Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rusuh Tak Usai di Belarus

Unjuk rasa menentang kemenangan Alexander Lukashenko dalam pemilihan Presiden Belarus diwarnai kerusuhan berdarah. Uni Eropa menolak hasil pemilihan yang diduga dicurangi.

22 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demonstran yang terluka usai mengikuti aksi menentang hasil Pemilu Presiden Belarusia, di Minsk, Belarusia, 10 Agustus 2020./ Reuters/Vasily Fedosenko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alexander Lukashenko menang lagi dalam pemilihan umum Presiden Belarus.

  • Lukashenko sudah berkuasa selama 26 tahun berturut-turut di negeri itu.

  • Unjuk rasa menolak hasil pemilihan terus berlangsung dan berubah menjadi kerusuhan.

RIUH rendah suara klakson kendaraan bersahutan di pusat Kota Minsk, Belarus, sepanjang Ahad, 9 Agustus lalu. Ribuan orang turun ke jalan mengikuti unjuk rasa. Mereka memprotes kemenangan Alexander Lukashenko dalam pemilihan presiden hari itu. Komisi Pemilihan Umum Belarus menetapkan Lukashenko, yang sudah berkuasa selama 26 tahun, kembali terpilih sebagai presiden dengan perolehan 80 persen suara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demonstrasi itu berujung rusuh ketika para demonstran bentrok dengan polisi dan tentara. Seorang warga Indonesia di Minsk mengatakan para petugas keamanan melontarkan gas air mata dan granat kejut untuk membubarkan massa. Lewat tengah malam, keributan itu tak juga berhenti. Polisi dan tentara terus berkeliaran di jalan. “Helikopter berseliweran di atas kota,” ujar warga Indonesia yang meminta namanya tak diungkap itu kepada Tempo, Selasa, 18 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerusuhan terus berlangsung hingga keesokan harinya. Situasi makin runyam karena jaringan Internet dimatikan. Layanan komunikasi dibatasi pada akses telepon dan pesan pendek. Informasi tentang kondisi kota dan perkembangan demonstrasi sulit didapatkan. Berita hanya ditayangkan di stasiun televisi lokal.

Ketika jaringan Internet kembali normal pada 12 Agustus, berbagai foto dan video tentang unjuk rasa dan kekerasan polisi beredar luas. Situs berita independen Rusia, Mediazona, melaporkan banyak pengunjuk rasa yang terluka parah. Setidaknya dua orang dilaporkan tewas. Reuters melaporkan lebih dari 6.000 orang ditahan polisi.

Alexander Lukashenko mengalahkan tokoh sentral oposisi, Svetlana Tikhanovskaya, yang memperoleh 9,9 persen suara. Hasil pemilihan umum itu mendadak sontak memantik rangkaian unjuk rasa besar. Kubu oposisi menuding rezim Lukashenko mencurangi pemilihan.

Unjuk rasa serupa, seperti dilaporkan The Guardian, terjadi di 20 kota lain di negeri itu. Puncaknya, 100 ribu orang lebih berpawai dengan membawa panji dan bendera merah-putih, yang menjadi simbol gerakan oposisi, berkumpul di pusat Kota Minsk pada 16 Agustus lalu. Jumlah mereka lebih dari dua kali lipat pendukung Lukashenko, yang juga berkumpul di sana.

Meski diprotes, Lukashenko bergeming. Berkuasa lebih dari dua dekade membuat posisinya begitu kuat. Apalagi Tikhanovskaya menjadi satu-satunya lawan yang tersisa setelah pesaing lain, seperti Viktor Babariko dan Valery Tsepkalo, mundur. Babariko ditahan bersama sejumlah demonstran penentang Lukashenko. Adapun Tsepkalo melarikan diri ke Moskow sebelum pemilihan setelah menerima kabar bahwa polisi bakal menangkapnya.

Kemunculan Tikhanovskaya awalnya menjadi angin segar bagi kubu oposisi. Mantan guru bahasa Inggris itu maju menjadi kandidat presiden menggantikan suaminya, Sergei Tikhanovsky. Menurut laporan Amnesty International, Sergei Tikhanovsky bersama sejumlah koleganya ditahan polisi pada Mei lalu dengan dakwaan mengganggu ketertiban umum. Saat itu, ia sedang mengumpulkan tanda tangan dukungan bagi pencalonan istrinya sebagai presiden.

Tekanan terhadap Tikhanovskaya berlanjut seusai pemilihan. Dia terpaksa kabur ke Lituania setelah muncul ancaman yang dinilai membahayakan keluarga dan putrinya. “Saya berharap Anda tidak menghadapi situasi seperti ini,” kata Tikhanovskaya dalam video yang beredar tiga hari seusai pemilihan. “Anak-anak adalah hal terpenting dalam hidup kita.”

Perlawanan tidak berhenti. Aktivis politik dan sekutu Tikhanovskaya, Veronika Tsepkalo, berencana bertemu dengan sahabatnya di Lituania. Veronika adalah istri Valery Tsepkalo, politikus yang terpaksa lari ke Polandia karena tekanan rezim Lukashenko. Veronika akhirnya berkumpul kembali dengan suaminya di Warsawa, Polandia. “Satu-satunya presiden yang sah adalah Svetlana Tikhanovskaya. Target kami selanjutnya adalah membuat Lukashenko pergi,” tutur Tsepkalo kepada Reuters, Kamis, 20 Agustus lalu.

Uni Eropa pun menyatakan dukungannya kepada warga Belarus untuk mendapatkan hak demokrasinya. Organisasi negara-negara Eropa itu tidak mengakui hasil pemilihan umum tersebut serta mengultimatum akan menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang terlibat dalam kecurangan pemilihan dan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa. “Uni Eropa mendukung warga Belarus dan kami tidak bisa menerima impunitas,” kata Presiden Dewan Eropa Charles Michel, seperti dilaporkan Associated Press pada Rabu, 19 Agustus lalu.

Alexander Lukashenko sejak awal membantah ada kecurangan dalam pemilihan umum. Dia juga menegaskan tak bakal ada pemilihan ulang. Eskalasi unjuk rasa di sana meningkat lagi setelah Lukashenko memerintahkan polisi meredam aksi massa. Kantor berita Belarus, Belta, melaporkan bahwa Lukashenko telah memerintahkan agar segala keributan di Minsk segera diakhiri. “Masyarakat sudah letih, mereka ingin kedamaian dan ketenangan,” ujar Lukashenko.

Lukashenko telah mengantongi dukungan besar dari Moskow. Presiden Rusia Vladimir Putin, seperti dilaporkan kantor berita Rusia, TASS, menawarkan bantuan militer jika diperlukan. Hal itu terjadi setelah Lukashenko dan Putin berdiskusi lewat telepon pada Sabtu, 15 Agustus lalu. “Kami bersepakat, bantuan menyeluruh akan disediakan untuk menjamin keamanan Belarus,” kata Putin.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MEDIAZONA, TUT.BY, THE MOSCOW TIMES, BBC, THE GUARDIAN, FOREIGN POLICY)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus