Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah sebabnya Atti menggantungkan nasib pada hasil pemilihan umum parlemen Irak, Senin pekan silam, agar pemilihan itu bisa membawa perubahan di negeri berpenduduk 20 juta jiwa itu. ''Mudah-mudahan parlemen berisi orang-orang baik sehingga bisa menyelamatkan negara, menghapus embargo," kata Atti.
Harapan Atti hanya tergantung pada sikap 220 anggota Dewan Nasional yang dipilih oleh 8,5 juta warga Irak dan 30 kursi di wilayah Kurdistan, Irak Utara, yang kemudian ditentukan oleh Presiden Saddam Hussein.
Menurut hasil pemilu yang dihitung pada Selasa pekan silam, ternyata Partai Baahtpartai yang berkuasa dan satu-satunya partaimenguasai parlemen.
Bahkan, Jaileni Uday bin Saddam Hus-sein, putra sulung Presiden Saddam Hussein yang baru menjadi anggota parlemen (lihat boks: Uday, berjalan dengan Sepatu Ayah?), dijagokan menjadi juru bicara parlemen, yang posisinya sekuat perdana menteri.
Dari hasil itu, tampaknya perubahan di dalam negeri Irak masih jauh dari harapan warga macam Atti. Posisi Saddam tetap kuat dengan para loyalis yang mengelilinginya. Hal itu tampaknya sudah dibaca oleh negara Barat. Amerika Serikat, misalnya, sama sekali tidak melontarkan komentar terhadap hasil pemilu Irak.
Apa arti semua itu? Artinya, rakyat Irak masih harus hidup dalam kemiskinan akibat embargo ekonomi. Atti, misalnya, hanya mendapat US$ 10 per bulan dari hasil penjualan barang-barang loak, sementara untuk kebutuhan berobat anaknya yang menderita leukemia, ia membutuhkan US$ 100 per 20 hari. Menurut The Economist, ahli-ahli komputer dan insinyur elektronik di Baghdad hanya bisa bekerja sebagai sopir taksi. ''Hidup sangat buruk," tutur seorang ilmuwan yang pengangguran.
Pada akhirnya, embargo ekonomi PBB, terutama sikap bermusuhan AS, malah berhasil menumbuhkan sikap anti-AS yang kuat dan dukungan terhadap Saddam. Rakyat Irak seolah merasa lebih ''nyaman" di bawah Saddam. Ketika Saddam menawarkan untuk membentuk partai alternatif selain Baaht pada 1991, misalnya, rakyat Irak menolak. Rakyat Irak khawatir, pengaruh AS akan masuk dengan mudah melalui partai oposisi, seperti yang terjadi pada sebuah partai oposisi Irak yang ''hidup" di Inggris. Bahkan, 99,96 persen rakyat Irak mendukung kandidat tunggal presidenyaitu Saddampada 1995. Untuk menunjukkan kesetiaan, beberapa kelompok militansi Irak berlomba menjatuhkan pesawat AS dan sekutunya yang melintas di atas langit Irak dengan ''upah" US$ 14 ribu (hampir Rp 100 jutaRed) per pesawat tempur dari Saddam. Bahkan, ribuan rakyat Irak rela tinggal di istana Saddam ketika AS dan sekutunya membombardir Baghdad tiga tahun silam.
Begitu ''sucikah" Saddam di mata rakyat Irak? Sulit untuk menyimpulkannya. Yang jelas, hukuman embargo yang dijatuhkan PBB memiliki alasan yang kuat. Irak menjadi penyulut Perang Teluk (1990) dengan menyerang Kuwait, dan Irak diduga keras memiliki instalasi nuklir dan senjata-senjata kimia dan biologi yang mematikan. Selain itu, rezim Saddam juga membantai etnis Kurdi dan Turkomanetnis minoritas di Irakdan menurut laporan Human Rights Watch, rezim Saddam dengan program ''pembersihan penjara" menembak mati ribuan tahanan politik sejak 1997.
Di pihak lain, ambisi AS untuk menjatuhkan Saddam tampaknya telah menjadi bumerang. Negara-negara Arab, yang tadinya ketakutan atas invasi Irak, perlahan berbalik mendukung Irak. Itu pun terjadi pada negara bagian dunia lainnya. Menurut The Economist, Baghdad sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan datangnya para pengusaha dari negara-negara Barat yang merayu pemerintah Irak untuk diizinkan berinvestasi. ''Hubungan lama telah terjalin kembali," demikian ditulis The Economist.
Dengan kondisi demikian, tak aneh jika Saddam dan kroninya tidak tersentuh oleh embargo AS. Saddam tentu bisa bertahan hidup, tetapi rakyat Irak seperti Atti? Mungkin itu belum terpikirkan.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo