NAMANYA Huang Ho, artinya Sungai Kuning. Dia kelihatan seperti turunan naga.'' Ini adalah petikan lagu Cina kuno Kami Adalah Turunan Naga. Rabu malam pekan lalu, lagu Mandarin itu dinyanyikan dengan fasih oleh sekitar seribu taipan Cina dari 160 negara dalam penutupan Konvensi Internasional Pengusaha Cina Sedunia II, di Hong Kong. Seperti diketahui, ini bukan pertemuan biasa. Mereka yang datang adalah pengusaha kakap peringkat atas di negaranya. Misalnya Suhargo Gondokusumo (Grup Dharmala, Indonesia), Robert Kuok (konglomerat yang kabarnya nomor tiga terkaya di ASEAN, punya jaringan bisnis di Cina dan puluhan negara lain), Henry Fok Ying (pemilik jaringan lembaga keuangan, hotel, dan feri). Tak jelas, apa hasil pertemuan itu. Ide untuk menghimpun pengusaha Cina di rantau dalam satu organisasi belum diterima. Para peserta lebih menyukai bentuk konvensi, yang mereka rasa lebih longgar. Tapi, kalaupun tak ada organisasi, tak lalu suatu guanxi, atau koneksi kerja antar-pengusaha Cina, dalam hal ini yang di rantau, tak terbentuk. Bagi lingkungan bisnis Cina, guanxi memang ibarat nyawa: dengan prinsip saling percaya dan kemauan saling menolong, bisnis menjadi lancar dan tak birokratis. Bukan rahasia lagi betapa kuatnya jaringan bisnis antar-Cina di perantauan. Di Hong Kong, misalnya, penguasa perdagangan tekstil adalah orang Cina dari Shanghai. Mereka adalah orang yang terusir dari Cina Daratan oleh komunis, pada tahun 1940. Berkat keuletan dan kerja sama, mereka menjadi pengusaha tekstil sukses. Solidaritas antar-Cina yang lain kelihatan ketika pemerintah Taiwan melarang penjualan emas dan mengharamkan pembelian valuta asing. Larangan ini dengan gampang dilompati oleh pedagang Cina, karena mereka punya kawan satu suku di luar negeri yang bersedia menolong. Mungkin, melihat keberhasilan guanxi itu, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, mengajak para peserta konvensi untuk mempertahankan nyawa bisnis Cina ini. Hanya, kali ini, guanxi tidak hanya melibatkan satu suku, tapi semua Cina di perantauan. ''Selama ini kaum bisnis Hindu, Islam, dan Yahudi sudah punya jaringan bisnis. Jadi, apa salahnya kalau kita melakukan hal yang sama?'' kata Lee dalam pidato pembukaan konvensi. Cara paling mudah yang diajukan oleh Lee adalah dengan membuat database mengenai profil pengusaha Cina di seluruh dunia, yang akan membuat kerja sama antarpengusaha keturunan Cina lebih efisien. Ucapan Lee ini langsung disambut oleh Kamar Dagang Cina-Singapura. Seusai konvensi, ketua Kadin Cina- Singapura mengumumkan, pihaknya akan membuat jaringan komputer yang bisa menghubungkannya dengan pengusaha keturunan Cina di seluruh dunia. Jaringan ini, yang juga direncanakan bisa menggunakan bahasa Cina, diharapkan rampung pada tahun 1995 nanti. Sudah banyak yang meramalkan, dan cemas, etnis Cina akan menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Di Indonesia, seperti terungkap dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi pekan lalu, sepuluh konglomerat menguasai 30% produk domestik bruto Indonesia. Di Thailand, dengan jumlah Cina perantau hanya 10% dari jumlah penduduk, mereka menguasai sekitar 90% aset pabrik dan hampir separuh aset perbankan. Bila itu berlanjut, boleh jadi perumpamaan Cina kuno tak lagi berlaku: orang Cina ibarat pasir dalam mangkuk, kelihatannya satu tapi tak bisa bersatu. Liston P. Siregar (Hong Kong), Iwan Q.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini