Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu, mesti dibuang ke mana? Tenang. Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah tengah menyiapkan tangki kotoran raksasa untuk warga Jakarta. Dari rumah-rumah penduduk, kotoran itu digelontor lewat jaringan pipa-pipa yang bermuara di sebuah waduk di Setiabudi, Jakarta Selatan. Di waduk inilah rombongan "hajat" warga itu diproses. Yang padat dipisahkan dari yang cair, sampai airnya layak dibuang ke sungai.
Proyek senilai Rp 1 triliun itu kini sedang memasuki penawaran tender. Sebanyak 11 perusahaan yang lolos prakualifikasi pekan ini mulai bertarung untuk memperebutkan proyek pemipaan "ampas" publik itu. Diharapkan, pembangunan proyek raksasa ini sudah bisa dimulai bulan depan. Dan akhir tahun 2001, kelompok tergelontor alias "kloter" pertama dari pup-pup massal itu sudah bisa diproses di Setiabudi.
Kloter pertama? Persisnya tidak begitu. Sejak lima belas tahun lalu, Jakarta sebenarnya sudah memiliki sistem pengangkutan kotoran massal melalui pipa seperti ini. Cuma, pipa sepanjang 57 kilometer itu baru terpasang di wilayah sekitar Setiabudi dan Tebet. Jaringan pipa ini baru melayani buangan hajat sekitar 220 ribu warga yang hidup di dua kawasan itu.
Untuk memperbesar jaringan yang sudah ada, digelarlah proyek pipa-ampas Rp 1 triliun itu tadi. Dengan memakai dana pinjaman pemerintah Jepang, jaringan "usus" diperbesar ke sepanjang jalan Rasuna Said, Gatot Subroto, dan Sudirmansebuah kawasan kelas satu Jakarta. Di daerah emas yang disesaki gedung bertingkat itu, tingkat kepadatan penduduknya lebih dari 300 orang per hektare. Menurut Direktur Perusahaan Pengolahan Air Limbah Jakarta, Suharto, di daerah superpadat seperti itu, pembangunan tangki kotoran massal sudah tak bisa ditunda lagi.
Proyek pipanisasi pup ini dibangun untuk mengurangi tingginya pencemaran sungai. Menurut Suharto, resapan tangki kotoran itu banyak yang dibuang ke selokan, yang akhirnya terjun ke kali. Limbah penuh bakteri ini akan membuat sungai di Jakarta seperti gudang penyakit yang siap meledak.
Selain itu, limbah organik ini juga menghabiskan kadar oksigen dalam air sungai dan selokan. Menurut penelitian Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah, tingkat kebutuhan oksigen makhluk hidup alias biological oxygen demand di got-got Jakarta telah meningkat menjadi 65 miligram per liter, dua kali lipat dari ambang yang bisa ditoleransi.
Dengan pipanisasi ini, tak ada lagi resapan tangki yang bocor ke sungai. Semua rumah dan gedung yang dilintasi wajib menyalurkan ampasnya ke jaringan. Mereka akan dikenai tarif pemasangan dan iuran bulanan yang dihitung berdasarkan luas dan fungsi bangunan. Industri rumah tangga seperti tekstil, misalnya, dikenai iuran bulanan 10 kali lipat iuran rumah tangga. Bagaimana dengan yang tak punya kakus? Di sekitar daerah yang dilewati pipa akan dibuat kakus massal. Pemakainya akan ditarik biaya saban kali buang hajat.
Apakah mereka akan rela membuang uang untuk barang terbuang seperti itu? Seorang pengelola gedung yang dilintasi jaringan pipa mengaku diuntungkan. Untuk membangun penjernihan air sendiri, mereka menghabiskan ongkos hingga Rp 1 miliar. "Belum lagi biaya perawatan dan upah untuk operatornya," kata pengelola limbah Gedung Sentra Mulia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Namun, seorang pemilik rumah di kawasan yang sama dengan tegas menolak rencana pipanisasi pup ini. Ia mempersoalkan septic tank pribadinya yang kelak bakal menganggur. "Masa, berak di rumah sendiri harus bayar?" katanya.
Selain soal ongkos yang bisa mencekik perut, proyek ini bisa juga menyebabkan bau yang mencekik hidung. Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya aroma di seputar kawasan Setiabudi karena "gudang emas" itu akan dibiarkan ngablak alias terbuka .
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo