Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapal survei Cina mendekati lokasi pengeboran minyak Indonesia di Laut Natuna Utara.
Hal serupa terjadi di ladang minyak lepas pantai Malaysia.
Indonesia mengirim kapal-kapal patroli untuk mengawal pengeboran.
PERAIRAN Laut Natuna Utara riuh ketika Noble Clyde Boudreaux, rig pengeboran minyak apung milik Premier Oil Natuna Sea BV, melempar sauh pada akhir Juni lalu. Rig anak perusahaan Inggris, Harbour Energy PLC, yang sebagian sahamnya dimiliki badan usaha milik negara Rusia, Zarubezhneft, mengebor dua sumur minyak di Blok A Natuna, sekitar 140 mil laut atau 259 kilometer dari Pulau Natuna Besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keriuhan bersumber dari deru kapal-kapal Cina yang mendekat ke rig. Tak lama kemudian pemerintah Cina mengirimkan surat yang meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas di Natuna. Cina mengklaim perairan itu masih bagian dari Laut Cina Selatan berdasarkan Nine-Dash Line, konsep yang tidak diakui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia tidak menanggapi protes tersebut. Eddy Pratomo, mantan Direktur Jenderal Hubungan Internasional Kementerian Luar Negeri Indonesia, menilai sikap pemerintah sudah benar. “Mereka mau protes, silakan. Kami jelaskan,” ujarnya kepada Tempo pada Jumat, 10 Desember lalu.
Menurut Eddy, tidak ada sengketa Laut Natuna antara Indonesia dan Cina sebagaimana marak diberitakan berbagai media. Karena itu, kata dosen tidak tetap Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, “Jangan mau negosiasi. Itu berarti kita mengakui klaim Cina.”
Keributan soal Laut Natuna Utara tak hanya melanda Indonesia. Malaysia dan Vietnam juga mendapat protes serupa ketika mereka sedang mengeksplorasi minyak dan gas di blok yang berdekatan dengan Natuna.
Ketika Laut Natuna Utara memanas, kapal survei Cina, Da Yang Hao, terlihat masuk ke landas kontinen Malaysia. Di kawasan ini, kapal pengebor minyak West Capella sedang dikontrak oleh PTT Exploration and Production Public Company Limited, perusahaan minyak Thailand, untuk mengebor di ladang minyak Blok K di lepas pantai Sabah, Malaysia.
Ada tujuh ladang minyak dan gas di Natuna, yakni Anoa, Gajah Baru, Pelikan, Naga, Bison, Iguana, dan Gajah Puteri. Blok yang berbatasan dengan blok Malaysia dan Vietnam itu memasok gas ke Singapura melalui Sistem Transportasi Natuna Barat.
Asia Maritime Transparency Initiative melaporkan, ketika rig Noble Clyde Boudreaux tiba, Cina langsung mengirim sebuah kapal Penjaga Pantai Cina (CCG) ke dekat lokasi tersebut. Badan Keamanan Laut Indonesia menanggapinya dengan mengirim kapal patroli KN Pulau Dana. Sejak itu hingga pengeboran selesai pada November lalu, kapal-kapal patroli Indonesia bergantian menjaga kawasan tersebut, termasuk KN Tanjung Datu, KN Pulau Marore, KN Pulau Nipah, KRI John Lie, dan KRI Bung Tomo.
Kapal Indonesia biasanya berpatroli di sana dua hingga empat hari sebelum kembali ke darat lalu bergantian dengan kapal patroli lain. Data sistem identifikasi otomatis (AIS)—sistem pelacakan pergerakan kapal otomatis—dan citra satelit menunjukkan, dalam beberapa kejadian, kapal patroli Indonesia tampak memburu kapal-kapal Cina dalam jarak cukup dekat, sekitar 1 mil laut atau tak sampai 2 kilometer. Bahkan, pada Agustus lalu, KRI Bung Tomo, kapal Angkatan Laut Indonesia, mendekat hingga setengah mil laut dari CCG 5305, salah satu kapal Penjaga Pantai Cina.
Meski demikian, kapal-kapal Penjaga Pantai Cina secara bergantian berseliweran di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia selama rig Premier beroperasi. Sejak akhir Agustus, Haiyang Dizhi 10, kapal survei Cina, datang ke landas kontinen Indonesia dan mendekati Noble Clyde Boudreaux hingga 10 mil laut. Kapal berlayar dikawal kapal Penjaga Pantai Cina CCG 4303.
Indonesia lalu mengirim KRI Bontang, yang membayang-bayangi Haiyang Dizhi 10 pada pertengahan September lalu. Dalam beberapa kejadian, KRI Bontang bahkan sangat dekat, hingga sekitar 365 meter dari kapal tersebut.
Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan pasukannya terus mengawal kegiatan pengeboran di Natuna, tapi tidak sampai terjadi eskalasi. “Kalau kapal Cina berada di jarak 5 mil (dari lokasi pengeboran), kami 2 mil, di tengah-tengahnya. Jangan sampai dekat-dekat,“ ucapnya kepada Tempo pada Selasa, 7 Desember lalu.
Menurut Eddy Pratomo, kapal-kapal Cina itu memang boleh melintasi ZEE Indonesia berdasarkan konsep “innocent passage”. Konsep dalam hukum laut ini memungkinkan kapal melintasi wilayah negara lain sesuai dengan hukum internasional dan aturan negara tersebut. “Asalkan tidak melakukan kegiatan ilegal,“ katanya. Kegiatan ilegal itu termasuk mengambil ikan dan melakukan riset tanpa izin. “Mereka boleh melintas, tak boleh berhenti, dan tak boleh mengambil ikan.”
Situasi makin ramai ketika pada akhir September lalu, USS Ronald Reagan, kapal Angkatan Laut Amerika Serikat, melintas dekat lokasi rig Premier dalam perjalanan dari Filipina ke Singapura. Kapal itu bersenjatakan misil penjelajah USS Shiloh. Ini pertama kalinya pada tahun ini kapal perang Amerika beroperasi di kawasan yang sedang panas.
Amerika Serikat terakhir kali terlibat masuk wilayah “sengketa” ketika mengirim kapal perang USS America dan USS Gabrielle Giffords ke dekat lokasi pengeboran minyak West Capella yang juga didekati kapal-kapal Cina pada Mei 2020. Saat itu West Capella sedang disewa Petronas, perusahaan minyak pemerintah Malaysia, untuk mengebor di bloknya di Laut Natuna Utara.
Menurut Laksamana Madya Bill Merz, komandan armada ketujuh, pelayaran Gabrielle Giffords adalah operasi rutin. Hukum internasional dan norma maritim memungkinkannya berlayar bebas. “Terlepas dari klaim berlebihan atau peristiwa mutakhir,” ujarnya waktu itu.
Menurut Eddy, kapal asing seperti kapal Inggris dan Amerika Serikat bisa melewati perairan mana pun dengan memakai hak kebebasan navigasi. “Ini laut bebas,” katanya.
Saat berkunjung ke Indonesia pada Selasa, 14 Desember lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken mendesak Cina menghentikan “tindakan agresif” di Indo-Pasifik. “Itulah mengapa ada begitu banyak kekhawatiran, dari Asia Timur Laut hingga Asia Tenggara dan dari Sungai Mekong hingga Kepulauan Pasifik, tentang tindakan agresif Beijing,” tuturnya. “Negara-negara di kawasan ini ingin perilaku ini berubah—kami juga.”
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, membantah tuduhan ini. “Bukan Cina yang secara acak mengirimkan kapal dan pesawat terbang canggih untuk melakukan pengintaian atau latihan militer di Laut Cina Selatan atau secara ilegal masuk tanpa izin ke laut teritorial dan wilayah udara negara lain,” katanya dalam konferensi pers pada Rabu, 15 Desember lalu. “Saya yakin kita semua tahu negara mana yang biasa melakukan semua ini. Saya berharap para pejabat Amerika tidak salah mengartikan fakta.”
Situasi panas di Laut Natuna Utara kini mulai mereda. Kapal survei Haiyang Dizhi 10 dilaporkan sudah terparkir di Pelabuhan Huangpu, Guangzhou, Cina. Rig Premier juga sudah selesai mengebor minyak. Namun masalah di Laut Natuna Utara tampaknya belum segera tuntas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo