baru nonrasial diberlakukan. Padahal, itu paling cepat baru selesai dibicarakan akhir tahun ini. De Klerk percaya bahwa "perubahan harus secara bertahap, dan melalui proses negosiasi". Bisa jadi, penghapusan setengah-setengah ini bakal menyulut ketegangan bila seruan Kongres Nasional termakan oleh negara-negara internasional. Sebab, kubu garis keras Ultra-Kanan- yang selama ini menentang politik pembaruan De Klerk- lalu bisa berteriak-teriak: ternyata penghapusan apartheid tak ada gunanya. Sanksi ekonomi internasional terhadap Afrika Selatan tetap berlaku. Dan harap diingat, kelompok Ultra-Kanan, yang tergabung dalam Partai Konservatif, bukan cuma menjadi partai oposisi terbesar dalam parlemen, tapi juga memiliki milisi bersenjata. "Kami punya setengah juta orang yang terlatih perang," kata Koos Van der Merwe, juru bicara Ultra-Kanan di parlemen. Dari keseluruhan lima juta penduduk kulit putih, 1,1 juta di antaranya memiliki senjata api lengkap. Dan terdaftar secara resmi. Yang gawat, rasialisme bukan cuma merasuki kelompok kulit putih. Keturunan India, kini hampir sejuta, yang oleh kulit putih dianggap berderajat lebih tinggi ketimbang kulit hitam, banyak yang ikut bersikap rasialistis. Buktinya, begitu larangan pemisahan pelayanan publik dihapuskan tahun silam, kolam-kolam renang di Milan Park, kota permukiman keturunan India, diisi dengan pasir. Tapi yang paling ditakutkan para pengamat adalah persaingan kekuasaan antar-kulit hitam, dalam era pasca aphartheid. Belakangan, kerusuhan berdarah antar-warga hitam marak di sejumlah kota. Yakni antara pendukung Partai Inkatha, partainya suku Subu, dengan para pengikut Kongres Nasional. Kerusuhan ini diduga didalangi oleh kelompok kulit putih, untuk memecah belah kulit hitam. Banyak saksi mata mengatakan, polisi kerap menutup mata jika pendukung Inkatha membantai simpatisan Kongres Nasional. Para polisi yang tertangkap basah dan terbukti terlibat dalam kasus-kasus "pembantaian kota" ini tidak diseret ke meja hijau. Komandan lokal yang berpihak pada Inkatha tak dipecat. Bahkan pengusutan pun tak dilakukan. Karena itu, ada yang meramalkan, Afrika Selatan bisa jadi Libanon kedua. Bakal berkecamuk perang saudara yang tak kunjung padam. Ada jalan kompromi yang bisa ditempuh, dengan meniru model Jerman. Yaitu, mereka yang telah berkembang dan maju membantu pihak yang kurang maju. Memang bakal mengorbankan sejumlah kenyamanan bagi warga kulit putih. Lagi pula, para kulit putih tak sekaya orang Jerman Barat, mereka tak memiliki kekayaan cukup untuk mendongkrak tingkat hidup 30 juta kulit hitam. Tapi inilah alternatif terbaik bagi Afrika Selatan. Sulit disangkal bahwa pihak kulit hitam sendiri, terutama Kongres Nasional Afrika, tak siap untuk memerintah. Selain kurang pengalaman, warga hitam juga rata-rata kurang berpendidikan. Inilah dosa apartheid, yang memang tidak menginginkan kemajuan warga hitam. Sampai di sini, tampaknya, nasib negeri hitam-putih ini masih hitam. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini