Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bukan lincoln tapi taylor

Clara rising dalam bukunya menduga kematian presi- den as ke-12, zachary taylor, akibat diracun bukan karena sakit radang perut. ia dibunuh disebabkan sikapnya yang anti perbudakan.

29 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Amerika ke-12, Zachary Taylor, yang antiperbudakan, mati diracun dengan arsenik? JIKA dugaan penulis buku Clara Rising terbukti benar, Abraham Lincoln bukan presiden AS pertama yang dibunuh. Melainkan Presiden Amerika Zachary Tylor yang meninggal 9 Juli tahun 1850- 15 tahun sebelum Lincoln ditembak. Baru-baru ini di Negara Bagian Kentucky muncul teori baru mengenai kematian Taylor. Menurut teori itu, Taylor meninggal bukan akibat sakit radang perut sebagaimana selama ini dipercaya, tapi dibunuh. Adalah Clara Rising yang mula-mula mengemukakan teori itu. "Taylor mati karena diracun," ujar Rising, yang sedang menulis buku tentang Taylor. Entah dari mana Rising sampai bisa menarik kesimpulan demikian. Yang jelas, ia berhasil meyakinkan penyelidik Richard Greathouse untuk melakukan tes kimia pada rambut, kuku, dan sampel tulang Taylor. Senin pekan lalu, kerangka Taylor yang telah terkubur selama 141 tahun itu diangkat dari makam pahlawan untuk kepentingan penelitian. Teori Rising ini didukung oleh William Maples, seorang ahli antropologi forensik dari Universitas Florida. Rising, yang telah melakukan penelitian selama 16 bulan, mencurigai seseorang telah menaruh racun arsenik dalam buah ceri yang dimakan Taylor, sehari sebelum Taylor menemui ajal. Menurut dia, Taylor dibunuh karena presiden itu menentang perbudakan di California, sebelum dimasukkan sebagai salah satu negara bagian Amerika Serikat. Jika demikian, bisa jadi yang melakukan pembunuhan adalah orang-orang yang pro Amerika Selatan. Siapa pembunuh itu? Dalam sebuah konperensi pers, Rising mengatakan bahwa Senator Henry Clay dan Wakil Presiden Millard Fillmore (serta dua politikus dari Negara Bagian Georgia) mungkin jadi pelaku pembunuhan itu. Alasannya, sehari sebelum kematian Taylor, kedua orang ini mengadakan rapat dengan Presiden mengenai perbudakan. Dalam pertemuan yang kabarnya diwarnai pertengkaran itu, Clay meminta supaya Taylor bersedia menunda keinginan untuk menghapus perbudakan di daerah Amerika barat daya. Namun, Taylor, yang sering dijuluki "si tua tetapi berguna", bukannya mundur. Bahkan ia mengancam akan angkat senjata jika negara-negara di Amerika Selatan ikut memisahkan diri. Pernyataan Rising itu dibenarkan oleh Dabney Taylor, turunan ke-12 dinasti Taylor. Menurut Dabney, memang selama ini dalam keluarganya tersebar isu bahwa jika kematian leluhurnya itu disebabkan pembunuhan, pelaku utamanya tak pelak lagi adalah Clay dan Fillmore. Ketika Taylor sakit, tambah Dabney, Clay malah meninggalkan Washington. "Saya hanya gembira bahwa akhirnya ada orang yang melakukan sesuatu," ujar Dabney. Namun, banyak pihak yang meragukan kebenaran teori itu. Salah satunya adalah Michael Baden, direktur ilmu forensik di kepolisian New York yang ikut menyelidiki kematian Presiden Kennedy. Menurut dia, arsenik adalah elemen nomor 20 di kerak bumi, karena itu tak sulit ditemukan dalam mayat yang sudah berada dalam tanah lebih dari seabad. Bisa saja, kata Baden, zat itu masuk ke dalam peti mayat yang tidak tersegel baik melalui air hujan atau tanah. Ditambahkan pula bahwa tubuh manusia mengandung arsenik dalam dosis kecil. Dalam dosis kecil, untuk mencapai kuku, rambut, dan tulang, arsenik membutuhkan waktu yang sangat lama. "Jika Taylor hanya makan sekali, arsenik tidak akan mencapai daerah itu," ujar Baden. Karena itu, Baden menyarankan kepada para penyelidik supaya mereka membandingkan kandungan arsenik di tubuh Taylor dengan kandungan arsenik pada mayat-mayat yang mati pada zaman Taylor. Seperti halnya Baden, para ahli sejarah mengejek teori Rising itu. Katanya, tak ada kesempatan bagi Clay serta Fillmore untuk meracuni Taylor sekarang ini. Tapi seandainya memang terbukti Taylor mati karena arsenik, buku sejarah Amerika harus ditulis ulang. Dan Gedung Putih harus berterima kasih kepada Rising, yang telah mengeluarkan uang US$ 1.200 untuk membetulkan sejarah Amerika itu. Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus