POLITIK gaya Filipina dalam prakteknya bisa sangat mencekam, sangat kejam, dan terkadang remang-remang. Hura-hura bukan tidak ada, fitnah dan cerca perkara biasa. Tapi belakangan ini isu kudeta kian populer saja hingga merupakan "trend baru" dalam politik negeri itu. Kastaf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Fidel Ramos dalam keterangannya awal pekan ini mengakui bahwa militer memang diinstruksikan siaga penuh karena "pemberontak Muslim MILF sudahmenyusup ke Manila." Tidak heran jika suasana November lalu terulang: Istana Malacanang dikawal pasukan lapis baja, tentara tampak berseragam tempur di mana-mana. Desas-desus kudeta dengan cepat beredar, sementara Cory masih berada di Mindanao. Ia bukan tidak diperingatkan agar jangan meninggalkan Manila. Tapi presiden Filipina ini tetap bertolak ke selatan, justru di saat pemberontak Muslim MILF (Moro Islamic Liberation Front) sedang mengamuk di kawasan itu. Dengan demikian, lengkap sudah persyaratan untuk mencetuskan isu kudeta: Manila kosong tanpa Cory, militer siaga penuh, dan pemberontak mengganas di selatan. Tidak cuma itu. Harian Business Day melansir berita tentang adanya gerakan militer besar-besaran di kampung kelahiran Marcos dan Enrile, yaitu di Ilocos Norte dan Cagayan. Manuver itu kemudian berujung pada instruksi "siaga penuh" demikian Business Day. Ditambahkannya, pertemuan rahasia Sabtu malam yang berlangsung antara Ramos dan dua perwira pro-Enrile, tak lain dimaksudkan untuk mencegah kudeta. Di samping itu, ada pula pernyataan dari Mayor Efren Arayata yang dikutip koran The Manila Chronicle. Arayata menyatakan bahwa sebuah percobaan kudeta oleh militer sayap kanan telah dirontokkan karena rencananya sempat ketahuan. Versi Menhan Rafael Ileto lain lagi. Katanya, siaga penuh terpaksa diberlakukan karena adanya ancaman telepon gelap yang mengungkapkan rencana peledakan radio Gereja Katolik Veritas. Jubir militer Kolonel Honesto Isleta tidak mau kalah. Militer harus siaga penuh ujar Isleta, supaya tindak kekerasan di Mindanao tidak menjalar ke Manila. Tak pelak lagi, kesimpangsiuran informasi seperti itu cepat menambah runyam suasana. Dan ini betul-betul khas Manila. Di tengah situasi rawan begitu, tiba-tiba Jenderal Ramos dengan tenangnya berkata, "Instruksi siaga sudah dicabut kemarin (Senin pekan ini) karena situasi telah kembali normal." Maksudnya? Mungkin sekadar mengisyaratkan bahwa Manila aman, terutama karena Cory sudah berada kembali di Manila Ahad kemarin. Benarkah ada percobaan kudeta? Sebegitu jauh hanya pihak militer yang bisa menjawabnya. Yang pasti, isu kudeta tidak lagi menakutkan seperti dulu, ketika Juan Ponce Enrile masih bertugas sebagai menhan. Sebaliknya, isu itu berubah menjadi hiburan, sementara pihak-pihak tertentu tidak ambil pusing sama sekali. Kelompok loyalis Marcos, misalnya, malah menyajikan hiburan murah cuma-cuma yang mengambil tempat di pusat Kota Manila. Hari Minggu baru lalu mereka membakar boneka Cory dalam gaya hura-hura yang sangat bebas merdeka. Lagi satu unjuk rasa, sekadar menunjukkan betapa kerasnya mereka menolak rancangan konstitusi yang diprakarsai pemerintahan Cory. Anehnya, dalam penolakan ini mereka tidak sendiri. Di samping kelompok loyalis - dengan Enrile sebagai pemimpin dan ujung tombak - pemberontak komunis NPA dan separatis Muslim bangsa Moro juga sama-sama menolak. Alasan mereka tentu saja berbeda tapi lawan yang dihadapi satu jua: pemerintahan Corazon Aquino. Menarik untuk dicatat bahwa dalam kampanye no yang mereka galakkan, tidak satu pihak pun berani menyerang pribadi Cory. Enrile mengecam keras pemerintahan revolusioner Cory, yang dicapnya sebagai diktator. Tanpa ragu Enrile malah melancarkan tantangan. "Jika dalam revolusi Februari kita berhasil menggulingkan diktator (maksudnya Marcos), tidak ada alasan bagi kita sekarang untuk tidak melakukannya sekali lagi." Enrile sejak mula memang mengunggulkan konstitusi 1973 warisan Marcos tapi dalam penilaian banyak orang penolakannya itu semata-mata bertolak dari niat menjatuhkan pemerintahan Cory. Pada saat yang sama, ia bersiteguh agar pemilu presiden diulang, tentu dengan perhitungan bahwa kala itu terjadi, Enrile pasti mencalonkan diri. Pemberontak komunis menolak konstitusi Cory, karena beberapa pasal yang meragukan, misalnya yang menyangkut landreform dan basis militer AS di Clark dan Subic. Penolakan mereka tidak gegap gempita seperti Enrile, tapi tidak kurang dampaknya. Mengapa? Soalnya, penolakan itu terselubung dalam sikap "kepala batu" di perundingan, suatu kenyataan yang bukan saja menimbulkan frustrasi di kalangan pemerintah, tapi juga dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh siapa lagi kalau bukan Enrile. Sembari berceloteh tentang percobaan kudeta, ia mendesiskan ucapan berbisa. "Apa yang akan kita tempuh jika gencatan senjata berakhir 8 Februari nanti tanpa tercapai satu penyelesaian antara pemerintah dan komunis?" Desis ini tak sempat dihiraukan Cory karena ia sibuk menggalakkan kampanye yes untuk konstitusi dan harus membagi perhatian bagi kelompok separatis MILF. Dipimpin Hashin Salamat - kini berada di Arab Saudi - gerilyawan MILF tiba-tiba menanas di Mindanao, khususnya di sekitar Cotabato. Selama satu minggu bentrok senjata dengan militer, jatuh korban 56 tewas, 70 luka-luka. Semua itu dimaksudkan untuk menggugat pemerintah di Manila yang selama ini cuma mau berunding dengan kelompok MNLF, yang dipimpin Nur Misuari. Cory mengutus penasihatnya - bekas Menteri Aquilino Pimentel - untuk berunding dengan pemimpin no. 2 MILF, Haji Sultan Kudarat. Dalam pembicaraan singkat Sabtu lalu, kedua pihak setuju memberlakukan gencata senjata, yang dalam prakteknya masih harus lebih dulu disetujui oleh Hashim Salamat. Aquilino waktu itu menyatakan, "Daerah kekuasaan MILF masih harus dirumuskan lagi." Di pihak lain MILF bertahan pada dua tuntutan: merundingkan otonomi untuk minoritas Muslim, yang pengaturannya diserahkan pada OKI (Organisasi Konperensi Islam), dan perundingan perdamaian pemerintah--MILF dengan mengambil tempat di luar Filipina. Soal otonomi bagi minoritas Islam sepenuhnya didukung pemerintahan Cory, juga dijamin dalam rancangan konstitusi baru. Tapi tokoh-tokoh Muslim bertanya, "Konstitusi yang bagaimana?" Kelompok Moro terkuat di bawah Nur Misuari mungkin punya konsep sendiri, MILF demikian pula. Belum lagi kelompok sempalan Muslim yang dipimpin Dimas Pudanto. Di samping itu, masyarakat Kristen Mindanao mulai menunjukkan keresahannya. Mengapa? Kalau hak otonomi diberikan pada separatis Muslim di pulau itu, bagaimana nasib orang-orang Kristen yang merupakan mayoritas pada hampir dua pertiga wilayah Mindanao? (Tentang konsentrasi mayoritas Muslim di Mindanao silakan lihat peta). Belum ada tanda-tanda bahwa Manila punya kunci pamungkas untuk menjinakkan "bom waktu Islam" dan "bom waktu Mindanao" yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sekalipun begitu, Cory yakin bahwa segala macam keruwetan bisa lebih mudah diatasi, asalkan mayoritas rakyat bilang "yes" pada rancangan konstitusi. Isma Sawitri, Laporan Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini