Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masa kekuasaan Ferdinand Marcos diwarnai korupsi, kolusi, nepotisme, dan kekerasan.
Marcos akhirnya ditumbangkan dengan kekuatan rakyat setelah 20 tahun berkuasa.
Pemerintah berusaha menyita aset haram keluarga Marcos.
DARURAT militer di era kekuasaan presiden Ferdinand Marcos adalah masa gelap. Warga Filipina yang pernah mengalaminya tak akan bisa lupa. “Saya penyintas darurat militer. Saya korban, korban penyiksaan, ditahan secara ilegal selama dua tahun,” kata Joanna Cariño, perempuan aktivis hak asasi manusia dan penyelenggara Kampanye Menentang Kembalinya Marcos dan Darurat Militer, kepada ABS-CNB, Jumat, 13 Mei lalu. Amnesty International memperkirakan puluhan ribu orang ditahan, disiksa, dan dibunuh selama masa darurat militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ferdinand Marcos lahir pada 11 September 1917 di Kota Sarrat, Ilocos Norte. Dia meraih kesuksesan politik dengan mengklaim sebagai pahlawan Filipina, tapi belakangan diketahui klaimnya palsu dan menyesatkan. Marcos meniti karier politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian anggota Senat. Dia terpilih sebagai Presiden Filipina pada 1965 dan terpilih kembali pada 1969.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai presiden, Marcos menjalin hubungan erat dengan militer dengan menaikkan anggaran militer dan melibatkan tentara dalam berbagai proyek sipil. Jenderal yang setia dipertahankan pada posisinya meski sudah memasuki usia pensiun atau diberi jabatan sipil.
Untuk menaikkan popularitas, Marcos membangun berbagai proyek infrastruktur, seperti jalan raya. Dananya berasal dari utang luar negeri, yang membuat anggaran negara mengalami defisit hingga 72 persen. Utang luar negeri meroket dari US$ 0,36 miliar pada 1961 menjadi US$ 28,26 miliar pada 1986.
Periode kedua masa kepresidenan Marcos diwarnai unjuk rasa dan terbentuknya kelompok-kelompok oposisi. Pada masa ini pula terbentuk Tentara Rakyat Baru, sayap militer Partai Komunis Filipina, yang kemudian merongrong pemerintah. Di Mindanao, kaum muslim mulai menentang pemerintah dengan membentuk Organisasi Pembebasan Bangsamoro dan Front Pembebasan Nasional Moro.
Marcos menanggapi berbagai perlawanan itu dengan mengumumkan darurat militer pada September 1972, setahun sebelum masa kepresidenannya berakhir. Pada 1981, dia mencabut darurat militer dan menggelar pemilihan umum. Dia menang dan terpilih lagi sebagai presiden. Tapi kondisi ekonomi negeri itu sudah memburuk. Suhu politik memanas setelah Benigno “Ninoy” Aquino Jr. ditembak mati di Bandar Udara Manila. Gerakan perlawanan Ninoy membesar ke skala nasional.
Marcos akhirnya menggelar pemilihan umum yang dipercepat pada 7 Februari 1986. Dia bersaing dengan Corazon Aquino, janda Ninoy. Komisi Pemilihan Umum (Comelec) menyatakan Marcos menang dari Aquino. Namun hitungan Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas (Namfrel), pemantau jajak pendapat terakreditasi, menyatakan justru Aquino yang menang.
Pemilihan ini diwarnai kekerasan dan manipulasi. Sebanyak 30 teknisi komputer Comelec mundur sebagai protes atas manipulasi penghitungan suara. Konferensi Wali Gereja Filipina dan Senat Amerika Serikat mengutuk pemilihan tersebut.
Corazon Aquino lantas memimpin unjuk rasa yang menyerukan pembangkangan sipil pada 16 Februari 1986 di Luneta Park, Manila. Demonstrasi ini membesar menjadi Revolusi Kekuatan Rakyat yang berlangsung selama 22-25 Februari 1986. Unjuk rasa damai ini diikuti dua juta lebih warga Filipina, termasuk politikus, kelompok militer, dan tokoh gereja.
Marcos akhirnya lengser. Dia dan keluarganya kabur ke Hawaii pada 25 Februari 1986 dengan membawa jutaan dolar Amerika Serikat uang tunai, perhiasan, emas, dan saham. Marcos meninggal dalam usia 72 tahun di Honolulu pada 1989 karena penyakit ginjal, jantung, dan paru-paru.
Setelah kepergian Marcos, orang menemukan tempat penyiksaan khusus tahanan politik di Malacanang. Mereka juga menemukan koleksi Ibu Negara Imelda Marcos, seperti 3.000 pasang sepatu, 500 kutang, dan 200 ikat pinggang, di rumah mewah Marcos di Tacloban, Pulau Leyte.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menyita harta hasil korupsi Ferdinand Marcos dan anggota keluarganya. Komisi Kepresidenan untuk Pemerintahan yang Baik, yang dibentuk Corazon Aquino untuk memburu harta tersebut, menyatakan telah memulihkan 171 miliar peso atau Rp 47,8 triliun pada 2018.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo