Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Agung mewajibkan vaksin harus berlabel halal.
MUI menolak memberikan label halal karena menilai proses tiga merek vaksin mengandung pankreas babi.
Ada merek vaksin baru yang didatangkan keluarga politikus PDI Perjuangan yang berlabel halal meski belum teruji efikasinya.
INILAH akibatnya jika persoalan kesehatan direcoki tafsir sempit agama dan kepentingan jangka pendek segelintir orang: terancamnya program vaksinasi nasional dan penyehatan rakyat dari Covid-19. Masalah pandemi yang semestinya diselesaikan lewat ilmu pengetahuan dan teknologi—ayat-ayat Tuhan di alam semesta—kini terbentur hukum agama yang sebetulnya masih bisa diperdebatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Mahkamah Agung yang mengeluarkan putusan yang mewajibkan pemerintah menggunakan vaksin halal untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Diketuk pada 14 April lalu, vonis itu mengoreksi Surat Edaran Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan tentang vaksinasi Covid-19 dosis lanjutan atau penguat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam edaran itu disebutkan tiga vaksin yang dipakai sebagai penguat: AstraZeneca, Pfizer, dan Moderna. Persoalannya, tak satu pun dari ketiga vaksin itu memperoleh sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia—lembaga yang berwenang mengeluarkan label halal sebelum kemudian diambil alih Kementerian Agama. Meski demikian, MUI menyatakan ketiganya boleh dipakai dengan alasan darurat.
MUI menolak memberikan label halal karena ketiga vaksin itu dalam proses pembuatannya bersentuhan dengan tripsin, enzim yang diambil dari pankreas babi. Pendapat berbeda pernah disampaikan Nahdlatul Ulama terhadap AstraZeneca. Menurut NU, vaksin itu halal karena produk akhirnya bersih dari unsur haram.
Pemerintah kini diberi waktu 90 hari untuk hanya menggunakan vaksin yang telah mendapat sertifikat halal: Merah Putih, Sinovac, Sinopharm, dan Zifivax. Persoalannya, cadangan vaksin di gudang pemerintah lebih dari cukup untuk menyuntik dua dosis awal dan penguat hingga mencapai 70 persen warga Indonesia—syarat Badan Kesehatan Dunia (WHO) agar sebuah negara dianggap kuat menghadapi Covid-19. Terdiri atas sejumlah merek vaksin, termasuk yang kehalalannya dipersoalkan, sebagian besar dari stok itu merupakan vaksin hibah dan dibeli lewat jalur swasta.
Dengan stok yang ada, pemerintah menutup pintu bagi masuknya vaksin baru betapa pun sudah berlabel halal. Padahal putusan MA itu membuka jalan lebar bagi Zifivax, vaksin baru asal Cina, yang selama ini belum dipakai dalam program vaksinasi.
Di Indonesia, pengadaan Zifivax melibatkan sejumlah keluarga elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Produsen Zifivax, PT Jakarta Biopharmaceutical Industry (JBio), dimiliki oleh anak-anak pengurus PDIP. Mereka adalah Lillahi Mas Bergas Darmacil, anak Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Said Abdullah; Rio Dondokambey, anak Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey; dan Stephanie Octavia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, anak Rudianto Tjen, juga anggota DPR dari PDIP.
Praktik lama itu terjadi kembali: uang dan kekuasaan bersekutu dalam nepotisme.
Putusan Mahkamah Agung harus dihormati betapa pun bertentangan dengan akal sehat dan semangat publik untuk segera bebas dari pandemi. Kementerian Kesehatan harus mencari jalan termasuk ngebut mengejar target vaksinasi booster sebelum tenggat 90 hari yang diberikan MA terlampaui. Rekomendasi epidemiolog untuk mengkombinasikan vaksin primer dan penguat bermerek sama dapat dipertimbangkan. Penelitian terbaru menyebutkan tiga kali vaksinasi dengan vaksin bermerek serupa sama efektifnya dengan menggabungkan dua vaksin primer dengan vaksin tambahan yang dinyatakan haram.
Ketiga vaksin yang dinyatakan haram itu dapat pula mengajukan kembali permintaan mendapat label halal kepada Kementerian Agama. Telah lama menjadi gunjingan: Majelis Ulama Indonesia tak menggunakan pengujian laboratorium sebagai satu-satunya cara untuk menentukan halal-haram suatu produk. Diubah lewat Undang-Undang Cipta Kerja, kini wewenang labelisasi halal dialihkan ke Kementerian Agama.
Dalam ihwal vaksinasi, penyelenggara negara hendaknya berfokus pada penyelamatan nyawa orang banyak. Betapa pun Covid-19 sudah reda, kita tidak boleh meremehkan potensi ledakan jumlah kasus di kemudian hari. Munculnya varian baru dan peningkatan jumlah kasus di negara lain, seperti Cina, hendaknya menjadi pelajaran: tanpa vaksinasi yang menyeluruh dan dengan menggunakan vaksin berefikasi tinggi, kekebalan kelompok tak akan terbentuk.
Penegak hukum hendaknya meninggikan antena: keterlibatan politikus partai dan keluarganya dalam pengadaan vaksin Zifivax berpotensi melanggar undang-undang. DPR tidak boleh menggunakan Panitia Kerja Pengawasan Vaksin, yang terbentuk pada Februari lalu, sebagai gada pemukul untuk membela produsen vaksin. Presiden Joko Widodo selayaknya tidak mengorbankan kepentingan publik tatkala tekanan kelompok pendukung vaksin halal merangsek dan mengganggu posisi politiknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo