Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Arab Saudi pada Ahad mengutuk keputusan Israel untuk memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza saat bulan Ramadan baru saja dimulai, dan menyebutnya sebagai “instrumen pemerasan dan hukuman kolektif” serta “pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dilansir Anadolu, hal ini terjadi menyusul keputusan Israel untuk menghentikan pengiriman bantuan hanya beberapa jam setelah tahap pertama gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan antara Hamas dan Tel Aviv berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Israel untuk menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dilakukan untuk menghambat negosiasi tahap kedua yang akan memaksa Tel Aviv menghentikan perang di Gaza.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan: “Kerajaan mengutuk dan mengecam keputusan pemerintah pendudukan Israel untuk menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza, menggunakannya sebagai alat pemerasan dan hukuman kolektif.”
Pernyataan tersebut menekankan bahwa keputusan Israel merupakan “pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan serangan langsung terhadap prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional di tengah krisis kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh rakyat Palestina.”
Menanggapi penangguhan bantuan tersebut, kelompok Palestina Hamas menyebut tindakan tersebut sebagai “pemerasan murahan, kejahatan perang, dan kudeta terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata.”
Hamas mendesak para mediator dan komunitas global untuk “menekan pendudukan (Israel) dan menghentikan tindakan mereka yang bersifat menghukum dan tidak bermoral terhadap lebih dari 2 juta orang di Gaza.”
Sebelumnya, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa “mulai pagi ini, masuknya semua barang dan pasokan ke Jalur Gaza dihentikan.”
Sikap Netanyahu juga menuai kritik tajam dari keluarga sandera dan politisi Israel. Yair Golan, pemimpin oposisi Israel, Partai Demokrat, menuduh pemerintah Netanyahu menghindari negosiasi tahap kedua perjanjian tersebut.
Fase enam minggu pertama dari perjanjian gencatan senjata, yang mulai berlaku pada 19 Januari, secara resmi berakhir pada tengah malam pada Sabtu. Namun, Israel belum setuju untuk melanjutkan perjanjian tahap kedua untuk mengakhiri perang di Gaza.
Netanyahu telah berusaha untuk memperpanjang tahap pertukaran awal untuk menjamin pembebasan sebanyak mungkin tawanan Israel tanpa menawarkan imbalan apa pun atau memenuhi kewajiban militer dan kemanusiaan berdasarkan perjanjian tersebut.
Hamas menolak untuk melanjutkan kondisi ini, bersikeras bahwa Israel mematuhi ketentuan gencatan senjata dan segera memulai negosiasi untuk tahap kedua, yang mencakup penarikan penuh Israel dari Gaza dan penghentian perang sepenuhnya.
Perjanjian gencatan senjata telah menghentikan genosida Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 48.380 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan meninggalkan wilayah tersebut dalam kehancuran.
November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) karena perangnya di wilayah kantong tersebut.