Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kembalinya Dinasti Marcos

Bongbong, putra Ferdinand Marcos, menang dalam pemilihan Presiden Filipina. Disokong propaganda masif di media sosial yang membersihkan nama keluarganya.

14 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. menang dalam pemilihan Presiden Filipina.

  • Bagaimana dinasti Marcos dapat kembali ke lansekap politik Filipina?

  • Benarkah karena propaganda massif di media sosial yang membersihkan nama keluarganya?

RATUSAN demonstran menggeruduk kantor Komisi Pemilihan Umum (Comelec) di Intramuros, Manila, Filipina, pada Selasa pagi, 10 Mei lalu. Mereka mempertanyakan hasil pemilihan umum yang digelar pada sehari sebelumnya yang memenangkan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., putra mantan presiden Ferdinand Marcos, dalam pemilihan Presiden Filipina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Danilo Arao dari Kontra Daya, kelompok pengawas pemilihan umum independen yang turut dalam unjuk rasa, mempertanyakan integritas penghitungan suara karena adanya berbagai dugaan kecurangan dan penyimpangan. “Comelec harus memperhitungkan semua pelanggaran dan menjawab dengan tegas mengapa, misalnya, menolak memperpanjang waktu pemungutan suara, meskipun antrean panjang dan penundaan bukan kesalahan pemilih,” katanya kepada Inquirer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelompok Kampanye Menentang Kembalinya Marcos dan Darurat Militer (Carmma) menegaskan kembali pendirian mereka terhadap prospek kembalinya dinasti Marcos ke Istana Malacanang. Arao mengaku sedang berkonsultasi dengan pengacara mengenai langkah apa yang bisa mereka ambil selanjutnya.

Hasil penghitungan suara sementara menunjukkan Bongbong meraup suara terbanyak. Hingga Selasa, dari 98,17 persen suara yang masuk, Bongbong meraih sekitar 31 juta lebih suara dan pesaingnya, Wakil Presiden Leni Robredo, mengumpulkan 14,8 juta suara.

Dalam pemilihan wakil presiden, Wali Kota Davao Sara Duterte-Carpio memimpin dengan 31,5 juta suara, melampaui Senator Kiko Pangilinan, yang memperoleh sekitar 9,2 juta suara, dan Presiden Senat Vicente “Tito” Sotto dengan 8,17 juta suara.

Kubu Bongbong optimistis atas hasil akhirnya nanti. Tapi, “Kami tidak akan berhenti sampai pengiriman hasil pemilihan umum dari tingkat daerah stabil,” tutur Vic Rodriguez, juru bicara Bongbong, kepada CNN.

Mahasiswa dan aktivis berkumpul memprotes penghitungan tidak resmi pemilihan nasional, memenangkan kandidat presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr di Manila, Filipina, 10 Mei 2022.REUTERS/Eloisa Lopez

Mengapa dinasti Marcos dapat kembali ke Istana Malacanang? Adrian De Leon, sejarawan Filipina dari University of Southern California, menulis di The Conversation bahwa Filipina memang “dipimpin oleh dinasti” sejak zaman kolonial. Tapi dia menyebutkan adanya penguatan yang lebih modern: manipulasi dan disinformasi di media.

Investigasi Rappler pada 2019 mengungkap bagaimana keluarga Marcos menjalankan propaganda digital untuk mendorong mereka agar disukai publik melalui berbagai disinformasi yang tersebar di media sosial. Rezim Marcos digambarkan sebagai masa kejayaan Filipina seraya menyangkal berbagai pelanggaran hak asasi manusianya.

“Generasi milenial telah move on dan saya pikir orang-orang seusia saya harus move on juga,” kata Gubernur Provinsi Ilocos Norte Maria Imelda Josefa “Imee” Marcos. Putri sulung Marcos itu menyatakan hal tersebut di tengah peringatan wafatnya Benigno “Ninoy” Aquino di pusat Kota Cebu pada Agustus 2018. Tampak hadir Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang disebut sebagai “dermawan politik baru” keluarga Marcos. Kematian Ninoy, yang ditembak pada 1983, telah memicu gerakan kekuatan rakyat yang menggulingkan Ferdinand Marcos.

Democrito Barcenas, pengacara yang pernah ditahan selama darurat militer di era Marcos, mengecam seruan Imee. “Move on dari darurat militer? Itu bodoh. Keluarga Marcos pertama-tama harus mengembalikan miliaran dolar yang dicuri diktator selama darurat militer kepada rakyat. Dan Imelda, Imee, dan Bongbong harus lebih dulu meminta maaf kepada orang-orang sebelum berbicara tentang move on dari darurat militer,” ucapnya, seperti dikutip Cebu Daily News.

Imee mengatakan masalah yang dituduhkan kepada keluarganya menjadi kurang penting dan lebih baik bagi orang Filipina untuk terus maju dan bersatu demi kebaikan negara. “Saya bukan pembela ayah saya dan saya pikir pekerjaannya dan proyeknya sudah berbicara sendiri,” katanya tentang pencapaian Ferdinand Marcos selama berkuasa.

Imee memberi gambaran yang benar bahwa anak muda Filipina tampaknya sudah melupakan masa kelam itu. Itu terjadi karena manipulasi dan disinformasi yang dilakukan orang-orang yang dikerahkan keluarga Marcos. Anak muda yang sudah terpapar informasi sesat itu kini turut menyumbang bagi kemenangan Bongbong.

“Ya, memang disinformasi adalah masalah. Ya, memang Bongbong sudah memproyeksikan citra sebagai sosok keren atau seperti bintang pop Korea, yang akan membawa kemakmuran dan membawa kembali zaman keemasan Filipina. Itu benar,” ujar Richard Javad Heydarian, analis politik di jaringan GMA dan kolumnis Philippine Daily Inquirer. “Disinformasi memang masalah dan juga masalah di masa Duterte. Juga kini keluarga Marcos,” tutur penulis The Rise of Duterte: A Populist Revolt against Elite Democracy itu.

Menurut Richard, yang lebih membuat lebih rentan pemilihan umum kali ini memang adanya disinformasi dari keluarga Marcos. “Filipina tidak mengembangkan budaya berpikir kritis yang kuat. Media arus utama bertanggung jawab atas hal ini, pendidikan juga bertanggung jawab,” katanya. “Belum lagi sistem hukum. Bila Filipina berpegang pada rule of law (prinsip negara hukum), Bongbong Marcos sudah didiskualifikasi dari pencalonan dan malah berada di penjara karena berbagai dakwaan korupsi, bukannya naik ke tampuk kekuasaan. Begitu rusaknya sistem di Filipina ini.”

Namun Richard melihat salah satu faktor yang lebih penting yang membuat Bongbong menang adalah tidak ikutnya Sara Duterte dalam pencalonan presiden. “Jika dia maju, mereka akan bersaing,” ucapnya. “Sebanyak 50-60 persen suara pendukung Bongbong Marcos atau separuhnya berasal dari Sara. Jadi dia berutang pada Sara,” tutur Richard kepada Tempo pada Jumat, 13 Mei lalu.

Pemilihan presiden dan wakil presiden di Filipina digelar secara terpisah meskipun serentak, tidak seperti dalam pemilihan umum di Indonesia. Tahun lalu, menjelang pendaftaran kandidat, Sara Duterte termasuk yang digadang-gadang sebagai calon kuat Presiden Filipina, tapi ternyata dia memutuskan untuk maju sebagai calon wakil presiden. Namun, dalam kampanye pemilihan umum, Sara dan Bongbong bekerja sama dan menyerukan “persatuan” Filipina.

Faktor lain, menurut Richard, adalah pemindahan makam Ferdinand Marcos, dari makam keluarga di Batac, Ilocos Norte, ke Taman Makam Pahlawan di Manila atas restu Presiden Rodrigo Duterte pada 2016. Marcos meninggal di Hawaii pada 1989, tapi saat itu Presiden Corazon Aquino melarang mayatnya dibawa ke Filipina. Dua tahun kemudian, Aquino mengizinkan Marcos dimakamkan di kampung halamannya di Ilocos Norte. Berbagai upaya memindahkan ke Taman Makam Pahlawan terus terjadi, tapi selalu ditentang banyak pihak. “(Dengan pemindahan ini) maka Duterte seperti membersihkan legasi Marcos. Jadi Duterte bertanggung jawab atas kembalinya Marcos,” kata Richard.

Sejak saat itu, keluarga Marcos seakan-akan hidup kembali di ranah politik. Imelda, janda Marcos, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili Ilocos Norte, tempat Imee dan Bongbong pernah menjadi gubernur. Bongbong kemudian menjadi senator dan sempat maju sebagai calon presiden pada 2016, tapi kalah oleh Leni Robredo. Bongbong menggugat hasil pemilihan, yang didukung Rodrigo Duterte, yang menyatakan bersedia mundur dari jabatan presiden jika gugatan Bongbong menang. Namun Pengadilan Elektoral Presidensial menolak gugatan itu.

Richard menyebutkan satu lagi fenomena yang membuat Bongbong menang, yakni kekecewaan masyarakat pada demokrasi. “Banyak orang awam Filipina yang tidak merasa terlibat dalam demokrasi kami, yang disebut demokrasi oligarkis,” tuturnya.

Richard menuturkan dia mengikuti pawai terakhir kubu Leni dan Bongbong. Di kubu Bongbong, dia menyaksikan banyak orang kelas bawah yang memainkan “musik nostalgia”. Mereka menginginkan perubahan, sesuatu yang benar-benar berbeda. “Mereka lelah terhadap janji selama beberapa dekade dan tak ada yang datang ke rakyat dengan pembangunan jangka panjang yang nyata. Mereka tidak dapat menunggu tiga-empat-lima tahun lagi untuk perubahan bertahap dari kelompok liberal,” ucapnya. “Saya tidak setuju atas pilihan mereka, tapi saya memahami rasa frustrasi mereka.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus