Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Duterte menyiasati konstitusi Filipina dengan maju sebagai calon wakil presiden.
Sara Duterte, putrinya, menjadi kandidat presiden terkuat dalam jajak pendapat.
Duterte terancam diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional.
PRESIDEN Filipina Rodrigo Duterte menerima dengan wajah sumringah pencalonan dirinya sebagai wakil presiden untuk pemilihan umum pada Mei 2022. Nominasi itu diumumkan Partai Demokratik Filipina-Kekuatan Rakyat (PDP-Laban) dalam pertemuan partai pada Rabu, 8 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semoga kita tidak dihalangi oleh orang-orang yang hanya mengejar keuntungan politik pribadi dan, sebaliknya, menyelaraskan kembali diri kita dengan tujuan-tujuan partai. Saya yakin, dengan ketetapan hati dan solidaritas yang kuat, kita sekali lagi akan menang dalam pemilihan umum mendatang,” ucap Duterte, ketua partai tersebut. Politikus 76 tahun itu hadir secara fisik dalam pertemuan di Kota San Fernando, sebelah utara Ibu Kota Manila, itu, sedangkan para anggota partai hadir secara daring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun PDP-Laban sedang tidak solid. Partai itu terbelah sejak senator Manny Pacquiao, petinju terkenal Filipina, menjadi presiden partai dan mengkritik kebijakan Duterte. Perpecahan semakin nyata setelah Menteri Energi Alfonso Cusi terpilih sebagai presiden partai dan memecat Manny. Partai pun pecah menjadi dua, kubu Cusi yang mendukung Duterte dan kubu Manny di seberangnya.
Manny Pacquiao ada kemungkinan akan maju pula sebagai calon presiden. Pada Rabu, 15 September lalu, dia bertemu dengan Pantaleon Alvarez, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Davao del Norte. “Mendiskusikan 2022 dan kemungkinan aliansi dengan teman lama dari PDP-Laban,” tulis Alvarez, yang juga presiden Partai untuk Reformasi Demokratis, dalam foto bersama Manny yang dia unggah di akun Twitter-nya.
PDP-Laban faksi Cusi telah memilih Christopher “Bong” Go, senator dari partai itu, sebagai calon presiden. Namun Go menyatakan kepada partainya pada akhir Agustus lalu bahwa dia memutuskan untuk tidak maju sebagai kandidat. “Saya ulangi, saya tidak tertarik untuk maju sebagai calon presiden di pemilihan mendatang,” ujar Go dalam pernyataan tertulis. “Segenap hati dan pikiran saya terfokus untuk melayani rakyat kita dan saya tak punya keinginan untuk berkompetisi pada posisi tertinggi di negeri ini,” tuturnya, seperti dikutip kantor berita AP.
Duterte tampaknya sedang menyiasati aturan. Konstitusi Filipina 1987 menggariskan bahwa warga negara hanya dapat menjadi presiden untuk satu periode, yang berlangsung selama enam tahun, dan tak dapat dipilih untuk periode berikutnya. “Langkah Duterte ini mengikuti model Putin-Medvedev di Rusia,” kata Richard Javad Heydarian, peneliti Filipina dan penulis buku The Rise of Duterte: A Populist Revolt Against Elite Democracy, kepada Tempo pada Selasa, 14 September lalu. “Senator Bong Go, seperti Medvedev, dapat menjadi presiden tapi sebenarnya Duterte-lah presidennya.”
Pendapat Richard mengacu pada politik Rusia pada 2008. Kala itu, Vladimir Putin telah menjadi presiden selama dua periode dan konstitusi melarang dia menjadi presiden pada periode berikutnya. Bekas wakil perdana menteri, Dmitry Medvedev, lantas dipilih menjadi presiden dan Putin menjadi perdana menteri. Pada 2012, posisi bertukar, Medvedev menjadi perdana menteri dan Putin menjadi presiden lagi selama dua periode berikutnya.
Konstitusi Filipina itu, menurut Richard, dibikin setelah masa kekuasaan Ferdinand Marcos dan ditujukan untuk mencegah orang menangguk keuntungan dari posisi inkumben dalam pemilihan presiden. Manuver Duterte, ucap dia, melanggar semangat konstitusi dan menjadi preseden yang sangat berbahaya. Dalam hal ini, integritas Mahkamah Agung dibutuhkan untuk menilai langkah Duterte, tapi Mahkamah selama ini tak pernah menentang Presiden dalam isu-isu utama.
Selain itu, Richard menambahkan, kehidupan mantan Presiden Filipina sangatlah berat. “Segala yang keliru akan ditimpakan kepadamu. Kini, kecenderungannya dimulai dengan tuduhan terlibat dalam skandal korupsi dan kemudian dipenjara,” ucapnya.
Duterte sadar betul posisinya akan rentan bila tidak lagi berkuasa. Menjadi wakil presiden adalah jalan untuk tetap berada di Istana Malacanang. Ancaman baginya terutama datang dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang menyatakan akan melanjutkan penyelidikan terhadap Duterte atas kasus pembunuhan di luar hukum dalam program perang melawan narkotik. Amnesty International melaporkan lebih dari 7.000 orang dibunuh oleh polisi atau orang bersenjata dalam enam bulan pertama Duterte menjadi presiden. Dalam pertemuan partai itu Duterte bahkan bercanda, bila dia menjadi wakil presiden, dia kebal dari tuntutan ICC.
Dalam konferensi pers pada Kamis, 16 September lalu, juru bicara kepresidenan, Harry Roque, mengatakan penyelidikan ICC tak akan berhasil. Kepala Dewan Hukum Kepresidenan Salvador Panelo juga mengatakan pemerintah tak akan bekerja sama dalam proses penyelidikan itu.
“Ini akan menjadi ‘kasus yang dingin’, khususnya jika polisi tidak bekerja sama. Tanpa kerja sama, mereka tak akan dapat menemukan bukti apa pun,” tutur Roque, seperti dikutip Manila Bulletin. “Kasus dingin” adalah istilah untuk menyebut kasus yang “dipetieskan” di kepolisian karena tidak diselidiki lebih jauh dan tak ada bukti baru.
Panelo menekankan ICC tak punya yurisdiksi di Filipina, khususnya sejak Presiden Duterte menyatakan negara itu mundur dari Statuta Roma pada Maret 2018. Ini terjadi setelah sebulan sebelumnya Fatou Bensouda, jaksa ICC waktu itu, mengumumkan dimulainya investigasi kasus Duterte.
Carlos Conde, peneliti senior Filipina untuk Human Rights Watch, menyatakan, dengan berfokus pada tahun-tahun ketika Filipina masih menjadi anggota ICC, ICC berhak menyelidiki Duterte. “(Majunya Duterte sebagai calon presiden) tidaklah membuat dia kebal dari tuntutan atau investigasi oleh ICC,” katanya seperti dikutip AP.
Dalam bayang-bayang kemungkinan diadili di Den Haag, Belanda, Duterte maju sebagai calon wakil presiden. Bila Bong Go tetap tidak bersedia menjadi calon presiden dari PDP-Laban, dia perlu mencari kandidat lain. Kandidat terkuat adalah Sara Duterte-Carpio, putri sulungnya yang kini menjadi Wali Kota Davao di Mindanao.
Sara Duterte, Walikota Davao City menghadiri karavan kampanye senator di Kota Davao, Filipina, Mei 2019. REUTERS/Lean Daval Jr/File Foto
Survei Pulse Asia pada Juni lalu menunjukkan Sara memimpin jajak pendapat calon presiden dengan dukungan 28 persen responden; diikuti Wali Kota Manila Isko Moreno dengan 14 persen; dan mantan senator Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., putra mantan presiden Ferdinand Marcos, dengan 13 persen. Adapun Manny Pacquiao kebagian 8 persen. Survei yang sama untuk calon wakil presiden menunjukkan Duterte berada di urutan pertama dengan dukungan 18 persen responden, lalu Isko dengan 14 persen, Bongbong Marcos 10 persen, dan Manny 9 persen.
Namun keluarga Duterte bukanlah keluarga yang berbahagia. Duterte tak banyak berbicara dengan anak-anaknya dan sering bertengkar dengan putrinya. “Mereka adalah dinasti, seperti keluarga bangsawan. Mereka terus bertengkar satu sama lain,” tutur Richard. Namun lebih aman bagi Duterte bila Sara yang terpilih sebagai presiden.
Kamis lalu, menurut MindaNews, Christina Garcia Frasco, juru bicara Sara, melansir pernyataan Sara akan maju sebagai calon Wali Kota Davao dalam pemilihan kepala daerah tahun depan. Bila ini terjadi, Sara tak akan maju sebagai calon presiden.
Sebelumnya, Sara sudah mengungkapkan hanya satu orang dari keluarganya yang akan maju dalam pemilihan nasional. Dalam perbincangan terakhir dengan Duterte, menurut dia, ada “rencana A” yang mendorong Bong Go dan Duterte dalam pemilihan dan “rencana B” untuk mengajukan Go sebagai calon wakil presiden dan Sara sebagai calon presidennya.
Namun, menurut Richard, keadaan masih bisa berubah. Dalam aturan main pemilihan umum negeri itu, partai harus mendaftarkan calon presiden sebelum akhir Oktober nanti, tapi masih dapat mengganti nama kandidatnya pada November. Dalam pemilihan umum 2016, misalnya, PDP-Laban pada mulanya mendaftarkan Martin Dino sebagai calon presiden, tapi kemudian menggantinya dengan Duterte. Saat mendaftar sebagai calon presiden, Duterte mundur sebagai calon Wali Kota Davao dan kemudian posisinya digantikan oleh Sara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo