Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Aturan Tidak Pasti Jadi Tantangan Masuknya Investor Korea Selatan ke Indonesia

Ada beberapa tantangan yang dialami pemerintah asing, terutama Korea Selatan ketika hendak berinvestasi di Indonesia. S

29 Desember 2024 | 15.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan (pegang mic) pada Workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea dari Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia di Jakarta 9 Desember 2024/FPCI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Yonsei University, Ko YoungKyung mengatakan ada beberapa tantangan yang dialami pemerintah asing, terutama Korea Selatan ketika hendak berinvestasi di Indonesia. Salah satu yang menghambat adalah soal aturan yang tidak tentu. "Tiga hal yang menjadi tantangan. Pertama regulasi dan kebijakan yang tidak pasti, masalah kepercayaan, dan kurangnya infrastruktur penunjang," kata Ko YoungKyung dalam Workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea dari Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia di Jakarta awal Desember 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ko YoungKyung mengatakan regulasi yang tidak pasti membuat para pengusaha Korea Selatan jadi tidak yakin untuk menanam investasi dalam jumlah besar dan jangka panjang ke tanah air. Salah satu kebijakan yang menurutnya cukup memyulitkan investor Korea dalam berinvestasi ke Indonesia adalah meningkatnya kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dari 40 menjadi 60 persen. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia pun menilai kebijakan relaksasi pajak kendaraan listrik lebih menguntungkan pembuat kendaraan listrik asal China dari pada perusahaan Korea yang sudah membangun pabrik di Indonesia. Belum lagi ketika ada tawaran untuk melakukan investasi ke Ibu Kota Nusantara (IKN). "Kurangnya infrastruktur di IKN jadi penghalang bagi investor Korea," katanya. 

Korea Selatan, kata Ko YoungKyung, lebih banyak berinvestasi ke Vietnam. Salah satu perusahaan Korea yang cukup lama berinvestasi di Vietnam adalah Samsung Electronics, yaitu sejak 1996. Bahkan risetnya pun sudah dilakukan sejak 1980an.

Sebenarnya Indonesia, kata Ko YoungKyung memiliki beragam faktor untuk menarik minat perusahaan Korea Selatan menanamkan modalnya. Beberapa faktornya adalah masih banyaknya sumber daya alam di Indonesia, seperti nikel, batu bara, dan juga kayu. Ia pun meyakini biaya produksi di Indonesia sangat kompetitif. 

Ko YoungKyung pun melihat bahwa 275 juta penduduk Indonesia pun bisa memperluas pasar produk Korea Selatan. Masyarakat dengan pedapatan menengah ke atas pun semakin berkembang. Terakhir, jumlah generasi Z dan generasi milenial yang banyak ada di Indonesia mencari produk-produk yang sedang tren. 

Ko YoungKyung pun memberikan beberapa saran untuk menarik lebih banyak investor dari negeri ginseng. Pertama, pentingnya pemimpin tertinggi kedua negara membangun kepercayaan dalam dialog seperti di Presidential Summits. "Perlunya konsistensi kebijakan dan memberikan komunikasi yang jelas bila ada perubahan," katanya. 

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan menanggapi tentang isu ketidakpastian kebijakan itu. Menurutnya, salah satu alasan terjadinya ketidakkonsistenan kebijakan dan regulasi karena Indonesia masih menjadi negara berkembang. "Hal tersebut kerap terjadi di negara-negara berkembang. Sebab, kadang terjadi hal-hal baru dan belum ada aturannya," katanya.

Dia mencontohkan penyimpanan dan penangkapan karbon yang awalnya belum diatur di Indonesia. Ketika regulasi dibuat, ada pengaruh pada aturan perundang-undangan lain seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Hal itulah yang kadang dinilai sebagai ketidakpastian kebijakan. “Kami pasti akan terus memperbaiki regulasi. Misalnya aturan terkait artificial intelligence (AI). Termasuk kejahatan dalam penggunaannya,” kata Ichwan

Menurut Ichwan, data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM mencatat lima negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Posisi pertama ditempati Singapura dengan nilai investasi sebesar 14,35 miliar dolar AS (sekitar Rp 228 triliun), disusul Hong Kong dengan 6,06 miliar dolar AS (Rp 96,4 triliun), China sebesar 5,78 miliar dolar AS (Rp 91,9 triliun), Amerika Serikat 2,82 miliar dolar AS (Rp44,8 triliun), dan Malaysia dengan 2,72 miliar dolar AS (Rp43,2 triliun).

Korea Selatan menempati posisi ketujuh sebagai negara asal investor terbesar bagi Indonesia pada 2023 dan 2024. Tahun lalu, investasi dari Korea Selatan mencapai 2,5 miliar dolar AS (sekitar Rp39,7 triliun). Sementara itu, sepanjang Januari hingga September 2024, nilai investasinya sudah mendekati 2,4 miliar dolar AS (sekitar Rp38,1 triliun).

Menurut Ichwan, ada banyak peluang bagi investor Korea Selatan pada sembilan sektor prioritas pemerintah saat ini. "Sembilan sektor itu adalah energi baru terbarukan, hilirisasi industri, ketahanan pangan, dan semikonduktor. Selain itu ekonomi digital dan pusat data, industri manufaktur berorientasi ekspor, kesehatan, serta pendidikan dan vokasi," katanya.

Ichwan menyebutkan, pemerintah melakukan sejumlah upaya untuk mengundang investasi langsung (FDI) dari sejumlah negara, termasuk Korsel. Misalnya membangun sumber daya manusia yang mumpuni dan penguasaan teknologi yang sesuai. Pemerintah pun terus mendorong pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Mitra Tarigan

Mitra Tarigan

Menulis gaya hidup urban untuk Koran Tempo dan Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus