PEKAN lalu, AS mengumumkan rencana penutupan kantor USAID di 21 negara Dunia Ketiga. Selain untuk menghemat biaya operasional lembaga penyalur dana pembangunan yang berkisar US$ 26 juta per tahun itu, pemerintahan Bill Clinton memandang negara-negara tersebut sudah tak perlu lagi dibantu. Sebagian, seperti Costa Rica dan Thailand, dianggap telah cukup kuat berdiri sendiri. Yang lain dianggap bahwa bantuan AS bak masuk sumur tanpa dasar, tak ada gunanya. Zaire adalah salah satu contoh yang parah. Tak kurang dari satu miliar dolar AS telah dipasok untuk memperbaiki negara bekas jajahan Belgia ini, namun perekonomiannya terus saja bobrok. Bahkan, dua tahun belakangan ini, inflasi di negara bekas penghasil intan utama dunia ini mencapai angka yang tak masuk akal: meroket sampai 7.000%. Sementara itu kurs mata uangnya namanya zaire juga merosot sampai titik terendah sejagat. Empat setengah juta zaire nilai tukarnya tak sampai satu dolar AS. Hingga, menurut artikel di The Sunday Time Magazine, diperlukan sepeti uang untuk membeli enam kaleng bir di berbagai boite (bar) di Kinshasa, ibu kota Zaire yang berudara panas, yang para pelacurnya menawarkan diri dengan sangat agresif. Kemelaratan pun menjalar bagai kanker. Kelaparan dan wabah lepra di tengah minimnya pelayanan medis adalah pemandangan sehari-hari. Sementara itu air minum, listrik, pembuangan air kotor dan transportasi umum tak keruan pengelolaannya, setiap sudut kota dicekam kejahatan dan kekerasan. Lebih jauh lagi, 40 juta rakyat Zaire yang terdiri dari 200 suku ini hidup dalam bayang-bayang hantu kerusuhan etnis yang bisa terbit setiap saat. Sejak awal tahun ini, ratusan ribu pengungsi meninggalkan permukimannya, menghindari intimidasi antarsuku yang sering juga direstui pemerintah secara terbuka. Wajah amburadul Zaire ini tak lepas dari ketidakbecusan Presiden Mobutu Sese Seko, yang selama hampir 30 tahun berkuasa, hampir tak melakukan apa-apa kecuali untuk memperkaya diri. Konon, harta pribadinya termasuk simpanan di bank-bank Swiss serta sejumlah vila dan kastil di Cote-d'Azur, Paris dan Belgia saat ini berkisar US$ 5 miliar. Atau, kurang lebih sama dengan jumlah seluruh utang luar negeri Zaire. Mobutu sempat membantah dan mengatakan bahwa kekayaannya cuma senilai US$ 50 juta. Seorang bankir AS, yang tempat Mobutu minta sejumlah besar kredit, sempat bertanya, mengapa ia tak menggunakan uang pribadi itu untuk menolong bangsanya. Jawab Mobutu, ''Tak mungkin. Mereka tak bakal mampu membayar kembali.'' Jawaban seperti ini tak terbayangkan oleh siapa pun yang pernah mengenal Mobutu di sekitar tahun 1960-an, saat kerusuhan merebak di awal kemerdekaan Zaire yang waktu itu masih bernama Kongo. Meski masih berusia 29 tahun, Colonel Joseph-Desiree Mobutu yang menjabat sebagai panglima angkatan darat tampil sebagai perwira sederhana namun penuh kharisma. Putra juru masak misi gereja ini secara licin dapat memadamkan pemberontakan tentara dan meredam ancaman kelompok gerakan kemerdekaan yang fanatik. Maklum, setelah dijajah Belgia sejak tahun 1907, sekonyong- konyong terbuka kesempatan dan siapa saja merasa berhak untuk menjadi penguasa. Mobutu berhasil mengendalikan situasi, yang hampir saja meledak menjadi banjir darah. Waktu itu Mobutu yang pernah menjadi wartawan ini seperti tak hendak berkuasa. Setelah suasana agak tenang, ia mengembalikan kekuasaan pada sipil yang dipimpin Perdana Menteri Patrice Lumumba dan Presiden Joseph Kasavubu. Kepiawaian Mobutu ini membuat AS jatuh hati dan mengharapkannya dapat menjadi benteng menghadapi komunisme di kawasan jantung Afrika. Lebih jauh lagi, mengikat Zaire yang kaya mineral (uranium dari Zaire yang digunakan AS untuk membuat bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II). Maka begitu pecah perang saudara di Zaire pada tahun 1965, CIA menyokong Mobutu dengan dana besar-besaran agar menang. Mobutu memang menang dengan mudah. Dengan dukungan penuh dari tentara, ia naik tahta. Dan segera ketahuan bagaimana watak sebenarnya: empat pemimpin politik sipil dihukum mati setelah diadili selama lima menit. Lalu ia memerintahkan 14 perwira yang membantunya dalam kudeta dijatuhi hukuman mati, penjara, dan pengasingan. Waktu itu, sebagian orang menilai tindakannya sebagai akibat dari pengalaman buruk kacaunya kehidupan politik yang diwarisi Mobutu. Sebagian lagi sudah menganggap itu awal Mobutu sebagai tiran. Yang pasti, sejak saat itu Mobutu menjadi penguasa yang tak segan-segan memakai tangan besi. Pemberontakan demi pemberontakan dilindasnya dengan dukungan AS di balik layar, termasuk 15.000 tentara pribadinya yang dilatih di Israel dan digaji lebih tinggi dari serdadu Zaire biasa. Tahun 1990 Mobutu mengangkat Tshisekedi, pengacara yang pernah dicekalnya, sebagai perdana menteri. Ini disambut hangat oleh rakyat dan Barat. Waktu itu, sang diktator memang diketahui berencana untuk menghidupkan kembali demokrasi di negerinya. Konon, niatnya ini muncul setelah terkesima di depan TV yang menayangkan hukuman mati atas teman lamanya, Presiden Rumania Nicolae Ceaucescu. Rupanya Tshisekedi tak sejalan dengan presidennya. Suatu kali ia mencecar Banque de Zaire dengan serangkaian pemeriksaan. Padahal bank sentral ini adalah kasir pribadi Mobutu. Segera Mobutu menyuruh Tshisekedi mundur dari jabatan. Tshisekedi membandel, meski Mobutu sudah menunjuk orang baru, Nguza Karli-Bond. Seperti juga Tshisekedi, ia pernah jadi pembangkang Mobutu. Bahkan sebelum buron ke luar negeri dan mempromosikan Mobutu sebagai ''persis Idi Amin cuma lebih pintar'', Nguza sempat dipenjarakan dan disiksa sampai impoten. Jadi mengapa Nguza mau menerima tawaran Mobutu? Tak seorang pun di Zaire tahu jawabannya. Yang jelas, di kalangan diplomat, dengan dua perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, Kinshasa saat ini jadi tampak seperti dagelan. Mungkin hal ini juga yang membuat Clinton merasa risi terhadap Mobutu. Meskipun tak mudah untuk menggesernya. Bagi CIA, Mobutu adalah anak emas. Jasanya dalam membantu operasi-operasi rahasia AS di tengah perang saudara di Angola, negara tetangga yang dekat dengan Fidel Castro dari Kuba, membuat Mobutu tak bisa dilupakan begitu saja. Sikap AS mengurangi bantuannya bisa jadi didasari keinginan untuk menghukum ketakbecusan Mobutu mengurus negaranya. Tapi mungkin juga karena sejak rontoknya komunisme di Uni Soviet, negara boneka seperti Zaire ini sudah tak penting lagi bagi AS. Cukup mengherankan, Mobutu sempat bergumam, ''Aku adalah korban terakhir dari Perang Dingin.'' Yang pasti, rakyat Zaire jauh menderita daripadanya karena ketiranannya. Mungkinkah dicabutnya USAID dari Zaire akan menolong menyadarkan Mobutu? Atau mendorong rakyat Zaire menggulingkannya? Kemungkinan kedua tampaknya lebih mungkin.Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini