Untuk kedua kalinya India mendapatkan perdana menteri yang bukan dari utara. Akankah ketidakstabilan mengguncang lagi? USIANYA akan mencapai 70 tahun minggu ini. Ia juga tak terlalu sehat. Tapi tak ada jalan mundur bagi Pamulakarti Venkata Narashima Rao untuk menerima jabatan sebagai perdana menteri India. Dan jangan bayangkan pekerjaannya bakal ringan. Segunung persoalan sudah menghadang Rao, yang dilantik Jumat pekan lalu. Mulanya Rao sudah berniat mundur dari dunia politik praktis. Sebagai seorang kutu buku yang penyabar Rao ingin membatasi kegiatan politiknya cuma sebagai think tank, berkonsentrasi penuh menyusun kebijakan dan memperjelas arah ideologi Partai Kongres. Tapi ia tak bisa mengelak ketika orang memilihnya sebagai ketua Partai bulan lalu, untuk menggantikan Rajiv Gandhi yang tewas dibom di Sriperumpudur, India Selatan. Dan ia seolah kepalang basah. Pendukungnya terus mendorong agar Rao melanjutkan langkahnya untuk memimpin pemerintahan setelah Partai Kongres menang dalam pemilu maraton yang meminta korban 300 nyawa. Partai Kongres yang begitu terbiasa dengan dominasi keluarga Nehru-Gandhi melihat Rao, yang sangat loyal pada Gandhi, bisa meneruskan kepemimpinan itu. Selain itu Rao dianggap simbol pembaru, "Rao bisa memberikan pandangannya yang realistis, bersandar pada akal sehat. Kami tak perlu lagi dibayangi figur karismatis seperti Gandhi," tutur Praba Nathan, seorang penulis di New Delhi, pada pembantu TEMPO Taufik Rahzen. Di sinilah ia ditantang oleh Sharad Pawar, wakil Kongres dari Negara Bagian Maharasthra, yang menghendaki pemilihan dilakukan secara langsung dan rahasia. Pertarungan yang ternyata cuma berumur tak sampai seminggu. Pawar bersedia menarik diri dan membiarkan pemilihan secara "musyawarah dan mufakat" memilih Rao sebagai perdana menteri. "Demi keutuhan partai," katanya. Jika melihat kematangan dan pengalamannya, Rao pantas menduduki posisi puncak itu. Bekas pengacara yang sering mengutip Octavio Paz jika berbicara ini punya kemampuan berdiplomasi yang hebat. Itu ditunjukkannya ketika ia menjadi menteri luar negeri, 1980-1984, di masa pemerintahan Indira Gandhi. Rao lahir dari petani berkasta Brahmana, di Andra Pradesh, India Selatan, dan meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Bombay. Ia makin serius terjun ke politik setelah istrinya meninggal, 1969. Ia menguasai paling tidak tujuh bahasa: lima bahasa lokal, Inggris, dan Spanyol. Belum lagi penguasaan pasif bahasa Arab, Persia, dan Prancis. Rao juga Ketua Gyanpeth Award Committee, panitia yang membagikan hadiah sastra di India. Ia sendiri memang sastrawan, menulis puisi dan menerjemahkan beberapa novel. Tapi dalam kehidupan politik, juga di India, kadar in- telektual yang tinggi seperti ini belum jadi jaminan. Misalnya saja dalam perebutan kursi parlemen untuk daerahnya pada 1984, ia harus menyerah kalah. Rao, yang punya komitmen kuat pada kelompok berkasta rendah, kurang mendapat dukungan di kalangan tuan-tuan tanah Hindu yang berpengaruh. Persoalan ini juga yang nanti harus dipecahkan Rao. Bentrokan antarkasta di India sampai sekarang masih terus marak di seluruh penjuru negeri. Belum lagi persoalan baru, bangkitnya Partai Bharatya Janata (BJP), Partai Hindu yang sangat radikal. Cukup mengagetkan, BJP keluar di urutan kedua dalam pemilu, meraih 119 kursi. Pada pemilu 1989 partai ini cuma meraih dua kursi. Yang lebih gawat, partai pimpinan Lal Khrisnan Advani ini menguasai Negara Bagian Uttar Pradesh di utara, yang dianggap sebagai basis politik India terpenting. Mungkin gambaran ini bisa jadi ukuran: hampir semua perdana menteri India berasal dari Uttar Pradesh. Kecuali Morarji Desai dari Gujarat, yang berkuasa cuma dua tahun dari 1977. Rao, yang berasal dari Andra Pradesh, adalah PM kedua yang bukan berasal dari situ. Selain tekanan kuat di daerah penting, Rao bakal menghadapi konflik dahsyat Hindu-Islam di Uttar Pradesh. Advani dalam kampanyenya menjanjikan akan mengubah Masjid Babri menjadi kuil Hindu. Masjid ini konon didirikan di kawasan bekas kuil, kuil yang dipersembahkan pada Raja Rama yang diyakini lahir di situ. Pengalaman Rao yang pernah menjadi menteri dalam negeri setelah Indira Gandhi terbunuh, 1984, nampaknya bakal diperlukan. Ketika itu, tugas Rao yang terberat adalah menumpas kerusuhan rasial anti-Sikh yang meletus di seluruh penjuru negeri gara-gara pembunuhan itu. Persoalan Sikh pun juga masih akan menghantui Rao. Di tengah berbagai masalah warisan sejarah itu, sang penyair masih harus pula memikirkan kesulitan ekonomi yang semakin mencekik. Utang India saat ini diperkirakan mencapai 70 milyar dolar Amerika. Agar anggaran bisa lancar, Rao harus bisa meyakinkan Dana Keuangan Internasional (IMF) untuk mengucurkan utang dua milyar dolar lagi dalam waktu singkat. Salah satu strategi Rao, melonggarkan kontrol atas modal asing dan memaksakan penghematan besar-besaran. Jadi, kebijaksanaan Rajiv Gandhi diteruskan. "Kita tak bisa lagi membiarkan pemborosan dan inefisiensi," katanya. Segunung persoalan itu sebenarnya belum usai. Partai Kongres dan enam partai kecil sekutunya baru berhasil menguasai 242 kursi dari 511 yang diperebutkan di parlemen. Ia memerlukan 14 kursi lagi untuk menjadi mayoritas. Jika gagal, Rao, yang sekarang menjalankan pemerintahan minoritas, dalam waktu sebulan harus berhasil mendapatkan mosi kepercayaan dari parlemen. Atau, menjalin koalisi dengan partai lain. Sejauh ini belum ada partai yang menyalakan sinyal bersedia. Partai Bharata Janata sudah jelas menolak. Akan ada pemilu lagi di India? Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini