Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Eksplorasi minyak dan gas di Laut Natuna jalan terus meski pemerintah Cina melayangkan surat protes.
Perusahaan minyak dan gas dari Inggris berkolaborasi dengan perusahaan negara Rusia.
Kapal patroli TNI dan Bakamla siap mengawal pengeboran migas dengan cadangan sangat besar.
DEG-DEGAN. Itulah ungkapan para pekerja sektor minyak dan gas bumi di Laut Natuna Utara kepada Dwi Soetjipto. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ini menerima ungkapan itu karena ia meminta perusahaan pengeboran minyak di kawasan tersebut intensif menjalin komunikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan Dwi itu muncul terutama setelah pemerintah Cina melayangkan surat protes atas aktivitas eksplorasi minyak di Laut Natuna Utara oleh Premier Oil Tuna BV pada pertengahan tahun ini. Anak usaha Harbour Energy Company dari Inggris ini sedang mengerjakan Blok Tuna. Pemerintah Cina mengklaim blok minyak dan gas di dekat perbatasan Vietnam itu sebagai wilayah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada perusahaan-perusahaan penggarap lapangan minyak dan gas—resminya disebut kontraktor kontrak kerja sama—Dwi meyakinkan bahwa kegiatan pengeboran terjamin aman sehingga mereka bisa tetap bekerja. “Kami mendapat backup yang bagus dari TNI dan Bakamla,” katanya pada Kamis, 16 Desember lalu.
Bakamla adalah Badan Keamanan Laut. Sejak kapal-kapal Cina mendekat dan masuk ke Blok Tuna, kapal-kapal Bakamla dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut bergiliran menggelar patroli untuk memastikan pengeboran di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia itu aman. Meski begitu, dari laporan para pekerja pengeboran, ucap Dwi, “Ada deg-degannya.”
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto di Kantor SKK Migas, Jakarta, 30 Juli 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Di Laut Natuna Utara, Blok Tuna berada di titik paling luar ZEE, yakni di lepas pantai Natuna Timur, tepat di perbatasan Indonesia-Vietnam. Wilayah kerja Premier Oil Tuna BV ini masih berstatus eksplorasi. Bermitra dengan Zarubezhneft, perusahaan negara Rusia, akhir November lalu, Premier Oil mengkonfirmasi keberadaan kandungan hidrokarbon yang terdeteksi pada 2014 di lapangan tersebut. SKK Migas mencatat jumlah cadangan minyak dan gas sementara di Blok Tuna kira-kira 158 juta barel dan 535 miliar kaki kubik gas.
Aktivitas eksplorasi Premier Oil Tuna BV inilah yang menuai protes pemerintah Cina. Tiongkok secara sepihak membuat tapal batas baru—disebut sembilan garis putus-putus (nine-dash line), yang tidak diakui oleh hukum internasional.
Cina masih menyebut wilayah itu sebagai Laut Cina Selatan. Sedangkan pemerintah Indonesia sudah mengubah namanya menjadi Laut Natuna Utara pada 2017. Perubahan nama ini sesungguhnya menjadi peringatan halus bahwa Indonesia tak mengakui sembilan garis putus-putus buatan Cina itu.
Dwi mengatakan SKK Migas tidak menerima protes pemerintah Cina itu secara langsung, juga tak mendapat pemberitahuan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia. “Kami mengetahui dari pemberitaan,” katanya. “Kami jalan terus. Sejauh ini aktivitas eksplorasi di lapangan tidak terganggu.”
Kementerian Luar Negeri merespons protes tersebut dengan menggelar diskusi grup terbatas. SKK Migas turut diundang dalam forum yang membahas landas kontinental tersebut. Tapi Dwi belum mau menjelaskan hasil pertemuan itu.
Indonesia memiliki sejumlah blok migas di perairan Natuna. Setidaknya ada sebelas wilayah kerja di area lepas pantai (offshore) yang berbatasan dengan tiga negara, yakni Cina, Vietnam, dan Malaysia. Tujuh di antaranya berstatus eksploitasi alias sudah berproduksi. Tiga wilayah kerja masih dalam tahap eksplorasi, sementara satu wilayah dalam proses terminasi karena tidak ada perkembangan temuan cadangan baru.
Menurut Dwi, total cadangan yang tersimpan di Laut Natuna Utara sekitar 91 juta barel setara minyak (BOE) dan 1,2 triliun kaki kubik (TCF) gas. SKK Migas juga memprediksi jumlah sumber daya kontingen (contingent resources) mencapai akumulasi 109 juta barel setara minyak dan 1,6 triliun kaki kubik gas.
Adapun proyeksi sumber daya prospektif (prospective resources), atau masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut, sebanyak 602 juta barel minyak dan 4,5 triliun kaki kubik gas. “Itu termasuk potensi di Blok East Natuna yang mengandung CO2 dengan kadar sangat tinggi,” tutur Dwi.
Fasilitas Gajah Baru dan Anoa milik Premier Oil di Natuna Sea Block A, Perairan Natuna. harbourenergy.com
Walaupun terbilang besar, jumlah cadangan itu masih kalah jumbo dibanding gas yang tersimpan di Blok Masela, Laut Arafura, Nusa Tenggara Timur. Cadangan terbukti di Lapangan Abadi Blok Masela mencapai 9 triliun kaki kubik.
Ladang gas gemuk lain adalah proyek Indonesia Deepwater Development di perairan Kalimantan Timur. Proyek yang dikelola Chevron Indonesia Company ini menyimpan cadangan gas sekitar 2,2 triliun kaki kubik plus 46 juta barel setara minyak. Belakangan, Chevron mencari mitra baru untuk meneruskan pengembangannya dengan berniat melepas hak partisipasinya di ladang gas yang telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional sektor hulu migas hingga 2024 itu.
Di Laut Natuna Utara, Premier Oil Tuna BV telah lama menghitung potensi konflik geopolitik setempat. Dwi bercerita, sebelum tajak sumur mulai mengebor, manajemen Premier menyampaikan perihal potensi risiko tersebut dalam pertemuan dengan jajaran pemimpin SKK Migas pada 2020.
Tensi konflik geopolitik di perairan Natuna memang naik-turun. Tensi itu menghangat setelah kapal Premier buang sauh di sana pada awal Juni lalu. SKK Migas menerima laporan intensifnya kapal-kapal Cina, juga kapal negara lain, yang berseliweran di sekitar lokasi eksplorasi. Tapi aktivitas pengeboran tetap berjalan. “Kami terus memonitor,” ucap Dwi.
Government Affairs Senior Manager Premier Oil, Harbour Energy Company, Buyung H. Satria, enggan memaparkan detail situasi terbaru di lapangan dan bagaimana perusahaan menyikapinya. Ia hanya menjawab singkat permintaan konfirmasi Tempo. “Kegiatan operasional kami berjalan aman dan lancar,” ujarnya pada Jumat, 17 Desember lalu.
Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara menjelaskan bahwa hasil pengeboran dua sumur delineasi—sumur Singa Laut 2 dan sumur Kuda Laut 2—memastikan cadangan minyak dan gas yang terdeteksi sebelumnya.
Operator Blok Tuna menggeber tajak sumur Singa Laut 2 pada 3 Juli lalu dengan target batu pasir Formasi Gabus. Sumur ini mengalirkan sejumlah gas dan kondensat yang cukup signifikan dari satu interval drill stem test (DST), pengujian produktivitas formasi dengan memisahkan dan mengetes permeabilitas, tekanan, serta kemampuan produksi dari formasi geologi selama pengeboran.
Pengerjaan sumur Singa Laut 2 rampung pada 7 September lalu. Kegiatan berlanjut ke lokasi struktur Kuda Laut untuk pengeboran sumur Kuda Laut 2. Sumur ini mulai ditajak pada 10 September lalu dengan target Formasi Lower Terumbu. Sumur tersebut mengalirkan sejumlah minyak, gas, dan kondensat yang cukup signifikan dari dua interval DST. Pengeboran di Kuda Laut 2 kelar pada 18 November lalu.
Eksplorasi Singa Laut 2 dan Kuda Laut 2 merupakan upaya lanjutan kegiatan 2014. Saat itu Premier Oil mengebor sumur eksplorasi dengan dua kaki yang menyasar potensi hidrokarbon di struktur Singa Laut 1 dan Kuda laut 1. Dari kedua sumur tersebut terendus kandungan hidrokarbon di Formasi Gabus, Arang, dan Lower Terumbu. “Potensi hidrokarbon di Singa Laut dan Kuda Laut terkonfirmasi setelah pengeboran pada 2021,” kata Benny dalam keterangan media pada 1 Desember lalu.
Menurut Benny, sejak awal SKK Migas memasukkan kedua sumur tersebut ke kategori sumur kunci 2021. Penemuan di kedua titik ini, dia menjelaskan, membuka peluang mendapatkan hidrokarbon lain di Blok Tuna. SKK Migas optimistis blok ini bisa membantu pemerintah mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada 2030.
SKK Migas juga yakin cadangan di struktur Singa Laut dan Kuda Laut menjadi temuan migas yang efisien, untuk pertama kalinya, di Cekungan Natuna Timur. Manajemen Premier Oil bahkan optimistis migas dari lapangan ini bisa diproduksi dengan biaya kurang dari US$ 25 per barel. Dalam dunia pengeboran migas, angka ini sangat ekonomis.
Dwi Soetjipto enggan mengomentari soal ini. Menurut dia, nilai keekonomian proyek baru tampak dalam dokumen rencana pengembangan (plan of development) yang diusulkan kelak oleh Premier Oil. Proyek ini mungkin lebih efisien karena lokasinya dekat dengan infrastruktur pipa menuju Vietnam. “Jaraknya hanya belasan kilometer,” tutur Dwi. Pada 2017, Premier Oil meneken kesepakatan penjualan gas ke Vietnam.
Saat ini SKK Migas dan Premier Oil sedang berkoordinasi menghitung jumlah cadangan hidrokarbon di struktur Singa Laut dan Kuda Laut. Evaluasi penentuan status eksplorasi dan studi-studi untuk mendukung rencana pengembangan proyek akan mulai didiskusikan pada awal Januari 2022.
Masalah ketegangan geopolitik akibat klaim pemerintah Cina atas Laut Natuna Utara, kata Dwi, menjadi perhatian sejumlah perusahaan, bukan hanya Premier Oil. Meski hal itu tak terungkap secara eksplisit dan dibicarakan di forum resmi, mereka melapor kepada SKK Migas bahwa bekerja di Blok Tuna rawan dalam aspek politik. “Mereka menyampaikan posisi pemerintah Indonesia terhadap perusahaan yang berinvestasi di area ini,” ucap Dwi.
Karena itu, Dwi memuji Premier Oil dan mitranya dari Rusia yang tetap berinvestasi dalam eksplorasi di wilayah itu. Bagi Indonesia, kata Dwi, kegiatan di daerah perbatasan juga diperlukan secara politik. Indonesia pernah kalah dalam sengketa perbatasan—seperti dalam kasus Sipadan dan Ligitan di Selat Makassar dengan Malaysia pada 2002—karena tak punya kegiatan nyata di daerah-daerah tersebut sehingga kehilangan hak ketika terjadi sengketa.
Dwi meyakinkan bahwa pemerintah Indonesia menyokong pengamanan di lapangan Laut Natuna Utara. Pada 17 Juli lalu, Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengundang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta SKK Migas membahas keamanan minyak dan gas Laut Natuna Utara.
Aan memastikan kapal Bakamla dan TNI AL bergantian berpatroli di perairan perbatasan Laut Natuna Utara dengan posisi berada di antara kapal Cina dan rig eksplorasi Premier. Panglima Komando Armada I TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Arsyad Abdullah juga menegaskan bahwa pihaknya mengirim kapal pesawat. “Tiga atau empat kapal selalu berada di laut,” ujarnya. “Satu melaksanakan bekal ulang, bergantian.”
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo