Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran Mediascape: Material, Senses and Beyond di Galeri Salihara
Menyajikan karya-karya impresif seni media baru
SEJUMLAH sensasi ganjil menabrak secara bersamaan tatkala memasuki kegelapan ruang tertutup di salah satu sudut pameran itu. Pertama-tama, yang langsung tertangkap kesadaran adalah hamparan cahaya hijau yang mengapung di antara dinding dan atap. Berjalan menembus lapis sinar itu ibarat menyibak permukaan air pada malam yang pekat. Hanya bagian leher ke atas yang menyembul di atas hamparan.
Sensasi berikutnya adalah bunyi. Denting musik meditatif mengisi ruangan, sesekali diinterupsi oleh desisan dari sebuah mesin penyemprot kabut. Kabut itu meroyak, bergulung ke atas untuk menyatu dengan permadani cahaya hijau, membuatnya seperti menari dalam riak yang selalu berubah bentuk. Lalu, ada bau. Aroma lembut yang perlahan-lahan mengisi hidung. Manis tanpa menusuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gassin’ the Machine karya Eldwin Pradipta. Dok. Komunitas Salihara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada banyak hal untuk diperhatikan dalam satu karya yang dibuat oleh seniman Korea Selatan, Boo Ji-hyun, itu. Bagaimana permadani cahaya itu tercipta? Dari mana gulungan kabut dan bunyi dan bau berasal? Apa saja bentuk yang muncul tatkala kabut itu menyatu dengan cahaya? Namun, secara utuh, ini adalah karya yang dapat membuat seseorang segera merasa terputus dengan keriuhan dunia. Permainan cahaya yang memanipulasi ruang bersama elemen bau dan bunyi memunculkan sensasi terhipnosis. Seperti menyelam di laut dalam tanpa perlu berbasah-basah. Boo Ji-hyun memang membuat Ultimate Space–Pause ini berdasarkan kelekatan memori dengan lautan Pulau Jeju, kampung halamannya.
Pameran “Mediascape: Material, Senses and Beyond” yang sedang berlangsung di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, hingga 10 Oktober mendatang mengeksplorasi medium seni rupa baru. Karya seni yang muncul memanfaatkan segala yang digital dan berteknologi kiwari. Konsep ini terdengar tepat untuk hari-hari pandemi yang mengharuskan hampir semua aktivitas dilakukan di dalam jaringan. Ternyata, bentuk seni baru tak begitu saja berarti ia dapat mudah dinikmati secara virtual. Sebaliknya, pada pameran Salihara kita menemukan berbagai kemungkinan teknologi dapat diolah untuk mempertajam pengalaman seluruh indra—yang mustahil jika hanya dialami dari jarak jauh lewat sepetak layar.
Perupa lulusan jurusan studio seni intermedia Institut Teknologi Bandung, Eldwin Pradipta, menghadirkan pengalaman disrupsi memori yang dipicu rangsangan bau lewat karya Gassin’ the Machine. Eldwin membangun peraga yang melibatkan sensor bau, pembelajaran mesin, dan kecerdasan buatan. “Perihal bebauan relevan dengan kondisi sekarang saat hilangnya indra penciuman menjadi salah satu ciri Covid-19,” tutur Edwin saat dihubungi pada Kamis, 16 September lalu.
Instalasi karya Elia Nurvista. Komunitas Salihara
Dua layar seukuran dinding menampilkan video bergerak dari gambar ikonik bukit hijau dan langit biru dari wallpaper Windows Xp oleh fotografer Charles O’Rear. Layar-layar itu tersambung pada sebuah perangkat pendeteksi aroma. Jika kita menyemprotkan gas dari pemantik yang disediakan di galeri pada perangkat itu, tampilan layar segera berubah menampakkan wujud-wujud psikedelik. Figur tersebut diolah dari kumpulan gambar yang dikonstruksi oleh DeepDream, perangkat pemrosesan visual ciptaan Google. Cara kerja karya ini dapat dihubungkan dengan bagaimana memori manusia merespons aroma. Eldwin juga menyentuh esensi indra penciuman sebagai alat manusia mendeteksi bahaya.
Fokus indra pengecap muncul dalam karya Elia Nurvista. Elia menyusun kotak-kotak kayu berisi ragam buah tropis, seperti pisang, nanas, mangga, buah naga, dan alpukat. Pengunjung (jika nanti pameran sudah dapat dikunjungi langsung) boleh membawa pulang dan mencicipi buah-buahan itu. Pada setiap keranjang terdapat stiker QR code yang dapat dipindai dan akan membawa kita pada video perjalanan penganan tersebut.
Ada pula dua layar yang terus-menerus memutar konten yang kontras secara visual. Layar pertama memutar semacam video dokumenter hitam-putih tentang kampanye konsumsi pisang di Amerika pada 1953. Yang satunya hadir dalam warna pink cerah—suatu visualisasi meriah dari kisah para petani buah di negeri tropis yang diolah digital oleh kecerdasan buatan. Karya Elia paling terasa muatan kritik sosialnya karena menyoroti dengan gamblang praktik konsumsi berlebihan, kapitalisme, pasca-kolonialisme, hingga dampak ekologi dari perputaran buah-buahan di seluruh dunia. Namun elemen-elemen dalam karya ini terasa kurang padu.
Praktik seni media baru makin populer di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Selain lekat dengan modifikasi teknologi, seni media baru dicirikan dengan kerja kolaboratif dan bentuk kesenian yang lebih interaktif. Kurator pameran, Asikin Hasan, menilai perkembangan percabangan seni rupa cukup mengagetkan. “Tidak hanya ragam karya yang terus bermutasi mencari bentuk-bentuk baru, tapi muncul pula perangkat dan penjelajahan baru yang mampu menjangkau segala indra manusia,” ujar Asikin.
Bagi Eldwin Pradipta yang sejak awal berkarya telah memusatkan perhatian pada media baru, medium ini adalah alat untuk merubuhkan pagar-pagar eksklusif yang biasanya membuat karya seni sulit diakses. “Karena seni rupa baru menggunakan medium yang akrab dengan kita sehari-hari seperti video dan audio,” kata penerima Young Artist Award pada Artjog 2004 itu.
Galeri Salihara bersama kelompok kolektif seniman Arcolabs merancang pameran Mediascape sejak dua tahun lalu untuk menjelajahi keseimbangan antara perkembangan teknologi dan pencapaian estetika. Sempat tertunda lama karena merebaknya pandemi, pameran akhirnya dibuka pada Sabtu, 11 September lalu. Meski begitu, publik masih belum dapat mengunjungi langsung pameran ini karena kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Pameran virtual direncanakan tersedia pada Oktober mendatang.
Instalasi karya studio Archer’s Mark dari Inggris yang dibangun dari jurnal audio John Hull. Dok. Komunitas Salihara
Pameran ini melibatkan seniman dan kurator dari Indonesia, Korea Selatan, dan Inggris. Asikin menyebutkan Korea Selatan memiliki sejarah seni media baru yang mengakar kuat. Salah satu tokoh utama kesenian ini yang juga dijuluki bapak video seni dunia, Nam June-paik, berasal dari Korea Selatan. Negara ini juga menghasilkan banyak seniman media baru berkelas internasional. Selain Boo Ji-hyun, pameran Mediascape menghadirkan karya dari Park Seung-soon, seorang seniman sekaligus komposer musik elektronik. Park bekerja sama dengan perekam suara dan video dari Indonesia untuk mengumpulkan data bunyi dan visual dari berbagai sudut kota.
Kelompok seniman Indonesia yang juga berkarya dengan mengutak-atik perangkat digital selama lebih dari satu dekade terakhir adalah Tromarama. Pada pameran ini, Tromarama membuat karya Madakaripura, sebuah tampilan visual dari situs air terjun bersejarah di Probolinggo, Jawa Timur, yang terdistorsi. Liuk-liuk yang muncul pada grafik ini bersumber dari olahan data terbaru situasi cuaca di Madakaripura. Karya ini juga berefek meditatif.
Terakhir, sebuah pengalaman imersif mengesankan tercipta dari karya studio Archer’s Mark dari Inggris. Karya virtual 360 derajat ini dibangun dari jurnal audio John Hull, seorang profesor studi religi dari University of Birmingham yang tiba-tiba kehilangan penglihatannya pada 1983. Melalui gawai yang tersedia, kita dapat masuk pada sebuah realitas virtual yang merekonstruksi pengalaman kebutaan.
Meski setiap karya mengedepankan satu elemen sensoris yang dominan, pengalaman menikmatinya baru utuh lewat saling silang fungsi indra lain. Kurator tamu, Jeong Ok-jeon, menyoroti kekuatan seni media baru tersebut yang dapat memperkaya pengalaman multisensoris. “Sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa secara alami, beragam indra manusia saling menstimulasi dan mempengaruhi,” ujar Jeong.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo